pendidikan ghazali
REKONSTRUKSI KRITERIA PENDIDIK DAN
PESERTA DIDIK MENURUT AL-GHAZALI PADA ERA BANI ABASIYAH TERHADAP KEMAJUAN PENDIDIKAN
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah
Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Muqowim, M.Ag
Disusun
Oleh :
Ikhwan
Mutaqin 10410067
PAI
D
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
belakang
- Rumusan
masalah
BAB II
PEMBAHASAN
- Pendidik
dan Peserta Didik pada Masa Kini
Dewasa ini
banyak persoalan pendidikan yang berkaitan dengan metode pengajaran, pendidik
maupun dari segi peserta didiknya. Banyak guru yang tidak dapat menjadi panutan
maupun menjadi pelindung bagi muridnya. Sehingga dalam prakteknya banyak guru
yang masih menggunaan kekerasan untuk menghadapi anak yang nakal maupun untuk
memberikan hukuman. Model pengajaran yang tidak menggunakan rasa kasih
sayangpun menjadi salah satu penyebab murid-muridnya tertekan dan memberontak.
Sehingga perilaku murid sendiri jauh dari kriteria murid yang baik karena
krisisnya keteladanan dari guru.
- Riwayat
Hidup Al Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin At-Tusi Al-Ghazali. Beliau lahir di sebuah
desa kecil bernama Ghazalah Thabaran, di Thus, wlayah Khurasan (Iran) pada
tahun 450 H atau 1058 M dari keluarga yang taat beragama dan bersahaja,
dari itulah beliau belajar al-Qur’an. Ayah al-Ghazali adalah seorang muslim
yang salih, sekalipun ia tidak orang yang kaya namun ia selalu meluangkan waktunya
untuk menghadiri majelis-majelis pengajian yang diselenggarakan ulama, beliau
suka terhadap ilmu. Ayahnya, Muhammad, bekerja sebagai seorang pemintal dan
pedagang kain wol, Al-Ghazali mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama
Abu Al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Tusi Al-Ghazali yang
dikenal dengan julukan majduddin (wafat pada tahun 520 H). Keduanya kemudian
menjadi ulama besar, dengan kecenderungan yang berbeda. Majduddin lebih
cenderung pada kegiatan da’wah dibanding Al-Ghazali yang menjadi penulis dan
pemikir[1].
Pendidikan Al-Ghazali di masa
kanak-kanak berlangsung di kampung asalnya. Setelah ayahnya wafat, ia dan
saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk
mengasuh mereka, yaitu Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani At-Tusi, seorang ahli
tasawuf dan fiqih dari Tus. Pada awalnya, sang sufi mendidik mereka secara
langsung. Namun, setelah harta mereka habis, sementara sufi itu seorang yang
miskin, tidak sanggup member makan al-Ghazali, maka sufi tersebut menyarankan
agar kedua anak tersebut tetap melanjutkan belajar dengan jalan mengabdi pada
sebuah sekolahan, sehingga disamping dapat belajar, juga dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Madrasah ini memberi para pelajarnya pakaian dan makanan
secara cuma-cuma. Santunan dan fasilitas yang disediakan madrasah itu sempat
menjadi tujuan Al-Ghazali dalam menuntut ilmu. Kemudian sufi itu menyadarkan
Al-Ghazali bahwa tujuan menuntut ilmu bukanlah untuk mencari penghidupan,
melainkan semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah SWT dan mencapai
pengetahuan tentang Allah SWT secara benar. Di madrasah inilah Al-Ghazali mulai
belajar fiqih.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami
bahwa al-Ghazali mempunyai pendidikan spiritual yang kuat, sehingga menjadi
dasar pembentukan kepribadian dalam perkembangan hidup selanjutnya.
C. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali
1. Pengertian Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak
mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan dalam
kitabnya Ihya Ulumiddin. Adapun unsur-unsur pembentuk pengertian pendidikan
dari al-Ghazali dapat dilihat dalam pernyataan berikut:
“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri
kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat
dan berhampiran dengan malaikat tinggi…”[2]
“…dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang
berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu beku yang tidak berkembang.”[3]
Jika kita perhatikan kutipan yang
pertama, kata “hasil” menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah”
menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan
yang kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam
bentuk pengajaran. Batas awal berlangsungnya proses pendidikan menurut
al-Ghazali, yakni sejak bertemunya sperma dan ovum sebagai awal manusia. Batas
akhir pendidikan menurut al-Ghazali sampai akhir hayatnya.
Dari keterangan di atas pendidikan
menurut al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya
sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam
bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi
tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan
juga bernuansa islami dan moral. Di samping itu, ia juga tidak mengabaikan
masalah-masalah duniawiyah, sehingga ia juga menyediakan porsi yang sesuai
dengan pendidikan.
2. Tujuan
Pendidikan
Al-Ghazali berkata: “Dunia tempat
menanam untuk akherat. Sebagai alat untuk berhubungan dengan Allah Azza wa
Jalla, bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, bukan bagi orang
yang menjadikannya tempat menetap dan tempat berdiam.”[4]
“Bila engkau memandang ilmu engkau
melihatnya lezat, maka ia dicari karena lezatnya, dan engkau menemukan sebagai
jalan kebahagiaan ke akherat dan sebagai perantara pendekatan kepada Allah
Ta’ala, dan tidak sampai kepada Allah melainkan dengan ilmu. Derajat yang
paling tinggi bagi anak cucu adam adalah kebahagiaan yang langgeng dan sesuatu
yang utama adalah yang dapat mengantarkan ke sana kecuali dengan ilmu dan amal
dan tidak sampai pada amal kecuali dengan mengetahui cara beramal. Pokok
kebahagian dunia dan akherat adalah dengan ilmu, dan hal itu adalah amal yang
utama.”[5]
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali:
·
Sebagai kesempurnaan manusia dunia dan akherat.
Manusia akan sampai pada kesempurnaan dengan mencari keutamaan melalui ilmu.
Kemudian keutamaan itu membahagiakannya di dunia dan akherat.
·
Ilmu patut dicari karena dzatnya, yang memiliki
kelebihan dan kebaikan. “ilmu pengetahuan itu secara mutlak utama dalam
dzatnya”[6]
3. Metode Pengajaran Menurut
Al-Ghazali
Al-Ghazali tidak menetapkan metode
khusus pengajaran dalam berbagai tulisannya kecuali pada pengajaran agama saja
pada anak-anak. Ia menjelaskan metode khusus pendidikan anak dan menyempurnakan
agar berakhlak terpuji, menhiasi dirinya dengan keutamaan-keutamaan.
Berdasarkan prinsipnya bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan
hubungan yang erat anatara guru dan murid.
Metode pengajaran perhatian
Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan
pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus
dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Al-Ghazali menggambarkan pentingnya
keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang
pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar merupakan pekerjaan yang paling mulia
sekaligus yang paling agung. Pandangannya berlandaskan bukti firman Allah dan
hadis-hadis Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian.
Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah
manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas
menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Al-Ghazali mengibaratkan siapa yang
berilmu dan membimbing manusia dan ilmunya berfaedah bagi orang lain maka, “dia
seperti matahari yang memerangi orang lain dan dia menerangi dirinya sendiri
dan seperti misik yang mengharumi lainnya sedangkan dia sendiri harum.”
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali
lebih cenderung berfaham empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan
pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan
kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga,
sederhana, dan bersih dari ukiran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang
digoreskan kepadanya dan akan denderung ke arah yang kita kehendaki. Oleh karna
itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah
sifat-sifat yang baik pula. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak
itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”( HR. Muslim)
Al-Ghazali adalah imam agama yang
berciri tasawuf, mengutamakan pendidikan yang berkembang yang pertama kali
membina hati dengan ma’rifat dan mendidik jiwa dengan ibadah dan mengenal Allah
serta pendekatan diri kepada Allah yaitu dengan cara menanamkan pokok-pokok
agama yang benar di dada anak kecil pada masa pertumbuhannya.
Al-Ghazali mengatakan bahwa
pendidikan agama harus dimulai sejak usia muda. Karena pada masa ini, anak
kecil siap menerima aqidah-aqidah agama dengan iman yang murni dan tidak
memerlukan bukti pada ketetapan dan hujahnya. Pertama kali mengajarkan agama
dengan menghafalkan kaidah-kaidah dan pokok-pokoknya. Sesudah itu guru
menyingkap maknanya, memahaminya, manancapkannya kemudian membenarkannya.
Menanamkan agama pada anak kecil didahului dengan menuntun dan meniru, serta
dengan ketentuan-ketentuan sedikit sampai anak menjadi pemuda. Hal itu bisa
ditanam selama ditegakkan I’tiqodnya dikuatkan dengan dalil. Adapun selama
aqidah tidak ditegakkan dengan dalil akan menjadi agama yang lemah, mudah
luntur dan menerima yang lain. Metode ini tidak ditegakkan melalui diskusi atau
berdebat karena berdebat banyak merusakan hal-hal yang berfaedah yang terkadang
menyebabkan keracuan pikiran murid dan meragukannya. Bahkan ditegakkan dengan
mengulang-ulang membaca Al-Qur’an, tafsir, hadis dan membiasakan ibadah.
Dengan ini al-Ghazali menetapkan
metode yang jelas tentang pengajaran agama dimulai dari menghafal disertai
memahami kemudian keyakinan dengan membenarkan. Setelah itu dikemukakan
keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang membatu menguatkan akidah.
4. Kriteria Pendidik dan Peserta
Didik menurut Al-Ghazali
Sedangkan dalam permasalahan
pendidik dan peserta didik, Al-Ghazali menentukan beberapa kriteria seorang
pendidik dan peserta didik yang baik, diantaranya adalah:
- Kriteria
Guru Yang Baik
Menurut al-Ghazali selain cerdas dan
sempurna akalnya, seorang guru yang baik juga harus baik akhlak dan kuat
fisiknya. Dengan kesempurnaan akal dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan
secara mendalam, dan dengan akal yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas
mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Selain sifat umum diatas seorang
guru menurut al-Ghazali juga harus memiliki sifat-sifat khusus yang diantaranya
adalah kasih sayang, tidak menuntut upah atas apa yang dikerjakannya, berfungsi
sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia
tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum
ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Seorang guru yang baik harus
menggunakan cara yang simpatik, halus, dan tidak menggunakan kekerasan, cacian,
makian, dan sebagaianya. Seorang guru juga tampil sebagai teladan atau panutan
yang baik dihadapan murid-muridnya. Ia juga harus memiliki prinsip mengakui
adanya perbedaan potensi secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan
tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya. Seorang guru juga harus mampu
memahami perbedaan bakat, tabi’at, dan kejiwaan muridnya sesuai dengan
perbedaan tingkat usianya. Dan yang terakhir seorang guru yang baik harus
berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya
merealisasikannya sedemikian rupa.
- Kriteria Murid Yang Baik
Pendidikan bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga bernilai ibadah. Untuk menurut
al-Ghazali seorang murid yang baik harus memiliki sifat :
- Berjiwa
bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela
lainnya.
- Menjauhkan
diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia
dan masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu.
- Rendah
hati dan tawadhu’.
- Khusus
bagi murid yang baru jangan mempelajar ilmu-ilmu yang berlawanan atau
pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
- Mendahulukan
mempelajari yang wajib
- Mempelajari
ilmu secara bertahap
- Tidak
mempelajari suatu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu
sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara
alami. Dimana sebagian merupakan jalan menuju sebagian yang lain.
- Seorang
murid juga harus mengenal nilai darisetiap ilmu yang dipelajarinya.
- Rekonstruksi Pendidikan
Al-Ghozali terhadap Pendidikan Masa Kini
Rekonstruksi yang dapat diambil dari
pendidikan menurut Al-Ghazali adalah bahwa seorang guru hendaknya memiliki
sifat yang cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlak dan kuat fisiknya. Sehingga
guru tersebut mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sehingga guru tersebut
mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akal yang
baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat
fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak
didiknya.
Seorang guru juga hendaknya memiliki
sifat kasih sayang namun tidak pilih kasih, tidak menuntut upah atas apa yang
dikerjakannya tetapi juga dilandasi rasa ikhlas dalam mengajar. Mengingat guru
saat ini banyak yang mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban sebagai
seorang guru dan hanya bertujuan untuk mendapatkan upah atau gaji. Guru juga
hendaknya berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar
dihadapan murid-muridnya. Sehingga guru tersebut bisa menjadi sosok yang dapat
dijadikan teladan oleh murid-muridnya.
Hal lain yang dapat dijadikan
rekonstruksi adalah sebagai seorang murid hendaknya berjiwa bersih, terhindar
dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga murid
lebih mudah dalam menerima pelajaran dari guru. Seorang murid juga hendaknya menjauhkan
diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan
masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu, bersifat rendah
hati dan tawadhu’, serta mempelajari ilmu secara bertahap sehingga mampu
mengaitkan antara satu ilmu dengan yang lain, seorang murid juga harus mengenal
nilai dari setiap ilmu yang dipelajarinya sehingga dapat diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan menurut al-Ghazali adalah
proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui
berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara
bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan
masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali
adalah sebagai kesempurnaan manusia dunia dan akherat. Manusia akan sampai pada
kesempurnaan dengan mencari keutamaan melalui ilmu. Kemudian keutamaan itu
membahagiakannya di dunia dan akherat. Dan ilmu patut dicari karena dzatnya,
yang memiliki kelebihan dan kebaikan.
Metode pengajaran Al-Ghazali yaitu
metode khusus pendidikan anak dan menyempurnakan agar berakhlak terpuji, menghiasi
dirinya dengan keutamaan-keutamaan. Sedangkan metode tentang pengajaran agama
dimulai dari menghafal disertai memahami kemudian keyakinan dengan membenarkan.
Setelah itu dikemukakan keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang membatu
menguatkan akidah.
Rekonstruksi yang dapat diambil: Seorang
guru hendaknya memiliki sifat yang cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlak dan
kuat fisiknya, mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, menjadi
contoh dan teladan bagi para muridnya, memiliki sifat kasih sayang, tidak
menuntut upah, sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan
murid-muridnya.
Sebagai seorang murid hendaknya
berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela
lainnya, menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi
keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya
penguasaan ilmu, bersifat rendah hati dan tawadhu’, serta mempelajari ilmu
secara bertahap mengenal nilai dari setiap ilmu yang dipelajarinya.
Daftar
Pustaka
Nata Abuddin, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada .hal 80
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul
Husaini, tt.hal 13
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul
Husaini, tt.hal 14
Ihya Ulumuddin juz 3, hal 12
Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25.
Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25
Dahlan Thamrin,”Al-Ghazali dan Pemikiran
Pendidikannya”. Hal. 27
[1] Nata Abuddin, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam,
( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )hal 80
Monday, June 03, 2013
|
Labels:
sejarah pendidikan islam
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
about me
Ley's. Powered by Blogger.
5 comments:
wwdwd
Makasih atas ilmunya
Makasih atas ilmunya
Makasih atas ilmunya
Kami S128Cash Selaku Situs Betting Online Terbesar dan Terpopuler di Indonesia ingin mengajak Anda bergabung bersama kami.
Dengan memiliki CS yang Profesional, kami akan memberikan pelayanan Terbaik untuk Anda semua dan pastinya Anda akan merasa nyaman bermain bersama kami.
Semua permainan Populer dikalangan masyarakat Indonesia tersedia disini, seperti Sportsbook, Live Casino, Sabung Ayam Online, IDN Poker dan masih banyak permainan lainnya.
S128Cash juga menyediakan berbagai PROMO BONUS, yaitu :
- BONUS NEW MEMBER 10%
- BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
- BONUS CASHBACK 10%
- BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!
Aya segera bergabung bersama kami dan jangan lupa untuk mengajak teman-teman Anda.
Hubungi kami :
- Livechat : Live Chat Judi Online
- WhatsApp : 081910053031
Link Alternatif :
- http://www.s128cash.biz
Judi Bola
Daftar Judi Bola
Post a Comment