REKONSTRUKSI KEJAYAAN PENDIDIKAN
MASA UMAYAH DI ANDALUSIA
TERHADAP KEMAJUAN PENDIDIKAN MASA KINI
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah  Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Muqowim, M.Ag





Disusun Oleh :
Laili Masruroh  10410082
PAI D

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Perkembangan pendidikan semakin hari semakin maju hal itu tidak terlepas dari sejarah pendidikan di masa lalu. Jadi  peranan kita sangat penting untuk mempelajari sejarah pendidikan  apalagi kita sebagai generasi penerus jangan sampai melupakan sejarah. Kita sebagai orang Islam dan menuntut ilmu di Kampus Islam tentunya harus paham akan sejarah pendidikan  di masa lalu. Hal ini perlu agar kita mampu menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah terjadi.
Sejarah Pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution merincikan Sejarah Islam ke dalam lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang). Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menjelaskan tentang Dinamika Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayah Di Andalusia (Spanyol).


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pendidikan Islam Masa Kini
Pendidikan belum merata
Masyarakat yang miskin tidak dapat merasakan pendidikan
Pemerintah kurang memperhatikan pendidikan
  1. Sejarah Singkat Umayah di Andalusia
Nama Bani Umayyah berasal dari nama “Umayyah Ibn Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, yaitu salah seorang pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman Jahiliyah. Dinasti Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Aby Sufyan, dan berkuasa sejak tahun 661 sampai tahun 750 Masehi dengan ibukota Damaskus. Ia juga mengganti sistem pemerintahan muslim yang semula bersistem musyawarah (demokrasi) menjadi sistem Monarchy Herdity (Kekuasaan turun-temurun).
Dinasti Umayyah dibedakan menjadi dua: pertama, Dinasti umayyah yang dirintis oleh Muawiyah Bin Abi Sufyan (661-680M) yang berpusat di Damaskus (Syiria). Fase ini berlangsung sekitar satu  abad yang mengubah system pemerintahan dari khilafah menjadi monarki (mamlakat). Kedua, Dinasti Umayah di Andalusia, yang awalnya merupakan wilayah taklukan Umayyah yang di pimpin seorang gubernur pada zaman Walid Bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)  yang kemudian menjadi kerajaan .
Al Andalus berarti “untuk menjadi hijau pada akhir musim panas” dan merujuk pada wilayah yang diduduki oleh kerajaan Muslim di Spanyol Selatan yang meliputi kota-kota seperti Almeria, Malaga, Zadiz, Huelva, Seville, Cordoba, Jaen dan Granada.
Andalusia menjadi salah satu propinsi dari daulah Bani Umayyah sampai tahun 132 H/ 750 M. Selama periode tersebut, para gubernur Umawiyah di Andalusia berusaha mewujudkan impian Musa bin Nushair untuk menguasai Galia. Akan tetapi, dalam pertempuran Poitiers didekat Tours pada tahun 114 H / 732 M tentara Islam dibawah pimpinan Abd Al – Rahman Al – Ghafiq di pukul mundur oleh tentara Nasrani Eropa dibawah pimpinan Kartel Martel. Itulah titik akhir dari serentetan sukses umat Islam diutara pegunungan Pyneria. Setelah itu mereka tidak pernah meraih kemenangan yang berarti dalam menghadapi serangan balik kaum Nasrani Eropa. Ketika daulah Bani Umayyah runtuh pada tahun 132 H / 750 M. Andalusia menjadi salah satu propinsi dari daulah Bani Abbas sampai Abd Al Rahman bin Muawiyah, cucu khalifah Umawiyah kesepuluh hisyam bn Abd Malik, memproklamasikan propinsi itu sebagai Negara yang berdiri sendiri pada tahun 138 H/756 M. Sejak proklamasi itu. Andalusia memasuki babak baru sebgai sebuah Negara berdaulat dibawah kekuasaan Bani Umayyah II yang beribukota di Codova sampai tahun 422 H/1031.

  1. Lembaga Pendidikan Islam masa Umayah Andalusia
Lembaga pendidikan Islam dimasa ini diklasifikasikan atas dasar muatan kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi pengetahuan agama (Lembaga pendidikan formal)  dan pengetahuan umum (non formal). Adapun lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a.       Shuffah, adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan tempat pemondokan bagi pendatang baru dan mereka tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam dibawah bimbingan langsung dari nabi. Pada masa ini setidaknya telah ada sembilan shuffah yang tersebar dikota Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.
b.      Kuttab atau Maktab, adalah Lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar.
c.       Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Kegiatan halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat.
d.      Majlis, yang berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Ada beberapa macam majlis seperti; Majlis al-Hadits, majlis ini diselenggarakan oleh ulama atau guru yang ahli dalam bidang hadits. Majlis al-Tadris, majlis ini biasanya menunjuk majlis selain dari pada hadist, seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam. Majlis al-Syu’ara, majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair, dan sering dipakai untuk kontes para ahli syair. Majlis al-Adab, majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal. Majlis al-Fatwa dan al-Nazar, majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah dibidang hokum kemudian difatwakan.
e.       Masjid, Semenjak berdirinya pada masa Nabi Muhammad Saw, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi.
f.       Khan, berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam pada suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn Di’lij di Suwaiqat Ghalib dekat makam Suraij. Disamping fungsi itu, khan juga digunakan sebagai sarana untuk belajar privat.
g.      Badi’ah, Secara harfiah badiah artinya dusun Badui di padang sahara yang di dalam terdapat padang sahara yang didalam terdapat bahasa Arab yang masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Lembaga Pendidikan  ini muncul seiring dengan kebijakan pemerintahan Bani Umayyah untuk melakukan program Arabisasi yang digagas oleh khalifah Abdul Malik Ibn Marwan. Akibat dari Arabisasi ini maka muncullah ilmu qawaid dan cabang ilmu lainnya mempelajari bahasa Arab. Melaui pendidikan di Badiah ini,maka bahasa Arab dapat sampai ke Irak, Syiria, Mesir, Lebanon, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, di samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab,dan sekitarnya. Dengan demikian banyak para penguasa yang mengirim anaknya untuk belajar bahasa Arab ke Badiah.
Sedangkan Madrasah-madrasah yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a.         Madrasah Mekkah: Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam.  Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangunan madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.
b.       Madrasah Madinah: Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
c.        Madrasah Basrah: Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
d.        Madrasah Kufah: Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud. Bahkan mereka pergi ke Madinah.
e.        Madrasah Damsyik (Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
f.        Madrasah Fistat (Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula madrasah madrasah di Mesir ialah Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama). Ia ahli hadis dengan arti kata yang sebenarnya. Karena ia bukan saja menghafal hadis-hadis yang didengarnya dari Nabi S.A.W.,  melainkan juga dituliskannya dalam buku catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-muridnya. Oleh karena itu banyak sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadis-hadis dari padanya. Karena pelajar-pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah, pelajar Kufah melawat Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulah seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar seluruh kota-kota di Negara Islam.

  1. Faktor Pendorong Majunya Pendidikan Islam Masa Umayah di Andalusia
Beberapa faktor yang menyebabkan majunya pendididkan islam pada masa Umayah di Andalusia adalah:        
  • Adanya dukungan dari para penguasa. Kemajuan Andalusia Islam sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa serta mencintai ilmu pengetahuan, juga memberikan dukungan dan penghargaan terhadap para ilmuawan dan cendekiawan.
  • Didirikannya sekolah-sekolah dan universitas-universitas dibeberapa kota di Spanyol oleh Abd Al-Rahman III Al-Nashir, dengan universitasnya yang terkenal di Cordova. Serta dibangunnya perpustakaan-perpustakaan yang memiliki koleksi buku-buku yang cukup banyak.
  • Banyaknya para sarjana Islam yang dating dari ujung Timur sampai ujung Barat wilayah Islam dengan membawa berbagai buku dan bermacam gagasan. Ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam berbagai kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan Budaya Islam.
  • Adanya persaingan antara Abbasiyah di Bagdhad dan Umayah di Spanyol dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Kompetisi dalam bidang ilmu pengetahuan dengan didirikannya Universitas Cordova yang menyaingi Universitas Nizhamiyah di Bagdhad yang merupakan persaingan positif tidak selalu dalam bentuk peperangan.
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan filsafat pada masa itu tidak terlepas kaitannya dari kerjasama yang harmonis antara penguasa, hartawan dan ulama. Umat Islam di Negara-negara Islam pada masa itu berkeyakinan bahwa memajukan ilmu pengetahuan dan kebudayaan umumnya, merupakan salah satu kewajiban pemerintahan. Kesadaran kemanusiaan dan kecintaan akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para pendukung ilmu telah menimbulkan hasrat untuk mengadakan perpustakaan-perpustakaan, disamping mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang semua biaya pembangunan  ditanggung pemerintah. Sekolah dan perpustakaan, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan pribadi, banyak dibangun di berbagai penjuru kerajaan, sejak dari kota-kota besar hingga ke desa-desa.
Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar kepada murid yang berhak menerimanya. Selain itu pemerintah juga memberikan subsidi yang banyak terhadap pendidikan, yakni dengan murahnya buku-buku bacaan, atau diberikan penghargaan yang tinggi berupa emas murni kepada penulis atau penerjemah buku, seberat buku yang diterjemahkannya. Pemerintah juga memberikan subsidi kepada makanan pokok, sehingga masalah pengisian kepala dan pengisian perut tidak terlalu dihiraukan lagi dan relatif murah dijangkau serta didapat oleh masyarakat.
Andalusia pada kala itu sudah mencapai tingkat peradaban yang sangat maju, sehingga hampir tidak  ada seorang pun penduduknya yang buta huruf. Dari Andalusia ilmu pengetahuan dan peradaban arab mengalir ke negara-negara  Eropa Kristen, melalui kelompok-kelompok terpelajar mereka yang pernah menuntut ilmu di Universitas Cordova, Malaga, Granada, Sevilla atau lembaga-lembaga ilmu pengetahuan lainnya di Andalusia.

  1. Rekonstruksi Pendidikan Masa Umayah Terhadap Pendidikan Masa Kini
Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa pelajaran yang dapat kita gunakan sebagai rekonstruksi dalam upaya peningkatan dan kemajuan pendidikan kita pada saat ini. Pertama adalah lembaga pendidikan Shuffah sebagai tempat yang dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan tempat pemondokan bagi pendatang baru dan mereka tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam serta pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik. Di Indonesia juga diperlukan lembaga pendidikan yang memiliki fasilitas seperti Shuffah tersebut. Agar tidak hanya warga masyarakat yang mampu saja yang dapat mengenyam pendidikan tetapi warga yang kurang mampu juga dengan bantuan dari pemerintah mampu mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak hanya itu, dengan adanya pemondokan dan pengajaran Al-quran serta pelajaran umum yang lain dapat lebih memaksimalkan potensi-potensi meraka, tidak hanya dalam pengetahuan saja namun juga akhlak mereka.
Rekonstruksi yang kedua dapat diambil dari faktor yang mendorong kemajuan pendidikan pada masa Umayah di Andalusia yaitu kerjasama yang harmonis antara penguasa, hartawan dan ulama sehingga dapat membawa kemajuan yang besar dalam pendidikan. Kesadaran kemanusiaan dan kecintaan akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para pendukung ilmu juga merupakan faktor penting sebagai penggerak sehingga mereka mampu memberikan dukungan yang maksimal. Peran pemerintah dalam memperhatikan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, perpustakaan maupun lembaga pendidikan yang semuanya ditanggung oleh pemerintah dan menyebar sejak dari kota-kota besar hingga ke desa-desa sehingga hampir tidak  ada seorang pun penduduknya yang buta huruf. Pemerintah juga memberikan subsidi terhadap pendidikan, yakni dengan murahnya buku-buku bacaan, juga memberikan subsidi kepada makanan pokok, serta beasiswa bagi murid yang tidak mampu. Hal ini dapat diterapkan di Indonesia sehingga pendidikan kita juga akan lebih maju apabila pemerintah dan para pendukung ilmu bekerjasama menciptakan perubahan yang besar sebagai upaya pemaksimalan mutu pendidikan di Indonesia.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada masa Bani Umayyah meliputi Shuffah, Kuttab atau Maktab, Halaqah, Majlis, Masjid dan Badi’ah. Namun setelah itu banyak bermunculan madrasah-madrasah diantaranya adalah Madrasah Mekkah, Madrasah Madinah, Madrasah Basrah, Madrasah Kufah, Madrasah Damsyik (Syam) dan Madrasah Fistat (Mesir).
Beberapa faktor pendukung kemajuan Pendidikan masa Umayah di Andalusia adalah adanya andil pemerintah dalam upaya kemajuan pendidikan. Kesadaran kemanusiaan dan kecintaan akan ilmu pengetahuan menimbulkan hasrat untuk mengadakan perpustakaan-perpustakaan, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang semua biaya pembangunan  ditanggung pemerintah, memberikan beasiswa, memberikan subsidi yang banyak terhadap pendidikan juga memberikan subsidi kepada makanan pokok.
Rekonstruksi yang dapat diambil adalah dengan menerapkan lembaga pendidikan shuffah kembali sebagai fasilitas bagi warga yang kurang mampu. Serta mengambil pelajaran dari faktor yang mendorong majunya pendidikan masa Umayah di Andalusia yaitu tentang kesadaran pentingnya ilmu pengetahuanbagi pendukung ilmu, kerjasama antara pemerintah hartawan dan ulama, serta peran pemerintah dalam upaya memfasilitasi peserta didik dalam dunia pendidikan.


Daftar Pustaka
Mubarok, Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Zuhairini dkk, 2010. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2004
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Grafindo Persada, 2010


pendidikan ghazali


REKONSTRUKSI  KRITERIA PENDIDIK DAN
PESERTA DIDIK MENURUT AL-GHAZALI PADA ERA BANI ABASIYAH TERHADAP KEMAJUAN PENDIDIKAN
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah  Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Muqowim, M.Ag






Disusun Oleh :
Ikhwan Mutaqin  10410067
PAI D


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar belakang
  2. Rumusan masalah


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pendidik dan Peserta Didik pada Masa Kini
Dewasa ini banyak persoalan pendidikan yang berkaitan dengan metode pengajaran, pendidik maupun dari segi peserta didiknya. Banyak guru yang tidak dapat menjadi panutan maupun menjadi pelindung bagi muridnya. Sehingga dalam prakteknya banyak guru yang masih menggunaan kekerasan untuk menghadapi anak yang nakal maupun untuk memberikan hukuman. Model pengajaran yang tidak menggunakan rasa kasih sayangpun menjadi salah satu penyebab murid-muridnya tertekan dan memberontak. Sehingga perilaku murid sendiri jauh dari kriteria murid yang baik karena krisisnya keteladanan dari guru.
  1. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin At-Tusi Al-Ghazali. Beliau lahir di sebuah desa kecil bernama Ghazalah Thabaran, di Thus, wlayah Khurasan (Iran) pada tahun 450 H atau 1058 M dari keluarga yang taat  beragama dan bersahaja, dari itulah beliau belajar al-Qur’an. Ayah al-Ghazali adalah seorang muslim yang salih, sekalipun ia tidak orang yang kaya namun ia selalu meluangkan waktunya untuk menghadiri majelis-majelis pengajian yang diselenggarakan ulama, beliau suka terhadap ilmu. Ayahnya, Muhammad, bekerja sebagai seorang pemintal dan pedagang kain wol, Al-Ghazali mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu Al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Tusi Al-Ghazali yang dikenal dengan julukan majduddin (wafat pada tahun 520 H). Keduanya kemudian menjadi ulama besar, dengan kecenderungan yang berbeda. Majduddin lebih cenderung pada kegiatan da’wah dibanding Al-Ghazali yang menjadi penulis dan pemikir[1].
Pendidikan Al-Ghazali di masa kanak-kanak berlangsung di kampung asalnya. Setelah ayahnya wafat, ia dan saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka, yaitu Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani At-Tusi, seorang ahli tasawuf dan fiqih dari Tus. Pada awalnya, sang sufi mendidik mereka secara langsung. Namun, setelah harta mereka habis, sementara sufi itu seorang yang miskin, tidak sanggup member makan al-Ghazali, maka sufi tersebut menyarankan agar kedua anak tersebut tetap melanjutkan belajar dengan jalan mengabdi pada sebuah sekolahan, sehingga disamping dapat belajar, juga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Madrasah ini memberi para pelajarnya pakaian dan makanan secara cuma-cuma. Santunan dan fasilitas yang disediakan madrasah itu sempat menjadi tujuan Al-Ghazali dalam menuntut ilmu. Kemudian sufi itu menyadarkan Al-Ghazali bahwa tujuan menuntut ilmu bukanlah untuk mencari penghidupan, melainkan semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah SWT dan mencapai pengetahuan tentang Allah SWT secara benar. Di madrasah inilah Al-Ghazali mulai belajar fiqih.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa al-Ghazali mempunyai pendidikan spiritual yang kuat, sehingga menjadi dasar pembentukan kepribadian dalam perkembangan hidup selanjutnya.
C. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali
1. Pengertian Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan dalam kitabnya Ihya Ulumiddin. Adapun unsur-unsur pembentuk pengertian pendidikan dari al-Ghazali dapat dilihat dalam pernyataan berikut:
“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi…”[2]
“…dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu beku yang tidak berkembang.”[3]
Jika kita perhatikan kutipan yang pertama, kata “hasil” menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan yang kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran. Batas awal berlangsungnya proses pendidikan menurut al-Ghazali, yakni sejak bertemunya sperma dan ovum sebagai awal manusia. Batas akhir pendidikan menurut al-Ghazali sampai akhir hayatnya.
Dari keterangan di atas pendidikan menurut al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan juga bernuansa islami dan moral. Di samping itu, ia juga tidak mengabaikan masalah-masalah duniawiyah, sehingga ia juga menyediakan porsi yang sesuai dengan pendidikan.
2. Tujuan Pendidikan
Al-Ghazali berkata: “Dunia tempat menanam untuk akherat. Sebagai alat untuk berhubungan dengan Allah Azza wa Jalla, bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, bukan bagi orang yang menjadikannya tempat menetap dan tempat berdiam.”[4]
“Bila engkau memandang ilmu engkau melihatnya lezat, maka ia dicari karena lezatnya, dan engkau menemukan sebagai jalan kebahagiaan ke akherat dan sebagai perantara pendekatan kepada Allah Ta’ala, dan tidak sampai kepada Allah melainkan dengan ilmu. Derajat yang paling tinggi bagi anak cucu adam adalah kebahagiaan yang langgeng dan sesuatu yang utama adalah yang dapat mengantarkan ke sana kecuali dengan ilmu dan amal dan tidak sampai pada amal kecuali dengan mengetahui cara beramal. Pokok kebahagian dunia dan akherat adalah dengan ilmu, dan hal itu adalah amal yang utama.”[5]
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali:
·         Sebagai kesempurnaan manusia dunia dan akherat. Manusia akan sampai pada kesempurnaan dengan mencari keutamaan melalui ilmu. Kemudian keutamaan itu membahagiakannya di dunia dan akherat.
·         Ilmu patut dicari karena dzatnya, yang memiliki kelebihan dan kebaikan. “ilmu pengetahuan itu secara mutlak utama dalam dzatnya”[6]
3. Metode Pengajaran Menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali tidak menetapkan metode khusus pengajaran dalam berbagai tulisannya kecuali pada pengajaran agama saja pada anak-anak. Ia menjelaskan metode khusus pendidikan anak dan menyempurnakan agar berakhlak terpuji, menhiasi dirinya dengan keutamaan-keutamaan. Berdasarkan prinsipnya bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat anatara guru dan murid.
Metode pengajaran perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Al-Ghazali menggambarkan pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar merupakan pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung. Pandangannya berlandaskan bukti firman Allah dan hadis-hadis Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Al-Ghazali mengibaratkan siapa yang berilmu dan membimbing manusia dan ilmunya berfaedah bagi orang lain maka, “dia seperti matahari yang memerangi orang lain dan dia menerangi dirinya sendiri dan seperti misik yang mengharumi lainnya sedangkan dia sendiri harum.”
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang digoreskan kepadanya dan akan denderung ke arah yang kita kehendaki. Oleh karna itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik pula. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”( HR. Muslim)
Al-Ghazali adalah imam agama yang berciri tasawuf, mengutamakan pendidikan yang berkembang yang pertama kali membina hati dengan ma’rifat dan mendidik jiwa dengan ibadah dan mengenal Allah serta pendekatan diri kepada Allah yaitu dengan cara menanamkan pokok-pokok agama yang benar di dada anak kecil pada masa pertumbuhannya.
Al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan agama harus dimulai sejak usia muda. Karena pada masa ini, anak kecil siap menerima aqidah-aqidah agama dengan iman yang murni dan tidak memerlukan bukti pada ketetapan dan hujahnya. Pertama kali mengajarkan agama dengan menghafalkan kaidah-kaidah dan pokok-pokoknya. Sesudah itu guru menyingkap maknanya, memahaminya, manancapkannya kemudian membenarkannya. Menanamkan agama pada anak kecil didahului dengan menuntun dan meniru, serta dengan ketentuan-ketentuan sedikit sampai anak menjadi pemuda. Hal itu bisa ditanam selama ditegakkan I’tiqodnya dikuatkan dengan dalil. Adapun selama aqidah tidak ditegakkan dengan dalil akan menjadi agama yang lemah, mudah luntur dan menerima yang lain. Metode ini tidak ditegakkan melalui diskusi atau berdebat karena berdebat banyak merusakan hal-hal yang berfaedah yang terkadang menyebabkan keracuan pikiran murid dan meragukannya. Bahkan ditegakkan dengan mengulang-ulang membaca Al-Qur’an, tafsir, hadis dan membiasakan ibadah.
Dengan ini al-Ghazali menetapkan metode yang jelas tentang pengajaran agama dimulai dari menghafal disertai memahami kemudian keyakinan dengan membenarkan. Setelah itu dikemukakan keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang membatu menguatkan akidah.
4. Kriteria Pendidik dan Peserta Didik menurut Al-Ghazali
Sedangkan dalam permasalahan pendidik dan peserta didik, Al-Ghazali menentukan beberapa kriteria seorang pendidik dan peserta didik yang baik, diantaranya adalah:
  1.  Kriteria Guru Yang Baik
Menurut al-Ghazali selain cerdas dan sempurna akalnya, seorang guru yang baik juga harus baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akal yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Selain sifat umum diatas seorang guru menurut al-Ghazali juga harus memiliki sifat-sifat khusus yang diantaranya adalah kasih sayang, tidak menuntut upah atas apa yang dikerjakannya, berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Seorang guru yang baik harus  menggunakan cara yang simpatik, halus, dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian, dan sebagaianya. Seorang guru juga tampil sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muridnya. Ia juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya. Seorang guru juga harus mampu memahami perbedaan bakat, tabi’at, dan kejiwaan muridnya sesuai dengan perbedaan tingkat usianya. Dan yang terakhir seorang guru yang baik harus berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya merealisasikannya sedemikian rupa.
  1. Kriteria Murid Yang Baik
Pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga bernilai ibadah. Untuk menurut al-Ghazali seorang murid yang baik harus memiliki sifat :
  • Berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya.
  • Menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu.
  • Rendah hati dan tawadhu’.
  • Khusus bagi murid yang baru jangan mempelajar ilmu-ilmu yang berlawanan atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
  • Mendahulukan mempelajari yang wajib
  • Mempelajari ilmu secara bertahap
  • Tidak mempelajari suatu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara alami. Dimana sebagian merupakan jalan menuju sebagian yang lain.
  • Seorang murid juga harus mengenal nilai darisetiap ilmu yang dipelajarinya.

  1. Rekonstruksi Pendidikan Al-Ghozali terhadap Pendidikan Masa Kini
Rekonstruksi yang dapat diambil dari pendidikan menurut Al-Ghazali adalah bahwa seorang guru hendaknya memiliki sifat yang cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlak dan kuat fisiknya. Sehingga guru tersebut mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sehingga guru tersebut mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akal yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Seorang guru juga hendaknya memiliki sifat kasih sayang namun tidak pilih kasih, tidak menuntut upah atas apa yang dikerjakannya tetapi juga dilandasi rasa ikhlas dalam mengajar. Mengingat guru saat ini banyak yang mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban sebagai seorang guru dan hanya bertujuan untuk mendapatkan upah atau gaji. Guru juga hendaknya berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Sehingga guru tersebut bisa menjadi sosok yang dapat dijadikan teladan oleh murid-muridnya.
Hal lain yang dapat dijadikan rekonstruksi adalah sebagai seorang murid hendaknya berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga murid lebih mudah dalam menerima pelajaran dari guru. Seorang murid juga hendaknya menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu, bersifat rendah hati dan tawadhu’, serta mempelajari ilmu secara bertahap sehingga mampu mengaitkan antara satu ilmu dengan yang lain, seorang murid juga harus mengenal nilai dari setiap ilmu yang dipelajarinya sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan menurut al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah sebagai kesempurnaan manusia dunia dan akherat. Manusia akan sampai pada kesempurnaan dengan mencari keutamaan melalui ilmu. Kemudian keutamaan itu membahagiakannya di dunia dan akherat. Dan ilmu patut dicari karena dzatnya, yang memiliki kelebihan dan kebaikan.
Metode pengajaran Al-Ghazali yaitu metode khusus pendidikan anak dan menyempurnakan agar berakhlak terpuji, menghiasi dirinya dengan keutamaan-keutamaan. Sedangkan metode tentang pengajaran agama dimulai dari menghafal disertai memahami kemudian keyakinan dengan membenarkan. Setelah itu dikemukakan keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang membatu menguatkan akidah.
Rekonstruksi yang dapat diambil: Seorang guru hendaknya memiliki sifat yang cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlak dan kuat fisiknya, mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, memiliki sifat kasih sayang, tidak menuntut upah, sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya.
Sebagai seorang murid hendaknya berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya, menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu, bersifat rendah hati dan tawadhu’, serta mempelajari ilmu secara bertahap mengenal nilai dari setiap ilmu yang dipelajarinya.


Daftar Pustaka
Nata Abuddin, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada .hal 80
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul Husaini, tt.hal 13
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul Husaini, tt.hal 14
Ihya Ulumuddin juz 3, hal 12
Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25.
Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25
Dahlan Thamrin,”Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya”. Hal. 27



[1] Nata Abuddin, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )hal 80
[2] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul Husaini, tt.hal 13
[3] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul Husaini, tt.hal 14
[4] Ihya Ulumuddin juz 3, hal 12
[5] Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25
[6] Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25

Ley's. Powered by Blogger.