Filsafat Pendidikan Perenialisme
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Kesadaran akan segala
krisis yang dihadapi manusia, yang sedang terjadi dalam realitas era modern
ini, merupakan salah satu faktor yang yang mendukung kami untuk mencoba
menemukan suatu paradigma lalin terkait yang dapat menguraikan dan menjawab
persoalan kemodernan. Dengan demikian paradigma yang tepat dalam menjawab
persoalan ini ialah perenialisme.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan perenialisme? Perenialisme sebenarnya ialah
sebuah wacana filsafat tua yang ada didalam masa pramodern, namun diklaim sebagai
yang tetap aktual disepanjang masa.
Konsep-konsep
perenialisme terkait dengan realita kehidupan manusia, sangatlah berbeda dengan
konsep-konsep modernisme yang mempunyai karakteristik yang berbeda diantara
keduanya. Modernisme berkarakter materialis dan mekanis, sedangkan perenialisme
berkarakter holistik dan siklis. Yaitu bahwasanya perenialisme menerima
eksistensi segala aspek yang ada di dunia ini, baik itu hal yang kesat mata
maupun yang tidak kesat mata. Dengan menempatkan perenialisme sebagai jawaban
dari permasalaha terhadap realita kehidupan ini, maka untuk lebih jelas terkait
pengertian perenialisme, maka kami mencoba menyusun makalah terkait dengan
pengertian, asensi dan lain halnya yang masih termasuk dalam cakupan filsafat
perenialisme.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
permasalahan-pemasalahan dalam konsep makalah ini yang akan dibahas didalamnya
ialah antara lain:
1.
Bagaimana latar belakang munculnya aliran
filsafat pendidikan perenialisme?
2.
Bagaimana esensi filsafat perenialisme?
3.
Bagaimana implikasi perenialisme terhadap
pendidikan dan pembelajaran?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Filsafat Perenialisme
Perenialisme lahir pada
tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia ini penuh kekacauan, ketidakpastian
dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio-kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan ini.
Teori atau konsep
pendidikan perenialisme dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat Plato yang
merupakan bapak idealisme klasik, filsafat Aristoteles sebagai bapak realisme
klasik dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles
dengan ajaran (filsafat) gereja katolik yang tumbuh pada zamannya (abad
pertengahan).
Kira-kira antara abad
ke-6 hingga abad ke-15 merupakan abad kejayaan dan keemasan filsafat
perenialisme. Namun, mungkin saja kita bisa saja dengan terburu-buru melihat
perkembangan filsafat perenial ini hanya dalam kerangka sejalan pemikiran barat
saja, melainkan juga terjadi di wilayah lainnya. Dan memang harus tetap diakui
bahwasanya jejak perkembangan filsafat perenial jauh lebih tampak dalam konteks
sejarah perkembangan intlektual Barat, apalagi sebagai jenis filsafat khusus,
filsafat ini mendapat eleborasi sistematisnya dari para perenialis Barat,
seperti Agostino Steunco.[1]
Namun, filsafat perenial
atau yang sering disebut sebagai kebijaksanaan universal, disebabkan oleh
beberapa alasan yang kompleks secara berangsur-angsur mulai runtuh menjelang
akhir abad ke-16. Salah satu alasan yang paling dominan adalah perkembangan
yang pesat dari filsafat materialis. Filsafat materialis ini membawa perubahan
yang radikal terhadap paradigma hidup dan pemikiran manusia pada saat itu.
Memasuki abad ke-18,
karena pengaruh filsafat materialis, banyak aspek realita yang diabaikan, dan
yang tinggal hanyalah sistem mekanistik belaka. Filsafat matearialis ini begitu
kuat mempengaruih pola pikir manusia abad modern yang merentang sejak abad
ke-16 hingga akhir abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21,
sehingga pada tiap-tiap bentuk pemikiran baru yang muncul hingga pada zaman
kontemporen. Dan pada zaman kontemporer ini lah dapat dikatakan zaman
kebangkita filsafat perenialisme.[2]
B. Esensi Aliran Filsafat Perennialisme
Istilah perenialisme berasal dari bahasa latin,
yaitu dari akar kata perenis atau perennial (bahasa Inggris) yang berarti
tumbuh terus menerus melalui waktu, hidup terus dari waktu ke waktu atau abadi.[3] Perenial diartikan sebagai “continuing throughout the whole year”
atau “lasting for a very long time”
(abadi atau kekal atau terus tiada akhir). Filsafat perenialisme berpegang pada
nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat kekal atau abadi. Aliran ini
mengambil analogi realita sosial budaya manusia sebagai realita pohon bunga
yang terus menerus mekar, datang dan pergi serta berubah warna secara tetap
sepanjang tahun dan masa dengan gejala yang harus ada dan sama.[4]
Perenilaisme memandang
bahwasanya pada zaman modern ini telah banyak menimbulkan krisis diberbagai
bidang dalam kehidupan manusia, trutama dalam bidang pndidikan. Oleh karena
itu, perenialisme memberikan solusi jalan keluar dari kekrisisan tersebut
dengan kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan
teruji ketangguhannya.Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan
pusat perhatiannya kepada kebudayaan yang telah teruji dan tangguh.[5]
Jelaslah bila saja seandainya
perenialisme mengatakan bahwasanya kebudayaan yang ada pada saat ini berada
dalam kondisi yang krisis dan perlu kembali kemasa lampau, karena dengan
dikembalikannya kepada masa lampau, maka kebudayaan sekarang yang dianggap
berada dalam krisis tersebut dapat teratasi, dengan memusatkan perhatiannya
kepada pendidikan pada zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan
sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun
praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.[6]
Perenialisme merupakan
suatu aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunan
tersebut merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi orang untuk
bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa
mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama
filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Kaum perenialisme
menggunakan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai
atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat
pada zaman kuno dan abad pertengahan. Dengan demikian kalangan perenialisme
mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide gagasan
yang luhur menyejarah bagi manusia. Ide gagasan seperti ini telah terbukti
keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme
menekankan secara penting akal budi, nalar dan karya-karya besar masa lalu.
Perenialisme adalah pendidikan klasik dan tradisional dalam suatu bentuk yang
diperbaharui yang lebih spesifik dalam formulasi-formulasi teoritisnya karena
kemunculannya dilatari oleh ‘musuh’ yang nyata dan berpengaruh dalam
progresivisme kependidikan.[7]
Motif perenialisme dengan
mengambil jalan mengembalikan kepada masa lampau tidak hanya sebagai nostalgia
(rindu akan hal-hal yang lampau) semata, tetapi telah berdasar pada keyakinan
bahwa kepercayaan prinsip-prinsip aksiomatis yang berguna pada zaman sekarang
karena tidak terikat oleh waktu dan tetap berlaku dalam perjalanan sejarah.
Jadi, perenialisme menganggap bahwa pentingnya pembentukan kebiasaan dalam
pendidikan sekarang yang didasarkan pada kebiasaan dan kebudayaan pada masa
lampau yang memiliki nilai dan idealitas serta memiliki kegunaan untuk
kehidupan masa sekarang.
Jadi sikap untuk kembali
kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme dimana pendidikan yang ada
pada zaman skarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan
bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang.
Kunci memahami protes
kalangan perenialis dalam pendidikan adalah konsep pendidikan liberal.
Pendidikan liberal (bebas) dalam tradisi klasik berkisar di seputar
kajian-kajian yang menjadikan orang-orang bebas dan manusia sejati sebagai
lawan dari pelatihan yang mana mereka menerima begitu saja melakukan
tugas-tugas khusus dalam dunia kerja. Dalam dunia Yunani, manusia dibagi
menjadi dua macam, pertama mereka
yang melakukan tugas kerja (mengandalkan otot) dan mereka yang melakukan tugas
berfikir (menggunakan kemampuan rasionalitas keistimewaan manusia). Kedua merupakan kelompok yang yang bebas
menjalankan pemerintahan (fungsi memerintah dan mengatur). Karena mereka bebas,
mereka membutuhkan pendidikan yang akan mengembangkan kemampuan rasional
kemanusiaannya. Pendidikan menfokuskan pada aspek mental dan rasional manusia
dan cenderung memperhatikan (memikirkan) ide dan gagasan yang berpengaruh dari
budaya barat.[8]
Filsafat perenialisme
ini, berasaskan pada kebudayaan yang mempunyai dua buah sayap, yaitu
perenialisme yang bersifat theologis
yang ada dalam pengayoman supermasi gereja katolik, khususnya menurut ajaran
interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialismesekuler, yakni yang berpegang pada ide dan cita filosofis
Plato dan Aristoteles.[9] Pendapat ini sejalan dengan apa yang
telah dikemukakan oleh H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa
Aristoteles mengembangkan Philosophia
Perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran
manusia itu sendiri, S.T Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan
sesuai sesuai dengan tuntunan agama kristen tatkala agama itu datang. Kemudian
lahir apa yang dikenal dengan nama Teo-Thomisme. Teo-Thomisme masih dalam
bentuk awam maupun dalam faham gerejawi sampai tingkat kebijaksanaan, maka ia
terkenal dengan nama perenialisme.[10]
Neo-Scholastisisme atau
Teo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas
dengan tuntunan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu
pengetahuan cukup dimengerti dan didasari adanya. Namun semua yang bersendikan
empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal,
maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia
dikemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah ditekankan pada sifat
spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akan yang karenanya
manusia dapat mengerti dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun
yang bersendikan religi.[11]
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwasanya aliran perenialisme dipakai untuk program
pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas
Aquinas. Dimana tokoh-tokoh ini timbul dari lingkungan agama katolik.
1. Pandangan
Ontologi Perenialisme
Perenialisme
berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa reality is universal that is every where and
at every moment the same, realita itu bersifat universal bahwa realita itu
ada di mana saja dan sama di setiap waktu.
Dengan
keputusan yang bersifat ontologisme kita akan sampai pada pengertian pengerian
hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian, diantaranya ialah: benda
individual, esensi, aksiden dan substansi.[12]
a. Benda individual adalah benda yang
sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap oleh indera manusia,
seperti batu, kayu,dan lain-lain.
b. Esensidari sesuatu adalah suatu kualitas
tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik intrinsik dari pada halnya,
misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah berpikir.
c. Aksidenadalah keadaan khusus yang dapat
berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensialnya,
misalnya orang suka barang-barang antik.
d. Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap-tiap hal
individu, dari yang khas dan yang universal baik yang material atau spiritual.
Ada
empat sebab (kausa) yang menjadi penyebab terjadinya sesuatu atau
berlangsungnya sesuatu. Dalam buku Plato yang berjudul fisika menerangkan bahwa
istilah-istilah yang menjelaskan tentang adanya garis perjalanan suatu benda
yang digunakan sebagai dasar untuk mengadakan penemuan mengenai suatu benda.
Kausa tersebut dalam sebagai berikut:[13]
a. Kausa materialis, yaitu bahan yang
menjadi susunan sesuatu benda, misalnya telur, tepung dan gula untuk roti.
b. Kausa formalis, yaitu sesuatu
dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, kotak, dan
lain-lain.
c. Kausa efisien, yaitu gerakan yang
digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa tergesa.
d. Kausa finalis, adalah tujuan atau akhir
dari sesuatu, misalnya, tujuan pembuatan sebuah patung.
Apabila
kausalitas diteruskan tinjuannya, maka kausalitas merupakan mata rantai yang
tidak ada putusnya sebelum sampai kepada pertanyaan adanya penyebab pertama
atau kausa prima.
Parenialisme dalam
bidang ontologis berasal pada teologi yakni memandang bahwa realita sebagai
substansi selalu cenderung bergerak atau berkembang dari potensialitas menuju
aktualitas (teleologi).[14]
Jika dihubungkan dengan manusia, manusia mempunyai potensialitas yang berubah
menjadi aktualitas. Di samping asas teleologi yang merupakan aktualisasi dari
potensialitas, terdapat asas supernatural dimana tujuan akhir dari supernatural
adalah Tuhan sendiri.
Manusia
menyadari asas teleologi dengan iman dan dogma yang diterimanya. Segala yang
ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut
dengan substansi. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia adalah
potensialitas yang di dalam hidupnya tak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi
keduniaan, memiliki akal dan perasaan sehingga kemauannya dapat diatasi.
Manusia bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan sebagai supernatural yang merupakan pencipta alam semesta dan merupakan
tujuan akhir.[15]
Segala yang ada
di alam semesta ini seperti halnya manusia, hewan, tumbuhan, batu bangunan
dasar dan sebagainya ialah merupakan suatu hal yang logis dalam karaketernya.
Setiap suatu yang ada tidak hanya merupakan kombinasi antara zat atau benda,
tetapi melainkan merupakan suatu unsur potensialitas dengan bentuk yang
merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diutarakan oleh Aristoteles, tetapi
ia juga merupakan suatu hal yang datang bersama-sama dari suatu apa yang tergantung pada inti dan
potensialitas dengan tindakan untuk berada.
2. Pandangan
Epistemologi
Perenialisme
berpendapat bahwa yang terlindung pada kepercayaan adalah segala sesuatu yang
dapat diketahui dan merupakan kenyataan. Kebenaran merupakan kesesuaian antara
pikiran (kepercayaan) dan benda, benda-benda yang dimaksud adalah hal-hal yang
bersendikan pada prinsip-prinsip keabadian.[16] Oleh karena itu,
menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit
untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, prinsip-prinsip itu adalah:[17]
a. Principium identitatis, yaitu identitas
sesuatu. Contohnya apabila batu adalah batu dan tidak akan menjadi kayu
b. Principium contradiksionis, yaitu hukum
kontradiksi (berlawanan, bertentangan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung
sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni
benar atau salah.
c. Principium exelusi tertii, yaitu tidak ada kemungkinan ketiga dalam
satu dalil. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan
kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pasti pernyataan
yang berikutnya tidak benar.
d. Principium rationis sufisientis, prinsip ini pada
dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya
pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme
mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat. Science sebagai ilmu pengetahuan dimana science yang meliputi biologi, fisika,
sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagai empiriological analysis yakni analisa
atas individual things dan
peristiwa-peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah.
Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan
penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan
metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan
data tertentu yang bersifat khusus.
Filsafat
sebagai pengetahuan, menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah ilmu
metafisika. Sebab, science sebagai
ilmu pengetahuan mengunakan metode induktif yang bersifat empiriological analysis (analisa empiris), kebenarannya terbatas,
relatif atau kebenarannya probabilitas. Tetapi filsafat dengan metode deduktif
bersifat ontological analysis,
kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum-hukum
berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama bahwa kesimpulannya bersifat
mutlak asasi.[18]
Hubungan
filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa empiris dan
analisa ontologi keduanya dianggap perenialisme dapat komplementatif. Tetapi
filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum-hukum dalam
filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.
3.
Pandangan Aksiologi Perenialisme
Dalam bidang aksiologi,
perenialisme memandang masalah nilai yang berdasarkan juga pada prinsip
supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Masalah utama prinsip
supernatural yakni dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subjek
telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu
ada pula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak
baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional
(pikiran) manusia.
Perenialisme
berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat
manusia adalah pada jiwanya.[19] Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya
yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Dengan kata lain, melakukan kebaikan
atau kejahatan, dan kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan, sesudah
tingkatan ini baru kehidupan rasional.
Secara
teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan
suatu kesatuan dengan Tuhan.[20] Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan
bantuan akal rasionya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut
Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan, yaitu moral dan intelektual.[21] Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan
kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan
intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan
pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat
praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu
kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di
dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar dasar teologis,
ketuhanan.
Dengan
demikian jelaslah bahwasanya perenialisme menghendaki agar pendidikan
disesuaikan dengan keadaan manusia yang memiliki nafsu, kemauan dan pikiran.
Dengan memperhatikan hal ini maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan
masyarakat dapat terpenuhi.
C. Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat Perenialisme
1.
Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada
zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme.
Ukuran kebenaran dan ukuran moral sofisme adalah manusia secara pribadi,
sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam
kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato ingin membangun dan
membina tata kehidupan dunia yang ideal, diatas tata kebudayaan yang tertib dan
sejahtera, membina cara yang menuju kebajikan.
Plato berpandangan bahwa
realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Menurutnya “dunia ideal”
bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan dan nilai sudah
ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide mutlak tadi. Manusia
tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan dan nilai
moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan akal dan
rasio semua itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
Manusia dapat memperoleh
kebenaran tersebut dengan jalan berfikir, dan dengan melalui pengamatan indra,[22] karena dengan berfikir itulah manusia dapat
mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan.
2.
Aristoteles
Ariestoteles (483-322
SM), adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya, ia mereaksi terhadap
filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme
(realisme klasik). Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realistis, yang
lebih dekat pada alam kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, manusia
adalah makhluk materi dan rohani. Sebagi makhluk materi, ia menyadari bahwa manusia
dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk
rohani manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju
kepada manusia ideal, manusia sempurna.
Dalam kaitannya dengan
filsafat, perenialisme menjadikan kepercayaan sebagai pangkal tolak mengenai
kenyataan pengetahuan. Artinya, sesuatu itu ada kesesuaian antara pikir
(kepercayaan) dan benda-benda. Sedangkan, yang dimaksud benda adalah hal-hal
yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian. Oleh karena itu menurut
perenilisme, perlu adanya dalil yang logis, sehingga untuk diubah atau ditolak
kebenarannya.
3.
Thomas Aquinas
Thomas Aquinas mencoba
mempertemukan antara pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara
ajaran Kristen dengan filsafat. Pandangan tentang realitas, ia kemukakan, bahwa
segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan
tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan
dunia. Ia menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitasnya, yaitu dunia
tidak diadakan dari semacam bahan dasar dan penciptaan tidak terbatas pada satu
saat saja.[22]
Dalam masalah pengetahuan,
Thomas Aquinas mengemukakan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan
dunia luar dan oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain pengetahuan manusia
yang bersumber dari wahyu, dapat memperoleh pengetahuan dari pengalamannya dan
rasionya. Filsafat Thomas Aquinas disebut tomisme.
D. Prinsip-Prinsip Pendidikan Perenialisme
Dalam
bidang pendidikan, perenialisme dipengaruhi oleh tokoh-tokoh, seperti Plato,
Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Teori atau konsep pendidikan perenialisme
dilatarbelakangi oleh filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik,
filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquinas
yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran Gereja Katolik
yang tumbuh pada zamannya.
Plato,
dalam hal pendidikan pokok pikirannya ialah bahwa ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai adalah manifestasi daripada hukum universal yang abadi dan
sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide
tersebut menjadi ukuran, asas normatif dalam dalam tata pemerintaha. Maka
tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan
asas-asas normatif tersebut dalam espek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara
kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi tersebut dan kepada masyarakat, agar supaya
kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. [23]
Ide-ide ataupun gagasan yang
dikeluarkan oleh Plato tersebut dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih
mendekatkan pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah
“kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi
dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.[24]
Sedangkan tujuan yang diinginkan
oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam
individu agar menjadi aktualitas aktif dan nyata”. Pada hal ini peranan guru
ialah mengajar, memberi bantuan pada anak-anak didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada dirinya.[25]
Prinsip-prinsip pendidikan
perenialisme tersebut perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan
modern, seperti pembagian kurikkulum untuk sekolah dasar, menegah, perguruan
tinggi dan pendidikan orang dewasa.
E. Pandangan Perennialisme Mengenai Belajar
Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah:
1. Mental disiplin sebagai teori dasar
Penganut
perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental disiplin)
adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses
belajar. Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada
pembinaan kemampuan berpikir.[26]
2. Rasionalitas dan asas kemerdekaan.
Asas
berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas
berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Makna kemerdekaan pendidikan
ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri (be him-self), sebagai essential-self
yang membedakannya daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar harus
diabdikan bagi tujuan ini, yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional
yang dengan itu bersifat merdeka.[27]
3. Learning
to reason ( belajar untuk berpikir)
Perenialisme
tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan
anak. Kecakapan membaca, menulis dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan
berdasarkan pentahapan itu, maka learning
to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan
tinggi.[28]
4. Belajar sebagai persiapan hidup
Bagi
Thomisme, belajar untuk berpikir dan belajar untuk persiapan hidup (dalam
masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama, yakni menuju kesempurnaan
hidup, kehidupan dunia ataupun surgawi.[29]
5. Learning
through teaching (belajar melalui pengajaran)
Adler
membedakan antara learning by instruction
dan learning by discovery,
penyelidikan tanpa bantuan guru. Sebenarnya learning
by instruction adalah dasar dan menuju learning
by discovery, sebagai self education.
Menurut perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa
anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara
mengajar.[30]
Guru
mengembangkan potensi-potensi self
discovery, dan ia melakukan moral authority
atas murid-muridnya, karena ia adalah seorang professional yang qualifieddan superior dibandingkan
muridnya.[31]
F. Implikasi Filsafat Perenialisme Dalam
Pendidikan
Perenialisme memandang
pendidikan sebagai proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme
memberikan sumbangan yang berpengaruh, baik berupa teori maupun praktik bagi
kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Perenialisme merupakan aliran
filsafat yang berdasarkan pada kesatuan, bukan mencerai-beraikan, menemukan
persamaan-persamaan, bukan membanding-bandingkan, serta memahami isi, bukan
melihat luar atas berbagai aliran dan pemikiran. Implikasi filsafat
perenialisme dalam pendidikan antara lain:
1.
Tujuan Pendidikan Melestarikan Budaya Bangsa
Bagi perenialis, nilai-nilai
kebenaran bersifat universal dan abadi. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan
sejati. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik
menyiapkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai
kebijakan dan kebaikan dalam hidup. Pendidikan harus sama bagi semua orang,
dimana pun dan kapanpun ia berada, begitu pula tujuan pendidikan harus sama,
yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia. Hal diatas dikemukakan oleh Hutckin
sebagia berikut: “ Man may very from
society to society,…but the function of man, is the same in very age dan very
society, since it results from his nature as a man. The aims of edutional
system can exist:it is to improve man as man”.[32]
Sekolah merupakan lembaga
latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan
meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang
berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun ke dalam
kehidupan. Sekolah bagi perenialis merupakan peraturan-peraturan yang merupakan
tempat peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan
sosial budaya. Sekolah menjadi tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan
anak didik ke arah keemasan memalui akalnya dengan memberikan pengetahuan.
2.
Kedudukan Siswa Penerus Generasi Terdahulu
Kaum perenialis berpendapat
bahwa siswa adalah subyek sekaligus inti dalam pelaksanaan pendidikan, dan guru
hanya bertugas menolong membangkitkan potensi yang dimiliki anak didik yang
masih tersembunyi agar menjadi aktif dan nyata, bukan membentuk atau memberikan
kemampuan kepada anak didik.
3.
Peranan Guru Sebagai Tokoh Sentral
Rasio merupakan atribut
manusia yang paling tinggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan
sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas,
namun mereka harus belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol seleranya.
Apabila anak gagal dalam belajar, guru tidak boleh dengan cepat meletakkan
kesalahan pada lingkungan yang tidak menyenangkan, atau pada rangkaian
peristiwa psikologis yang tidak menguntungkan. Guru harus mampu mengatasi semua
gangguan tersebut, dengan melakukan pendekatan secara intelektual yang sama
bagi semua siswa. Dan tidak ada anak yang diizinkan untuk menentukan pengalaman
pendidikannya yang ia inginkan.
4.
Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered, berpusat pada materi
pelajaran. Materi pelajaran bersifat seragam, universal dan abadi. Selain itu,
materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia
sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status
tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar. Oleh karena itu, titik berat
kurikulum diletakkan pada pelajaran sastra, matematika, bahasa dan humonaria,
termasuk sejarah (liberal art).
Sedangkan, sumber dan cara mempelajari seni liberal tersebut adalah dengan
mempelajari The Greats Book.
Berkenaan dengan kurikulum, hanya satu pertanyaan yang harus diajukan, yaitu:
apakah para siswa memperoleh muatan yang merepresentasikan usaha-usaha yang
paling tinggi dalam bidang itu?.
Prinsip-prinsip kurikulum
untuk sekolah dasar, berlaku pula untuk sekolah menengah dengan suatu prinsip
peningkatan pemasakan akal anak didik. Peningkatan ini adalah dalam bentuk
pendidikan umum, yang menuntun perkembangan umum, psikis dan fisik anak didik
yang berumur 12 sampai 20 tahun.
Bagi mereka ynag berumur 12
sampai 16 tahun kurikulum yang diperlukan terdiri dari bahasa-bahasa asing kuno
seperti Latin dan Yunani dan bahasa-bahasa modern. Penguasaan bahasa merupakan
usaha pengenlan dunia luas bagi anak didik.
Anak didik yang berumur 16
sampai 20 tahun perlu mendapatkan pengetahuan dengan kelompok:
a.
Yang mendapatkan kunci dari penalaran seperti logika, retorika,
paramasastra dan ilmu pasti.
b.
Yang termasuk ke dalam “buku-buku” besar sepanjang masa. Golongan ini
adalah tulisan dari tokoh-tokoh besar pula sepanjang masa.
Golongan yang pertama adalah
pengetahuan yang adapat meningkatkan atau mempertinggi kecerdasan akal,
sedangkan golongan kedua adalah isi hakiki dari kebudayaan. Kelompok-kelompok
kemanusiaan tersebut diatas bila dilanjutkan pada taraf pendidikan atertinggi
dapat merupakan bagian dari pendidikan umum. Tugas pendidikan umum ini
diselenggarakan pada tahun-tahun pertama.[33]
Dua dari pendukung filsafat
perenilais adalah Robert Maynard Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai Rektor
the University of Chicago,Hutchins (1963) mengembangkan suatu kurikulum
mahasiswa S1 berdasarkan buku besar bersejarah (Great books) dan pembahasan
buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-seminar kecil. Kurikulum
perenialis Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai pendidikan:[34]
a.
Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang berlangsung
terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar dimanapun juga. Pendek kata,
kebenaran bersifat universal dan tak terikat waktu.
b.
Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada
gagasan-gagasan, pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan-gagasan.
Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan.
c.
Pendidikan harus menstimulasi para mahasiswa untuk berfikir secara
mendalam mengenai gagasan-gagasan siknifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran
yang benar dan kritis seperti metode pokok mereka, dan mereka harus
mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
5.
Metode
Metode pendidikan atau model
belajar utama yang digunakan oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu
membaca dan mendiskusikan karya-karya yang tertuang dalam the greats book dalam
rangka mendisiplinkan pikiran.
Peranan guru bukan sebagi
perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang
mengalami proses belajar sementara. Guru mengembangkan potensi-potensi
self-discovery. Ia juga melakukan moral authority (otoritas moral) atas
murid-muridnya karena ia seorang professional yang qualified dan superior
dibandingkan dengan muridnya. Guru itu harus mempunyai aktualitas yang lebih
dan pengetahuan yang sempurna.[35]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perenialisme
merupakan sebuah wacana filsafat tua, yang bertentangan dengan konsepsi
modernisme dan menentang progresivisme. Dimana segala sesuatunya baik dari segi
kebudayaan, nilai-nilai realitas kehidupan duniawi manusia yang ada pada saat
ini telah berada dalam situasi dan kondisi yang kritis, yaitu dalam situasi
yang penuh kekacauan, ketidak pastian dan ketidak teraturan, terutama dalam
kehidupan moral manusia. Menimbang hal tersebut, maka perenialisme memandang
realita yang terjadi pada saat ini hendaknya dan harus di kembalikan kepada
masa lampau. Karenaperenialisme berpegang
pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat kekal atau abadi. Nilai-nilai
dan norma-norma tersebut berupa suatu Ide dan gagasan yang telah terbukti
keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu.
Pendidikan
dalam perenialisme, merupakan suatu jalan ataupun proses untuk mengembalikan
keadaan dunia dewasa ini kepada masa lampau danmemberikan sumbangan yang
sangat berpengaruh baik teori maupun
praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Terkait dengan pendidikan, bahwasanya perenialisme
beranggapan bahwa setiap pendidikan memiliki suatu tujuan yang kekal dan abadi,
dan merupakan suatu kesatuan yang sama sehingga tidak timbul perbedaan dan
perselisihan didalamnya. Hal tersebut merupakan suatu upaya agar segala
kekrisisan yang terjadi pada saat ini dapat teratasi. Karena segala sesuatu
yang tetrus menerus berkembang dengan munculnya gagasan baru yang tidak
didasari oleh sistem pengetahuan yang absolut dan banyaknya manusia yang kurang
bahkan tidak peduli akan perubahan-perubahan tersebut, maka tujuan yang
dicapaipun semakin jauh dari kenyataan.
B.
Saran-Saran
Telah
dijelaskan berbagai hal terkait tentang aliran filsafat perenialisme, yang
telah kami uraikan pada pembahasan sebelumnya, maka kami penyusun menghimbau
bagi para pembaca agar dapat menyeimbangi perubahan-perubahan yang terjadi di
era-modern ini, tanpa meninggalkan segala aspek yang baik, yang telah diyakini
akan keabsahannya dimasa lampau, karena pendidikan ialah suatu proses perubahan
dari tidak tahu menjadi tahu, dari belum bisa menjadi bisa, dan pengalaman
adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan kita untuk proses perubahan
diri kita.
Segala
aspek pendidikan yang terjadi dimasa lampau dan masa sekarang merupakan suatu
kesatuan yang kedua-duanya sangat berarti dan sama-sama memiliki
kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan tertentu dari sudut pandang dan
pendekatan yang berbeda. Oleh karenanya dalam menjalani hidup dimasa era-modern
ini, segala yang baik yang didapat baik suatu paradigma ataupun ide-ide dan
gagasan yang didapat pada masa lampau dan sekarang, hendaklah diambil dari segi
positifnya, tanpa mengurangi nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung
didalamnya.
Pendidikan
bukanlah sebuah proses intraksi murid dengan guru didalam ruangan kelas saja.
Melainkan suatu perubahan dari waktu-kewaktu baik dari segi kognitif,
psikomotor dan afektif, baik didalam ataupun di luar sekolah. Dengan membaca
maka kita akan dapat lebih mengetahui segala hal yang belum kita ketahui agar
perubahan-perubahan yang kita alami dalam kehidupan ini lebih terarah menuju
kebaikan seperti yang kita harapkan. Maka dari itu bacalah, bacalah dan bacalah
segala sesuatu yang ada didalam kehidupan ini, baik membaca buku-buku yang
bersifat ilmiah, non ilmiah maupun membaca realita kehidupan yang semakin lama
terlihat semakin penuh dengan persaingan dalam hidup, selagi apa yang kita baca
merupakan sesuatu kebaikan, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang
lain.
Daftar Pustaka
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2005.
Emanuel Wora. Perenialisme Kritik Atas Modernisme Dan
Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
George R.
Knight, Filsafat Pendidikan,
Penerjemah: Mahmud Arif, Yogyakarta: Gama Media, 2007.
Muhammad
Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan,
Malang: FIP IKIP, 1978.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode,
Yogyakarta: IKIP, 1987.
Jalaludin dan
Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan(Manusia, Filsafat dan Pendidikan),Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002.
Ali
Hamdani, Filsafat Pendidikan,
Yogyakarta: Kota Kembang, 1986.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakasrta:
Nuhalitera, 2010.
M. Djumberansjah
Indar, Filsafat Pendidikan, Surabaya:
Karya Abaditama,1994.
Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan,
Bandung: CV Diponegoro, 1981.
Teguh Wangsa
Gandhi HW, Filsafat Pendidikan,
Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia, 2011.
Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung:
Alfabeta,2007.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam.,Jakarta:Bumi
Aksara.1995.
[1]
Emanuel Wora. Perenialisme Kritik Atas Modernisme Dan
Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal 17
[3]
Teguh Wangsa Gandhi
HW, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta:Ar-Ruzzmedia,2011),
hal.163
[4]
M. Djumberansjah
Indar, Filsafat Pendidikan
(Surabaya:Karya Abaditama,1994), hal.137
[5] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media
Pratama,2002), hal 89
[6]
Muhammad Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan(Malang:
FIP IKIP, 1978), hal296
[7] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Penerjemah: Mahmud
Arif (Yogyakarta:Gama Media,2007),hal.165
[8] Muhammad Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan(Malang:
FIP IKIP, 1978),hal 167
[9]
Jalaludin dan Abdullah
Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002), hal 90
[10]
Ibid hal 91
[11]
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode
(Yogyakarta: IKIP, 1987),hal 64-65
[12]
Jalaludin dan Abdullah
Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002), hal 91
[13] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode
(Yogyakarta: IKIP, 1987),hal 66
[14]
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakasrta:
Nuhalitera, 2010), hal 112
[15] H. Jalaludin dan Abdullah
Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002), hal 92
[16]
Ibid hal 93
[17]
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode
(Yogyakarta: IKIP, 1987),hal 67-68
[18]
Muhammad Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan(Malang:
FIP IKIP, 1978), hal 315
[19]
Jalaludin dan Abdullah
Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002), hal 95
[20]
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode
(Yogyakarta: IKIP, 1987),hal 69
[21]
Ibid hal 70
[22] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode
(Yogyakarta: IKIP, 1987),hal 61
[23] Uyoh Sadullah, Pengantar
Filsafat Pendidikan (Bandung:Alfabeta,2007),hal.154
[24] Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam.,(Jakarta,Bumi Aksara.1995) hal 28
[25] M. Djumberansjah Indar,
Filsafat Pendidikan (Surabaya:Karya Abaditama,1994), hal.137
[26]
Teguh Wangsa Gandhi
HW, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta:Ar-Ruzzmedia,2011), hal.180
[27]
Ibid hal 180
[28]
Ibid hal 180
[29]
Ibid hal 180
[30]
Ibid hal 180-181
[31]
Ibid. hal 180-181
[32]
Uyoh Sadullah,
Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung:Alfabeta,2007),hal.156
[33]
Imam Barnadib,
Filsafat Pendidikan system dan metode (Yogyakarta:Andi Offset, 1976), hal.78
[34] Uyoh Sadullah, Pengantar
Filsafat Pendidikan (Bandung:Alfabeta,2007),hal.155
[35]
Teguh Wangsa Gandhi
HW, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta:Ar-Ruzzmedia,2011), hal.17
Friday, December 07, 2012
|
Labels:
filsafat
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
about me
Ley's. Powered by Blogger.
Blog Archive
-
▼
2012
(10)
-
▼
December
(10)
- PENDIDIKAN NASIONAL DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
- FILSAFAT PENDIDIKAN ALIRAN IDEALISME
- FILSAFAT
- TEORI TERBENTUKNYA ALAM SEMESTA
- Filsafat Pendidikan Perenialisme
- PENDIDIKAN DAN KONFLIK SOSIAL DI SEKOLAH
- BIDANG TUGAS KEPROFESIONALAN GURU
- Peran, Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah
- TEORI TERBENTUKNYA ALAM SEMESTA
- Pendidik, Peserta Didik dan Lingkungan dalam Filsa...
-
▼
December
(10)
0 comments:
Post a Comment