REKONSTRUKSI KEJAYAAN PENDIDIKAN
MASA UMAYAH DI ANDALUSIA
TERHADAP KEMAJUAN PENDIDIKAN
MASA KINI
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Muqowim, M.Ag
Disusun
Oleh :
Laili
Masruroh 10410082
PAI
D
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Perkembangan
pendidikan semakin hari semakin maju hal itu tidak terlepas dari sejarah
pendidikan di masa lalu. Jadi peranan
kita sangat penting untuk mempelajari sejarah pendidikan apalagi kita sebagai generasi penerus jangan
sampai melupakan sejarah. Kita sebagai orang Islam dan menuntut ilmu di Kampus
Islam tentunya harus paham akan sejarah pendidikan di masa lalu. Hal ini perlu agar kita mampu
menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah terjadi.
Sejarah
Pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam.
Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu
sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution merincikan Sejarah Islam ke dalam
lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar
Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode
kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di
Baghdad (1250-sekarang). Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menjelaskan
tentang Dinamika Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayah Di Andalusia
(Spanyol).
BAB II
PEMBAHASAN
- Pendidikan Islam
Masa Kini
Pendidikan
belum merata
Masyarakat
yang miskin tidak dapat merasakan pendidikan
Pemerintah
kurang memperhatikan pendidikan
- Sejarah Singkat
Umayah di Andalusia
Nama
Bani Umayyah berasal dari nama “Umayyah Ibn Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, yaitu
salah seorang pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman Jahiliyah. Dinasti
Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Aby Sufyan, dan berkuasa sejak tahun 661
sampai tahun 750 Masehi dengan ibukota Damaskus. Ia juga mengganti sistem
pemerintahan muslim yang semula bersistem musyawarah (demokrasi) menjadi sistem
Monarchy Herdity (Kekuasaan turun-temurun).
Dinasti
Umayyah dibedakan menjadi dua: pertama, Dinasti umayyah yang dirintis oleh
Muawiyah Bin Abi Sufyan (661-680M) yang berpusat di Damaskus (Syiria). Fase ini
berlangsung sekitar satu abad yang
mengubah system pemerintahan dari khilafah menjadi monarki (mamlakat). Kedua,
Dinasti Umayah di Andalusia, yang awalnya merupakan wilayah taklukan Umayyah
yang di pimpin seorang gubernur pada zaman Walid Bin Abdul Malik (86-96
H/705-715 M) yang kemudian menjadi
kerajaan .
Al
Andalus berarti “untuk menjadi hijau pada akhir musim panas” dan merujuk pada
wilayah yang diduduki oleh kerajaan Muslim di Spanyol Selatan yang meliputi
kota-kota seperti Almeria, Malaga, Zadiz, Huelva, Seville, Cordoba, Jaen dan
Granada.
Andalusia
menjadi salah satu propinsi dari daulah Bani Umayyah sampai tahun 132 H/ 750 M.
Selama periode tersebut, para gubernur Umawiyah di Andalusia berusaha
mewujudkan impian Musa bin Nushair untuk menguasai Galia. Akan tetapi, dalam
pertempuran Poitiers didekat Tours pada tahun 114 H / 732 M tentara Islam
dibawah pimpinan Abd Al – Rahman Al – Ghafiq di pukul mundur oleh tentara
Nasrani Eropa dibawah pimpinan Kartel Martel. Itulah titik akhir dari
serentetan sukses umat Islam diutara pegunungan Pyneria. Setelah itu mereka
tidak pernah meraih kemenangan yang berarti dalam menghadapi serangan balik
kaum Nasrani Eropa. Ketika daulah Bani Umayyah runtuh pada tahun 132 H / 750 M.
Andalusia menjadi salah satu propinsi dari daulah Bani Abbas sampai Abd Al
Rahman bin Muawiyah, cucu khalifah Umawiyah kesepuluh hisyam bn Abd Malik,
memproklamasikan propinsi itu sebagai Negara yang berdiri sendiri pada tahun
138 H/756 M. Sejak proklamasi itu. Andalusia memasuki babak baru sebgai sebuah
Negara berdaulat dibawah kekuasaan Bani Umayyah II yang beribukota di Codova
sampai tahun 422 H/1031.
- Lembaga Pendidikan
Islam masa Umayah Andalusia
Lembaga
pendidikan Islam dimasa ini diklasifikasikan atas dasar muatan kurikulum yang
diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi pengetahuan agama (Lembaga
pendidikan formal) dan pengetahuan umum
(non formal). Adapun lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan
madrasah pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a. Shuffah,
adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya
tempat ini menyediakan tempat pemondokan bagi pendatang baru dan mereka
tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan menghafal Alquran
secara benar dan hukum Islam dibawah bimbingan langsung dari nabi. Pada masa
ini setidaknya telah ada sembilan shuffah yang tersebar dikota Madinah. Dalam
perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar
berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.
b. Kuttab
atau Maktab, adalah Lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan
membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan
agama tingkat dasar.
c. Halaqah
artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di
mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai
menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya
pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di
rumah-rumah. Kegiatan halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau
mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat.
d. Majlis,
yang berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Ada
beberapa macam majlis seperti; Majlis al-Hadits, majlis ini diselenggarakan
oleh ulama atau guru yang ahli dalam bidang hadits. Majlis al-Tadris, majlis
ini biasanya menunjuk majlis selain dari pada hadist, seperti majlis fiqih,
majlis nahwu, atau majlis kalam. Majlis al-Syu’ara, majlis ini adalah lembaga
untuk belajar syair, dan sering dipakai untuk kontes para ahli syair. Majlis
al-Adab, majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi
puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal. Majlis
al-Fatwa dan al-Nazar, majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk mencari
keputusan suatu masalah dibidang hokum kemudian difatwakan.
e. Masjid,
Semenjak berdirinya pada masa Nabi Muhammad Saw, masjid telah menjadi pusat
kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik yang menyangkut
pendidikan maupun sosial ekonomi.
f. Khan,
berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar
hukum Islam pada suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad
ibn Di’lij di Suwaiqat Ghalib dekat makam Suraij. Disamping fungsi itu, khan
juga digunakan sebagai sarana untuk belajar privat.
g. Badi’ah,
Secara harfiah badiah artinya dusun Badui di padang sahara yang di dalam terdapat
padang sahara yang didalam terdapat bahasa Arab yang masih fasih dan murni
sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Lembaga Pendidikan ini muncul seiring dengan kebijakan
pemerintahan Bani Umayyah untuk melakukan program Arabisasi yang digagas oleh
khalifah Abdul Malik Ibn Marwan. Akibat dari Arabisasi ini maka muncullah ilmu
qawaid dan cabang ilmu lainnya mempelajari bahasa Arab. Melaui pendidikan di
Badiah ini,maka bahasa Arab dapat sampai ke Irak, Syiria, Mesir, Lebanon,
Tunisia, Al-Jazair, Maroko, di samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab,dan
sekitarnya. Dengan demikian banyak para penguasa yang mengirim anaknya untuk
belajar bahasa Arab ke Badiah.
Sedangkan
Madrasah-madrasah yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a. Madrasah
Mekkah: Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah
takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang
halal dan haram dalam Islam. Pada masa
khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu
mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra.
Abdullah bin Abbaslah pembangunan madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh
negeri Islam.
b. Madrasah
Madinah: Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam ilmunya, karena di
sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat nabi. Berarti disana banyak terdapat
ulama-ulama terkemuka.
c. Madrasah
Basrah: Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari
dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist,
serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan
Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli
tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar,
bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid
Basrah.
d. Madrasah
Kufah: Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar,
yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin
Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di
Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud menjadi guru
di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud. Bahkan
mereka pergi ke Madinah.
e. Madrasah
Damsyik (Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian negara Islam
dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian
para Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman
Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya
tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu
lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
f. Madrasah
Fistat (Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi pusat
ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula madrasah madrasah di Mesir ialah Abdullah
bin ‘Amr bin Al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama). Ia ahli hadis dengan arti
kata yang sebenarnya. Karena ia bukan saja menghafal hadis-hadis yang didengarnya
dari Nabi S.A.W., melainkan juga
dituliskannya dalam buku catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf
meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-muridnya. Oleh karena itu banyak
sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadis-hadis dari padanya. Karena pelajar-pelajar
tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri tempat tinggalnya,
melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan ilmunya. Pelajar
Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah, pelajar Kufah
melawat Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulah seterusnya. Dengan
demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar seluruh kota-kota di Negara Islam.
- Faktor Pendorong
Majunya Pendidikan Islam Masa Umayah di Andalusia
Beberapa
faktor yang menyebabkan majunya pendididkan islam pada masa Umayah di Andalusia
adalah:
- Adanya
dukungan dari para penguasa. Kemajuan Andalusia Islam sangat ditentukan
oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa serta mencintai ilmu
pengetahuan, juga memberikan dukungan dan penghargaan terhadap para
ilmuawan dan cendekiawan.
- Didirikannya
sekolah-sekolah dan universitas-universitas dibeberapa kota di Spanyol
oleh Abd Al-Rahman III Al-Nashir, dengan universitasnya yang terkenal di
Cordova. Serta dibangunnya perpustakaan-perpustakaan yang memiliki koleksi
buku-buku yang cukup banyak.
- Banyaknya
para sarjana Islam yang dating dari ujung Timur sampai ujung Barat wilayah
Islam dengan membawa berbagai buku dan bermacam gagasan. Ini menunjukkan
bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam berbagai kesatuan politik,
terdapat apa yang disebut kesatuan Budaya Islam.
- Adanya
persaingan antara Abbasiyah di Bagdhad dan Umayah di Spanyol dalam bidang
ilmu pengetahuan dan peradaban. Kompetisi dalam bidang ilmu pengetahuan
dengan didirikannya Universitas Cordova yang menyaingi Universitas
Nizhamiyah di Bagdhad yang merupakan persaingan positif tidak selalu dalam
bentuk peperangan.
Perkembangan
pesat ilmu pengetahuan dan filsafat pada masa itu tidak terlepas kaitannya dari
kerjasama yang harmonis antara penguasa, hartawan dan ulama. Umat Islam di
Negara-negara Islam pada masa itu berkeyakinan bahwa memajukan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan umumnya, merupakan salah satu kewajiban pemerintahan. Kesadaran
kemanusiaan dan kecintaan akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para
pendukung ilmu telah menimbulkan hasrat untuk mengadakan
perpustakaan-perpustakaan, disamping mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang
semua biaya pembangunan ditanggung
pemerintah. Sekolah dan perpustakaan, baik perpustakaan umum maupun
perpustakaan pribadi, banyak dibangun di berbagai penjuru kerajaan, sejak dari
kota-kota besar hingga ke desa-desa.
Banyak
sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah
ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar kepada murid yang berhak
menerimanya. Selain itu pemerintah juga memberikan subsidi yang banyak terhadap
pendidikan, yakni dengan murahnya buku-buku bacaan, atau diberikan penghargaan
yang tinggi berupa emas murni kepada penulis atau penerjemah buku, seberat buku
yang diterjemahkannya. Pemerintah juga memberikan subsidi kepada makanan pokok,
sehingga masalah pengisian kepala dan pengisian perut tidak terlalu dihiraukan
lagi dan relatif murah dijangkau serta didapat oleh masyarakat.
Andalusia
pada kala itu sudah mencapai tingkat peradaban yang sangat maju, sehingga
hampir tidak ada seorang pun penduduknya
yang buta huruf. Dari Andalusia ilmu pengetahuan dan peradaban arab mengalir ke
negara-negara Eropa Kristen, melalui
kelompok-kelompok terpelajar mereka yang pernah menuntut ilmu di Universitas
Cordova, Malaga, Granada, Sevilla atau lembaga-lembaga ilmu pengetahuan lainnya
di Andalusia.
- Rekonstruksi
Pendidikan Masa Umayah Terhadap Pendidikan Masa Kini
Dari
uraian di atas, maka dapat diambil beberapa pelajaran yang dapat kita gunakan
sebagai rekonstruksi dalam upaya peningkatan dan kemajuan pendidikan kita pada
saat ini. Pertama adalah lembaga pendidikan Shuffah sebagai tempat yang dipakai
untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan tempat pemondokan
bagi pendatang baru dan mereka tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan
membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam serta pelajaran
dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik. Di
Indonesia juga diperlukan lembaga pendidikan yang memiliki fasilitas seperti
Shuffah tersebut. Agar tidak hanya warga masyarakat yang mampu saja yang dapat
mengenyam pendidikan tetapi warga yang kurang mampu juga dengan bantuan dari
pemerintah mampu mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak hanya itu, dengan
adanya pemondokan dan pengajaran Al-quran serta pelajaran umum yang lain dapat
lebih memaksimalkan potensi-potensi meraka, tidak hanya dalam pengetahuan saja
namun juga akhlak mereka.
Rekonstruksi
yang kedua dapat diambil dari faktor yang mendorong kemajuan pendidikan pada
masa Umayah di Andalusia yaitu kerjasama yang harmonis antara penguasa,
hartawan dan ulama sehingga dapat membawa kemajuan yang besar dalam pendidikan.
Kesadaran kemanusiaan dan kecintaan akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
para pendukung ilmu juga merupakan faktor penting sebagai penggerak sehingga
mereka mampu memberikan dukungan yang maksimal. Peran pemerintah dalam
memperhatikan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, perpustakaan maupun
lembaga pendidikan yang semuanya ditanggung oleh pemerintah dan menyebar sejak
dari kota-kota besar hingga ke desa-desa sehingga hampir tidak ada seorang pun penduduknya yang buta huruf.
Pemerintah juga memberikan subsidi terhadap pendidikan, yakni dengan murahnya
buku-buku bacaan, juga memberikan subsidi kepada makanan pokok, serta beasiswa
bagi murid yang tidak mampu. Hal ini dapat diterapkan di Indonesia sehingga
pendidikan kita juga akan lebih maju apabila pemerintah dan para pendukung ilmu
bekerjasama menciptakan perubahan yang besar sebagai upaya pemaksimalan mutu
pendidikan di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Lembaga
pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada masa Bani Umayyah
meliputi Shuffah, Kuttab atau Maktab, Halaqah,
Majlis,
Masjid
dan Badi’ah.
Namun setelah itu banyak bermunculan madrasah-madrasah diantaranya adalah Madrasah
Mekkah, Madrasah
Madinah, Madrasah Basrah, Madrasah Kufah, Madrasah
Damsyik (Syam) dan Madrasah Fistat (Mesir).
Beberapa
faktor pendukung kemajuan Pendidikan masa Umayah di Andalusia adalah adanya
andil pemerintah dalam upaya kemajuan pendidikan. Kesadaran kemanusiaan dan
kecintaan akan ilmu pengetahuan menimbulkan hasrat untuk mengadakan
perpustakaan-perpustakaan, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang semua biaya
pembangunan ditanggung pemerintah,
memberikan beasiswa, memberikan subsidi yang banyak terhadap pendidikan juga
memberikan subsidi kepada makanan pokok.
Rekonstruksi
yang dapat diambil adalah dengan menerapkan lembaga pendidikan shuffah kembali
sebagai fasilitas bagi warga yang kurang mampu. Serta mengambil pelajaran dari
faktor yang mendorong majunya pendidikan masa Umayah di Andalusia yaitu tentang
kesadaran pentingnya ilmu pengetahuanbagi pendukung ilmu, kerjasama antara
pemerintah hartawan dan ulama, serta peran pemerintah dalam upaya memfasilitasi
peserta didik dalam dunia pendidikan.
Daftar Pustaka
Mubarok,
Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Zuhairini
dkk, 2010. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Nata,
Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2004
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Grafindo
Persada, 2010
Thursday, June 06, 2013 | Labels: sejarah pendidikan islam | 2 Comments
pendidikan ghazali
REKONSTRUKSI KRITERIA PENDIDIK DAN
PESERTA DIDIK MENURUT AL-GHAZALI PADA ERA BANI ABASIYAH TERHADAP KEMAJUAN PENDIDIKAN
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah
Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Muqowim, M.Ag
Disusun
Oleh :
Ikhwan
Mutaqin 10410067
PAI
D
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
belakang
- Rumusan
masalah
BAB II
PEMBAHASAN
- Pendidik
dan Peserta Didik pada Masa Kini
Dewasa ini
banyak persoalan pendidikan yang berkaitan dengan metode pengajaran, pendidik
maupun dari segi peserta didiknya. Banyak guru yang tidak dapat menjadi panutan
maupun menjadi pelindung bagi muridnya. Sehingga dalam prakteknya banyak guru
yang masih menggunaan kekerasan untuk menghadapi anak yang nakal maupun untuk
memberikan hukuman. Model pengajaran yang tidak menggunakan rasa kasih
sayangpun menjadi salah satu penyebab murid-muridnya tertekan dan memberontak.
Sehingga perilaku murid sendiri jauh dari kriteria murid yang baik karena
krisisnya keteladanan dari guru.
- Riwayat
Hidup Al Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin At-Tusi Al-Ghazali. Beliau lahir di sebuah
desa kecil bernama Ghazalah Thabaran, di Thus, wlayah Khurasan (Iran) pada
tahun 450 H atau 1058 M dari keluarga yang taat beragama dan bersahaja,
dari itulah beliau belajar al-Qur’an. Ayah al-Ghazali adalah seorang muslim
yang salih, sekalipun ia tidak orang yang kaya namun ia selalu meluangkan waktunya
untuk menghadiri majelis-majelis pengajian yang diselenggarakan ulama, beliau
suka terhadap ilmu. Ayahnya, Muhammad, bekerja sebagai seorang pemintal dan
pedagang kain wol, Al-Ghazali mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama
Abu Al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Tusi Al-Ghazali yang
dikenal dengan julukan majduddin (wafat pada tahun 520 H). Keduanya kemudian
menjadi ulama besar, dengan kecenderungan yang berbeda. Majduddin lebih
cenderung pada kegiatan da’wah dibanding Al-Ghazali yang menjadi penulis dan
pemikir[1].
Pendidikan Al-Ghazali di masa
kanak-kanak berlangsung di kampung asalnya. Setelah ayahnya wafat, ia dan
saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk
mengasuh mereka, yaitu Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani At-Tusi, seorang ahli
tasawuf dan fiqih dari Tus. Pada awalnya, sang sufi mendidik mereka secara
langsung. Namun, setelah harta mereka habis, sementara sufi itu seorang yang
miskin, tidak sanggup member makan al-Ghazali, maka sufi tersebut menyarankan
agar kedua anak tersebut tetap melanjutkan belajar dengan jalan mengabdi pada
sebuah sekolahan, sehingga disamping dapat belajar, juga dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Madrasah ini memberi para pelajarnya pakaian dan makanan
secara cuma-cuma. Santunan dan fasilitas yang disediakan madrasah itu sempat
menjadi tujuan Al-Ghazali dalam menuntut ilmu. Kemudian sufi itu menyadarkan
Al-Ghazali bahwa tujuan menuntut ilmu bukanlah untuk mencari penghidupan,
melainkan semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah SWT dan mencapai
pengetahuan tentang Allah SWT secara benar. Di madrasah inilah Al-Ghazali mulai
belajar fiqih.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami
bahwa al-Ghazali mempunyai pendidikan spiritual yang kuat, sehingga menjadi
dasar pembentukan kepribadian dalam perkembangan hidup selanjutnya.
C. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali
1. Pengertian Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak
mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan dalam
kitabnya Ihya Ulumiddin. Adapun unsur-unsur pembentuk pengertian pendidikan
dari al-Ghazali dapat dilihat dalam pernyataan berikut:
“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri
kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat
dan berhampiran dengan malaikat tinggi…”[2]
“…dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang
berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu beku yang tidak berkembang.”[3]
Jika kita perhatikan kutipan yang
pertama, kata “hasil” menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah”
menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan
yang kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam
bentuk pengajaran. Batas awal berlangsungnya proses pendidikan menurut
al-Ghazali, yakni sejak bertemunya sperma dan ovum sebagai awal manusia. Batas
akhir pendidikan menurut al-Ghazali sampai akhir hayatnya.
Dari keterangan di atas pendidikan
menurut al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya
sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam
bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi
tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan
juga bernuansa islami dan moral. Di samping itu, ia juga tidak mengabaikan
masalah-masalah duniawiyah, sehingga ia juga menyediakan porsi yang sesuai
dengan pendidikan.
2. Tujuan
Pendidikan
Al-Ghazali berkata: “Dunia tempat
menanam untuk akherat. Sebagai alat untuk berhubungan dengan Allah Azza wa
Jalla, bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, bukan bagi orang
yang menjadikannya tempat menetap dan tempat berdiam.”[4]
“Bila engkau memandang ilmu engkau
melihatnya lezat, maka ia dicari karena lezatnya, dan engkau menemukan sebagai
jalan kebahagiaan ke akherat dan sebagai perantara pendekatan kepada Allah
Ta’ala, dan tidak sampai kepada Allah melainkan dengan ilmu. Derajat yang
paling tinggi bagi anak cucu adam adalah kebahagiaan yang langgeng dan sesuatu
yang utama adalah yang dapat mengantarkan ke sana kecuali dengan ilmu dan amal
dan tidak sampai pada amal kecuali dengan mengetahui cara beramal. Pokok
kebahagian dunia dan akherat adalah dengan ilmu, dan hal itu adalah amal yang
utama.”[5]
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali:
·
Sebagai kesempurnaan manusia dunia dan akherat.
Manusia akan sampai pada kesempurnaan dengan mencari keutamaan melalui ilmu.
Kemudian keutamaan itu membahagiakannya di dunia dan akherat.
·
Ilmu patut dicari karena dzatnya, yang memiliki
kelebihan dan kebaikan. “ilmu pengetahuan itu secara mutlak utama dalam
dzatnya”[6]
3. Metode Pengajaran Menurut
Al-Ghazali
Al-Ghazali tidak menetapkan metode
khusus pengajaran dalam berbagai tulisannya kecuali pada pengajaran agama saja
pada anak-anak. Ia menjelaskan metode khusus pendidikan anak dan menyempurnakan
agar berakhlak terpuji, menhiasi dirinya dengan keutamaan-keutamaan.
Berdasarkan prinsipnya bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan
hubungan yang erat anatara guru dan murid.
Metode pengajaran perhatian
Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan
pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus
dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Al-Ghazali menggambarkan pentingnya
keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang
pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar merupakan pekerjaan yang paling mulia
sekaligus yang paling agung. Pandangannya berlandaskan bukti firman Allah dan
hadis-hadis Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian.
Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah
manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas
menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Al-Ghazali mengibaratkan siapa yang
berilmu dan membimbing manusia dan ilmunya berfaedah bagi orang lain maka, “dia
seperti matahari yang memerangi orang lain dan dia menerangi dirinya sendiri
dan seperti misik yang mengharumi lainnya sedangkan dia sendiri harum.”
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali
lebih cenderung berfaham empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan
pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan
kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga,
sederhana, dan bersih dari ukiran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang
digoreskan kepadanya dan akan denderung ke arah yang kita kehendaki. Oleh karna
itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah
sifat-sifat yang baik pula. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak
itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”( HR. Muslim)
Al-Ghazali adalah imam agama yang
berciri tasawuf, mengutamakan pendidikan yang berkembang yang pertama kali
membina hati dengan ma’rifat dan mendidik jiwa dengan ibadah dan mengenal Allah
serta pendekatan diri kepada Allah yaitu dengan cara menanamkan pokok-pokok
agama yang benar di dada anak kecil pada masa pertumbuhannya.
Al-Ghazali mengatakan bahwa
pendidikan agama harus dimulai sejak usia muda. Karena pada masa ini, anak
kecil siap menerima aqidah-aqidah agama dengan iman yang murni dan tidak
memerlukan bukti pada ketetapan dan hujahnya. Pertama kali mengajarkan agama
dengan menghafalkan kaidah-kaidah dan pokok-pokoknya. Sesudah itu guru
menyingkap maknanya, memahaminya, manancapkannya kemudian membenarkannya.
Menanamkan agama pada anak kecil didahului dengan menuntun dan meniru, serta
dengan ketentuan-ketentuan sedikit sampai anak menjadi pemuda. Hal itu bisa
ditanam selama ditegakkan I’tiqodnya dikuatkan dengan dalil. Adapun selama
aqidah tidak ditegakkan dengan dalil akan menjadi agama yang lemah, mudah
luntur dan menerima yang lain. Metode ini tidak ditegakkan melalui diskusi atau
berdebat karena berdebat banyak merusakan hal-hal yang berfaedah yang terkadang
menyebabkan keracuan pikiran murid dan meragukannya. Bahkan ditegakkan dengan
mengulang-ulang membaca Al-Qur’an, tafsir, hadis dan membiasakan ibadah.
Dengan ini al-Ghazali menetapkan
metode yang jelas tentang pengajaran agama dimulai dari menghafal disertai
memahami kemudian keyakinan dengan membenarkan. Setelah itu dikemukakan
keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang membatu menguatkan akidah.
4. Kriteria Pendidik dan Peserta
Didik menurut Al-Ghazali
Sedangkan dalam permasalahan
pendidik dan peserta didik, Al-Ghazali menentukan beberapa kriteria seorang
pendidik dan peserta didik yang baik, diantaranya adalah:
- Kriteria
Guru Yang Baik
Menurut al-Ghazali selain cerdas dan
sempurna akalnya, seorang guru yang baik juga harus baik akhlak dan kuat
fisiknya. Dengan kesempurnaan akal dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan
secara mendalam, dan dengan akal yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas
mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Selain sifat umum diatas seorang
guru menurut al-Ghazali juga harus memiliki sifat-sifat khusus yang diantaranya
adalah kasih sayang, tidak menuntut upah atas apa yang dikerjakannya, berfungsi
sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia
tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum
ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Seorang guru yang baik harus
menggunakan cara yang simpatik, halus, dan tidak menggunakan kekerasan, cacian,
makian, dan sebagaianya. Seorang guru juga tampil sebagai teladan atau panutan
yang baik dihadapan murid-muridnya. Ia juga harus memiliki prinsip mengakui
adanya perbedaan potensi secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan
tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya. Seorang guru juga harus mampu
memahami perbedaan bakat, tabi’at, dan kejiwaan muridnya sesuai dengan
perbedaan tingkat usianya. Dan yang terakhir seorang guru yang baik harus
berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya
merealisasikannya sedemikian rupa.
- Kriteria Murid Yang Baik
Pendidikan bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga bernilai ibadah. Untuk menurut
al-Ghazali seorang murid yang baik harus memiliki sifat :
- Berjiwa
bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela
lainnya.
- Menjauhkan
diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia
dan masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu.
- Rendah
hati dan tawadhu’.
- Khusus
bagi murid yang baru jangan mempelajar ilmu-ilmu yang berlawanan atau
pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
- Mendahulukan
mempelajari yang wajib
- Mempelajari
ilmu secara bertahap
- Tidak
mempelajari suatu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu
sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara
alami. Dimana sebagian merupakan jalan menuju sebagian yang lain.
- Seorang
murid juga harus mengenal nilai darisetiap ilmu yang dipelajarinya.
- Rekonstruksi Pendidikan
Al-Ghozali terhadap Pendidikan Masa Kini
Rekonstruksi yang dapat diambil dari
pendidikan menurut Al-Ghazali adalah bahwa seorang guru hendaknya memiliki
sifat yang cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlak dan kuat fisiknya. Sehingga
guru tersebut mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sehingga guru tersebut
mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akal yang
baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat
fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak
didiknya.
Seorang guru juga hendaknya memiliki
sifat kasih sayang namun tidak pilih kasih, tidak menuntut upah atas apa yang
dikerjakannya tetapi juga dilandasi rasa ikhlas dalam mengajar. Mengingat guru
saat ini banyak yang mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban sebagai
seorang guru dan hanya bertujuan untuk mendapatkan upah atau gaji. Guru juga
hendaknya berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar
dihadapan murid-muridnya. Sehingga guru tersebut bisa menjadi sosok yang dapat
dijadikan teladan oleh murid-muridnya.
Hal lain yang dapat dijadikan
rekonstruksi adalah sebagai seorang murid hendaknya berjiwa bersih, terhindar
dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga murid
lebih mudah dalam menerima pelajaran dari guru. Seorang murid juga hendaknya menjauhkan
diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan
masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu, bersifat rendah
hati dan tawadhu’, serta mempelajari ilmu secara bertahap sehingga mampu
mengaitkan antara satu ilmu dengan yang lain, seorang murid juga harus mengenal
nilai dari setiap ilmu yang dipelajarinya sehingga dapat diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan menurut al-Ghazali adalah
proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui
berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara
bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan
masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali
adalah sebagai kesempurnaan manusia dunia dan akherat. Manusia akan sampai pada
kesempurnaan dengan mencari keutamaan melalui ilmu. Kemudian keutamaan itu
membahagiakannya di dunia dan akherat. Dan ilmu patut dicari karena dzatnya,
yang memiliki kelebihan dan kebaikan.
Metode pengajaran Al-Ghazali yaitu
metode khusus pendidikan anak dan menyempurnakan agar berakhlak terpuji, menghiasi
dirinya dengan keutamaan-keutamaan. Sedangkan metode tentang pengajaran agama
dimulai dari menghafal disertai memahami kemudian keyakinan dengan membenarkan.
Setelah itu dikemukakan keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang membatu
menguatkan akidah.
Rekonstruksi yang dapat diambil: Seorang
guru hendaknya memiliki sifat yang cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlak dan
kuat fisiknya, mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, menjadi
contoh dan teladan bagi para muridnya, memiliki sifat kasih sayang, tidak
menuntut upah, sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan
murid-muridnya.
Sebagai seorang murid hendaknya
berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela
lainnya, menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi
keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya
penguasaan ilmu, bersifat rendah hati dan tawadhu’, serta mempelajari ilmu
secara bertahap mengenal nilai dari setiap ilmu yang dipelajarinya.
Daftar
Pustaka
Nata Abuddin, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada .hal 80
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul
Husaini, tt.hal 13
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul
Husaini, tt.hal 14
Ihya Ulumuddin juz 3, hal 12
Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25.
Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25
Dahlan Thamrin,”Al-Ghazali dan Pemikiran
Pendidikannya”. Hal. 27
[1] Nata Abuddin, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam,
( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )hal 80
Monday, June 03, 2013 | Labels: sejarah pendidikan islam | 5 Comments
Subscribe to:
Posts (Atom)
about me
Ley's. Powered by Blogger.