Agama Dan Lingkungan



Menjadikan Agama Sebagai Dasar Pijakan Untuk Usaha-Usaha Perbaikan Lingkungan Hidup

A.    Hubungan Perilaku Manusia Terhadap Lingkungan
Berbicara mengenai hubungan antara perilaku (Behavior) manusia terhadap lingkungannya, Ajzen dan Fishben (1980) dalam teori Reasoned Action mengatakan, bahwa ada dua hal yang menjadi dasar terbentuknya perilaku manusia terhadap lingkungannya, yang pertama adalah subjective norms atau norma-norma subjektif yang didapatkan individu dari nilai-nilai, pemikiran-pemikiran, dan ide-ide, dari lingkungan sekitarnya, seperti keluarga, budaya, adat-istiadat, kebiasan (habit), norma sosial di masyarakat, dan nilai-nilai spritual dari agama yang dianut individu. Subjective norms terbentuk dari keyakinann-keyakinan individu mengenai bagaimana orang lain diluar dirinya akan berfikir mengenai perilaku yang akan dilakukan-nya dalam kaitannya dengan situasi lingkungan yang dihadapi. Tetapi satu hal yang perlu dicatat disini ialah, bahwa norma-norma yang dapat dijadikan landasan dalam berperilaku oleh individu hanyalah norma-norma yang terbentuk dari pemikiran-pemikiran atau nilai-nilai dari luar diri individu yang dianggap penting dan signifikan oleh individu. Nilai-nilai, atau pemikiran-pemikiran yang tidak memiliki signifikasi terhadapa individu, cenderung untuk diabaikan. Hal tersebut dapat terjadi ketika seseorang memandang bahwa suatu nilai atau pemikiran tersebut tidak memiliki pengaruh berarti pada dirinya, atau bisa jadi individu memang tidak memahami nilai-nilai tersebut. Berikutnya, aspek yang kedua, yang menjadi landasan terbentuknya perilaku sesorang terhadap lingkungannya adalah attitude toward environment atau sikap individu terhadap lingkungannya, yang dibangun dari pengalaman-pengalaman langsung dalam menghadapi lingkungan yang terakumulasi selama perjalanan hidup individu berinteraksi dengan lingkungannya. Selanjutnya dari kedua variabel ini akan berkembang menjadi sikap diri, Lalu dari kesemua nya akan tertuju pada suatu maksud atau intention. Maksud (Intention) adalah suatu bentuk kemungkinan, yang ditaksir oleh individu, yang pada gilirannya timbulah perilaku. Berikut adalah contoh aplikasi dari teori Reason-Actioned:


Attitude :“menurut saya membuang sampah sembarangan bisa membuat lingkungan menjadi tidak nyaman, tidak sehat, dan kotor”
Subjective Norms :“saya tahu bahwa Rasulullah mengatakan bahwa kebersihan sebagian dari iman, dan membuang sampah sembarang adalah bagian dari perbuatan yang tidak menjaga kebersihan, begitu juga dengan keluarga saya, pasti senang jika saya disiplin tidak membuang sampah sembarangan”
Intention :“saya tidak akan membuang sampah sembarangan lagi dan akan menjaga kebersihan”

Behavior :“selama saya berkendaraan saya tidak pernah lagi membuang sampah sembarangan ke luar jendela kendaraan.”
            Selain norma-norma subjektif (subjective norms) dan sikap (attitudes) di atas, terdapat beberapa hal lain-nya yang dapat mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungan alamnya, seperti hal lain yang disebut sebagai motif (motive) atau latar belakang dari kecenderungan atau keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu, diantaranya seperti motif ekonomi, dan politik. Beberapa contoh kasus menunjukan bahwa motif ekonomi dapat menyebabkan tingginya resiko terjadinya kerusakan lingkungan alam. Seperti, terjadinya aksi pembakaran hutan besar-besaran di Indonesia di pertengahan tahun 1997 yang mengakibatkan terjadinya polusi asap yang akibatnya tidak saja dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara tetangga, yaitu malaysia. Kegiatan pembakaran hutan ini dilatar belakangi oleh perilaku untuk mencari keuntungan ekonomis para sebahagian besar petani yang ingin memperluas lahan perkebunan kelapa sawit, guna meningkatkan produksi kelapa sawit-nya, yang memang menjadi hasil perkebunan utama yang memiliki nilai eksport yang tinggi. Sementara itu faktor politik, lebih menitik beratkan kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung tidak menunjukan keperdulian terhadap pelestarian lingkungan atau tidak berjalannya kebijakan sesuai sebagaimana mestinya, yang diakibatkan adanya penyimpangan dalam alur pelaksanaanya, seperti adanya tumpang tindih kebijakan sehingga menyebabkan satu kebijakan tidak mendukung kebijakan lainnya, serta perencanaan tata kota yang tidak sesuai, hingga penegakan hukum yang lemah. Hal ini seperti apa yang terjadi di beberapa kota di negara di dunia, dimana beberapa dari kebijakan pemerintahan setempat mengenai program preservasi lingkungan yang terpaksa mengalami hambatan dikarenkana adanya permasalahan korupsi didalam proses penyelenggaraannya, yang nantinya akan dapat mengakibatkan kegagalan dalam pembangunan dan pelaksanaan regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan.
Maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai (Values) termasuk di dalamnya nilai-nilai spritual yang bersumber dari agama merupakan suatu hal yang secara signifikan berperan dalam menentukan tujuan hidup seseorang, atau menjadi suatu standar dari sikap dan perilaku yang akan muncul nantinya (Olson & Zanna; Schultz & Zelezny, dalam Bell dkk,2001).Hal ini merupakan penegasan bahwa, Nilai-nilai yang bermuara pada ajaran agama, yang diturunkan oleh Tuhan ke muka bumi melalui Al-Qur’an dengan perantara Malaikat dan Rasul-Nya, merupakan pedoman kepada jalan yang lurus yang telah ditunjukan Tuhan dalam firman-Nya:

... Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah)... (QS: 2:185)
Sekaligus sebagai pelajaran yang sangat berharga bagi manusia untuk dapat berperilaku dengan baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karena nya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu, dan menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman. (QS: 7:2)
Selanjutnya, Allah SWT mengingatkan pada manusia bahwa apa-apa yang di jagat raya ini, termasuk lingkungan alam di sekitar manusia, seperti gunung-gunung, hutan, dan binatang merupakan tanda-tanda kebesaran penciptaan dari sang maha Pencipta bagi mereka yang mau mengambil pelajaran dari nya. Dari sini, tampaknya sangatlah tepat apa yang disimpulkan Mehdi Golshani (2004), yang mengungkapkan bahwa sejatinya Allah SWT, adalah guru sejati dari semua ilmu (sains).

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS 96:1-5)

Dan Allah menurunkan dari langit air hujan dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran) (QS 16:65)
Secara jelas, dikatakan di atas bahwa nilai-nilai, termasuk yang terkandung di dalam agama (sebagai salah satu unsur pembentuk norma subjektif individu terhadap lingkungan) yang merupakan akumulasi nilai-nilai luhur Ilahiah yang diajarkan oleh Allah SWT melalui perantara Kitab-Nya, para utusan-utusan-Nya dan hasil ciptaan-Nya itu sendiri yaitu alam, berperan besar dalam membentuk perilaku manusia terhadap lingkungannya, lalu permasalahnya sekarang ialah bagimana agama menjelaskan perilaku-perilaku tidak bertanggung jawab manusia yang mengakibatkan rusaknya lingkungan yang dilakukan sebagian penganutnya. Sementara itu di lain pihak terlihat kita mempunyai komunitas agama yang selama ini memang terlihat taat terhadap ajaran agama, setidaknya ini tergambar dari ramainya majelis-majelis keagamaan, dzikir bersama, istighasah, dan ritual keagamaan lainya yang menunjukan bagaimana sikap ketaatan dalam menjalankan ritual keagamaan, terlepas apakah mereka tidak perduli dengan krisis lingkungan yang dahsyat seperti sekarang ini? Padahal agama pada umumnya dan Islam pada khususnya mengajarkan kepada para penganutnya bagaimana harus bersikap terhadap segala hal di sekeliling mereka, termasuk lingkungan, seperti, antara lain; berlaku adil, berterima-kasih, tidak berlebih-lebihan, menjaga kebersihan dan bertanggung jawab.

“...dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (QS 2:60)

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia (Allah) memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS 16:90)

Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”, dan: “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya...(QS 7:29)

Hai anak Adam, pakailah pakainnmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS 7:31)
Kemuliaan dan keperdulian ajaran islam terhadap hak-hak binatang (bagian dari lingkungan) juga tergambar dari hadist Rasulullah SAW:

Sesungguhknya Allah mencatat kebaikan atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik. Dan jika kaliah menyembelih, sembelilah dengan cara yang baik,Tajamkanlah pisaunya, Cepatlah sembilhannya (HR Muslim)
Pertanyaan di atas, selanjutnya, menggiring kita kepada pertanyaan-pertanyaan berikutnya, yaitu apakah sikap diri yang dimiliki seseorang dapat secara pasti menentukan perilaku yang akan ditampilkan? Apakah dengan adanya perubahan sikap seseorang yang cenderung perduli terhadap lingkungan dapat dipastikan akan mucul perilaku yang juga perduli terhadap lingkungan? Ternyata jawabannya ialah bahwa tidak selamannya seseorang yang memiliki sikap yang perduli terhadap lingkungannya dapat disimpulkan bahwa ia akan menampilkan perilaku yang sama dengan sikapnnya. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan kenapa terkadang sikap tidak dapat secara pasti menentukan perilaku yang muncul, diantaranya ialah, (1) ada pertentangan antara sikap umum (yang biasanya berkembang di masyarakat) seperti sikap “saya suka kebersihan” tidak dapat mempastikan perilaku yang muncul seperti “dimanapun dan kapanpun saya selalu membuang sampah pada tempatnya” , (2) terbatasnya akses masyarakat dalam, karena beberapa sikap perlu dikuatkan dengan rambu-rambu serta fasilitas yang mendukung agar kemudian dapat terwujud dalam perilaku. Terbatasnya akses diantaranya seperti kurangnya fasilitas umum dan rambu-rambu peringatan, seperti tempat sampah, tanda-tanda fisik (Prompt) yang berupa rambu seperti “jagalah kebersihan, & buanglah sampah pada tempatnya” yang dapat mendukung sikap “suka kebersihan” . (3) Perbedaan latar belakang, hal ini merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh (Robertson,1982;Wulff,1997) bahwa pelaksanaan ajaran agama, sangat dipengaruhi oleh budaya dan konteks lokal di tempat seseorang tinggal. kesamaan kitab suci, dan ajaran nabi dapat diintepretasikan dan dilaksanakan berbeda dikarenakan adanya perbedaan budaya, konteks dan waktu. Adanya perbedaan dalam persepsi ini dapat mengakibatkan perbadaan dalam pemahaman dan pelaksaan ajaran-ajaran agama, dan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. (4) dan yang terakhir ialah kurangnya komitmen, baik itu dari diri individu, maupun masyarakat. Padahal komitmen sangat penting dibutuhkan guna membangun sikap yang sejalan dengan perilaku, terutama untuk menjaga kestabilan perilaku secara jangka panjang.
Terdapat beberapa pendekatan yang bisa dilakukan guna membentuk sikap dan perilaku yang selaras, diantaranya yaitu dengan pendekatan-pendekatan psikologis kepada individu ataupun masyarakat atau yang dinamakan intervensi. Intervensi yang dilakukan dapat dikategorikan ke dalam dua macam strategi yaitu, yang pertama adalah antecedent strategies, yang menekankan pada proses intervensi psikologis sebelum perilaku muncul, yaitu dengan penekanan terhadap usaha-usaha perubahan sikap individu terhadap lingkungannya, atau dengan mengarahkan sikap yang sudah sesuai untuk kemudian dapat berjalan selaras dengan perilaku yang muncul. Strategi ini banyak digunakan pada teruatam di bidang pendidikan, yaitu seperti pemberian pendidikan mengenai lingkungan, betapa beratinya menjaga lingkungan dari kerusakan, dan sebagainya. Secara sederhana, strategi ini memiliki tujuan “membuat orang perduli” atau “make people care”. Bentuk intervensi yang kedua adalah Consequent strategies, yaitu yang menekankan pada intervensi setelah perilaku muncul. Strategi ini termasuk di dalamnya adalah proses pemberian ganjaran dan hukuman (reward and punishment) dan umpan balik (feedback) kepada individu sebagai konsekuensi dari perilakunnya. Pada strategi reward and punishment , seseorang dapat dikenakan ganjaran atau upah-bisa sesuatu yang berharga (uang misalnya)- bila ia menampilkan perilaku-perilaku yang perduli terhadap lingkungan (seperti yang diterapkan di beberapa negara maju), seperti usaha-usaha untuk memacu masyarakat nya membuang sampah sesuai dengan tempatnya. Contohnya seperti apa yang dilakukan dengan Beberapa kebijakasanaan pemerintah di beberapa negara-negara Eropa yang menyelenggarakan program litter lottery, dimana setiap warga, ataupun siapa saja yang membuang sampah pada tempatnya memiliki kesempatan untuk mendapatkan hadiah berupa uang tunai, strategi ini diharapkan dapat menumbuhkan perilaku disiplin masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya. Akan tetapi strategi ini menurut hemat penulis tidak sepenuhnya dapat berjalan dengan efektif, dikarenakan, perilaku membuang sampah tersebut cenderung secara dominan lebih dilatar belakangi oleh motif-motif ekonomi, yaitu untuk mendapatkan keuntungan secara finanasial. Ketika reward (undian berupa hadiah uang tunai) yang diberikan tidak lagi ada, maka sangat besar kemungkinan perilaku membuang sampah sesuai dengan tempatnya tadi dapat berkurang bahkan menghilang.
Usaha-usaha memelihara lingkungan atau Environmental Preservation sediri harus dilandasai oleh sikap yang muncul dari diri sendiri, berupa kesadaran bahwa perbuatan perduli dan memelihara lingkungan memang sudah seharusnya dilakukan dan menjadi kewajiban bagi setiap orang, baik demi kebaikan individu bersangkutan, masyarakat, dan juga seluruh aspek lingkungan lainnya di muka bumi ini. Secara lebih mendalam bila dikaitkan dengan nilai-nilai di dalam Agama, usaha-usaha terhadap pemeliharaan lingkungan, seperti tidak berlebih-lebihan, bertindak adil, serta bertanggung jawab merupakan suatu bentuk aplikasi dari rasa syukur manusia kepada Allah, yang telah memberikan berbagai nikmat dan kurnia yang tak terhingga banyaknya kepada manusia.

Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu, dan supaya kamu mencari sebahagian dri karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.(QS 28:73)
Maka perilaku tidak perduli dan mengerusak lingkungan bisa digolongkan kedalam sikap dan perilaku yang mengingkari nikmat tersebut datang dari Allah, sehingga manusia cenderung berbuat zhalim baik kepada dirinya sendiri, maupun lingkungan.

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluan) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya, dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya, sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari nikmat Allah. (QS 14:34)

 
B.     Menjadikan Agama Sebagai Landasan bersikap dan berperilaku
Agama atau yang biasa diterjemahkan sebagai Din dalam definisi yang dijelaskan oleh Mahmud Syaltut adalah ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan Tuhan kepada para Utusan-Nya, untuk dijadikan pedoman hidup bagi manusia. Sementara menurut mantan guru besar Al-Azhar, Cairo, Mesir, Syaikh Muhammad Abdullah Badran, menjelaskan arti agama dengan berpedoman kepada Al-Qur’an yang mendeskripsikan adanya hubungan antara dua pihak di mana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada yang kedua. Pendapat ini diperjelas dengan definisi yang diberikan Prof. Dr. Quraish Shibab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, bahwa agama adalah ”hubungan antara mahluk dan Khaliq-nya” dimana hubungan ini terwujud dalam sikap batin serta tampak dalam perilaku berupa ibadah ritual yang dilakukan serta tercermin didalam sikap dan perilaku kesehariannya. Sementara kesadaran manusia akan perlunya Tuhan dalam menjalani kehidupan atau yang dapat dikatakan dorongan manusia untuk beragama, berdasarkan sudut pandang psikologi, sesuatu yang disebut dengan Fitrah beragama yang ada pada diri setiap manusia.
Lebih lanjut, manusia diturunkan oleh Tuhan kemuka bumi ini dengan mengemban amanah sebagai wakil Tuhan di muka bumi atau Khalifah.

Ingatlah ketika Tuhan-Mu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...” ( QS 2:28)
Sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia memiliki beberapa kelebihan-kelebihan yang dianugerahkan Allah sebagai bekal untuk menjalani tugas sebagai Khalifah di bumi Kelebihan-kelebihan tersebut menurut Prof.Dr. Quraish Shihab, antara lain berupa kemampuan mengetahui benda-benda yang ada di bumi, dan ditundukannya bumi dan segala isinya oleh Allah SWT

Dan Dia menundukan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semuannya, (sebagai Rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS 45:13)
Tetapi perlu ditekankan, bahwa pernyataan penaklukan alam oleh Allah SWT bagi manusia disini bukan berarti manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan lingkungan alam sekitarnya, serta dapat dijadikan dalil untuk mengeksplotasi alam dengan semaunnya. Melainkan kedudukan manusia dengan lingkungan alam tersebut dari segi penghambaan adalah setingkat (Shihab 1995), yang harus senantiasa diiringi oleh sikap dan perilaku bertanggung jawab dan keyakinan bahwa lingkungan juga memiliki hak-haknya. Seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

...Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu...(Al An’Am:38)
Dari ayat tersebut jelas bahwa alam ini, seperti tumbuhan, hewan serta bumi beserta isinya merupakan umat Tuhan juga yang harus senantiasa diperlakukan adil. Selain itu Islam juga mengemukakan bahwa manusia juga bagian dari lingkungan, karena merupakan bagian dari lingkungan, maka sudah semestinya jugalah manusia turut menjaga dan perduli terhadap lingkungan, maka perilaku tidak bertanggung jawab manusia kepada lingkungan alam dapat dikategorikan sebagai perbuatan menganiyaya diri sendiri, seperti yang diungkapkan dalam firman Tuhan:

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu (QS 42:30)
Dari berbagai pernyataan diatas maka dapat didapatkan suatu petunjuk mengenai bagaimana seharusnya manusia bersikap dan berperilaku terhadap lingkungan, tetapi di satu sisi tidak mudah untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada individu sebagai acuan dalam pengembangan sikap diri, terlebih-lebih lagi diwujudkan dalam perilaku keseharian kita. Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam upaya-upaya proses pemeliharaan lingkungan yang telah diungkapkan sebelumnya, seperti tidak selaranya antara sikap dan perilaku dan tidak berjalan dengan efektifnya nilai-nilai spritual agama dalam membimbing umatnya dalam bersikap dan berperilaku sesuai yang diharapkan dalam ajaran agama, tampaknya bermuara kepada dua hal, yang pertama (1) yaitu tidak ada atau kurangnnya komitmen dari individu untuk dapat menyelaraskan antara sikap dan perilakunya, terutama berkaitan dengan komitmen pelaksanaan ajaran-ajaran agama di dalam usaha-usaha terhadap pemeliharaan lingkungan. Sehingga terkadang meningkatnya kegiatan ketaatan terhadap pelaksanaan ritual keagamaan tidak dibarengi dengan sikap dan perilaku perduli terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam beberapa studi ilmiah menganai usaha-usaha konservasi lingkungan (Bell,dkk 2001), ternyata ditemukan bahwa kuatnya komitmen yang dimiliki akan sangat penting dalam membantu membangun suatu program konservasi lingkungan yang berkelanjutan. Pada akhirnya adanya komitmen dari tiap diri individu akan dapat memberikan perbedaan dalam sikap dan perilaku yang “pro” lingkungan Yang kedua (2) adalah cenderung kering dan gersangnnya aspek-aspek spritual di dalam hukum positif yang ada, Hukum positif berupa undang-undang yang ada saat ini, cenderung tidak berorientasi pada hati dan keimanan, melainkan hanya pada tataran kepatuhan terhadap otoritas, kewenangan oleh pemerintah, dan pemberian sanksi hukuman, yang mengatur mengenai hubungan antara perilaku manusia terhadap lingkungan. Hukum yang ada tampaknya lebih bersifat mengurusi pesoalan-persoalan lahiriah, dan dijalankan dengan berlandaskan pemenuhan kebutuhan sementara sumber daya alam bagi manusia. Spritualisasi dalam kehidupan berarti memasukan nilai-nilai Agama ke dalam landasan bersikap dan berperilaku. Yang berporos kepada kekuatan iman, keteldanan, tanggung jawab, dan budi pekerti (Qardhawi 2003) Penerapan undang-undang yang dilandasi oleh semangat nilai-nilai keagamaan dipandang dapat lebih efektif dalam mengatur seseorang, baik ia sebagai individu, atau sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini dapat dicontohkan seperti: ketika pelaksanaan kebijaksanaan untuk menghemat sumber daya alam, maka nilai-nilai agama akan menjadi landasan sekaligus meng-amanahkan nilai-nilai bahwa sumber daya alam yang disediakan oleh Allah di muka bumi walaupun diperuntukan bagi kesejarhteraan manusia, tetapi seiiring dengan itu manusia diwajibkan juga untuk memeliharanya, menggunakan secara bijaksana, adil, dan tidak berlebih-lebihan. Seperti apa yang dikatakan oleh Dr.Yusuf Qardawi, bahwa nilai-nilai spritualisme ini akan dapat ditemukan apabila kita senantiasa selalu mengacu kepada ajaran-ajaran agama dalam bersikap dan berperilaku, dan para pencarinya (spritualisme) akan dapat menemukan pembenaran nurani dan intuisi di dalam Al-Qur’an dam hadist (sumber utama nilai-nilai Islam). Kurangnya pemahaman atau hilangnya aspek spritual, akan dapat memicu kesulitan dalam memahami fungsi-fungsi agama seperti keimanan, ibadah, dan tujuan dari kehidupan.
Spritualisme seringkali mengacu kepada tiga aspek yang ada pada diri manusia, yaitu ruh, nafs (jiwa), dan aqal. Aspek-aspek tersebut memliki arti secara fisik dan psikologis atau batin, dan memiliki pengaruh signifikan dalam struktur diri manusia, seperti apa yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali, yang mengambil perumpamaan kuda dan penunggannya. Kuda diibaratkan tubuh material manusia, dan penungganya sebagai jiwa. Seringkali antara penunggang dan kuda memiliki perbedaan tujuan dan maksud, padahal sebagai seorang penunggang, harus dapat mengendalikan tunggangan-nya, yaitu kuda,yang diibaratkan tubuh kita, untuk dikendalikan agar senantiasa berlaku sesuai dengan penungangnya, yaitu jiwa, bila berhasil maka itu merupakan suatu pencapaian paripurna seseorang untuk bisa mengendalikan dirinya dari jeratan hawa nafsu yang merusak.
Pada akhirnya, Interaksi antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya dituntut untuk dapat berjalan secara hamonis, karena adanya amanah yang berupa tugas-tugas yang diberikan Allah kepada manusia sebagai wakilnya di muka bumi ialah tidak saja selalu berorientasi kepada kepentingan manusia sendiri. Tetapi manusia harus mau dan bisa untuk bersikap dan berperilaku untuk menciptakan kemashalatan bagi semua, hal ini sesuai dengan maksud Allah bahwa lingkungan diciptakan dengan memiliki tujuan, yaitu untuk beribadah, serta tunduk dan sujud kepada Allah SWT.

Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antaranya keduannya kecuali dengan (tujuan) yang hak dan dalam waktu yang telah ditentukan (QS 46:3)


C.    Kesimpulan dan Saran
Salah satu landasan dasar etika dalam keimanan islam bagi manusia sebagai Khaifah Allah di muka bumi ini adalah memelihara dan meningkatkan usaha-usaha pemeliharaan lingkungan. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dimana Tuhan menyediakan apa yang ada di bumi bagi kesejahteraan manusia, seperti ketersediaan air, burung-burung, hewan ternak, hutan dan gunung, serta ciptaan lainnya. Tugas manusia disini adalah beribadah kepada Tuhan, yang salah satunya ialah mensyukuri pemberian Tuhan antara lain berupa lingkungan alam. Dari sini juga dapat disimpulkan pentingnya melaksanakan ajaran agama dengan baik dan penuh komitmen dalam usaha-usaha melestarikan lingkungan.
Sikap tidak selalu dapat berkembang selaras dengan perilaku, maka dari itu diperlukan komitmen dalam meneguhkan perilaku-perilaku dalam kaitannya sebagai usaha dalam melestarikan dan menjaga lingkungan. Komitmen dapat mulai ditanamkan di dalam keluarga semenjak dini, yaitu bisa dengan upaya penanaman nilai-nilai spritual keagamaan yang melandasi tentang apa yang seharusnya dilakukan dan mana yang tidak seharusnya dilakukan anak. Selanjutnya, internalisasi nilai-nilai spritualisme dan komitmen juga harus diiringi dengan keteladanan. Karena tanpa keteladanan, proses tersebut hanya akan berjalan satu arah dan tidak efektif.
Usaha-usaha pelestarian lingkungan ini juga sekaligus dapat sebagai pembuka gerbang untuk saling bahu-membahu bekerja sama dengan umat beragama lainnya dalam bidang muammalah, yaitu usaha dalam memelihara dan melestarikan lingkungan dengan berlandaskan nilai-nilai spritualisme agama masing-masing dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungan. Penegakan hukum yang dilandasi oleh nilai-nilai spritual keagamaan juga sudah saatnya ditegakan, guna lebih mengoptimalkan usaha-usaha di atas.Pembentukan karakter manusia beragama yang taat sudah saatnya tidak hanya saja difokuskan kepada penekanan pada aspek ritual yang tampak saja, tetapi perlu ditindak lajuti dengan pemahaman terhadap nilai-nilai spritual agama, seperti, dalam firman Allah.
Pada akhirnya, penulis menyadari betul bahwa, diperlukan waktu dan usaha yang keras dari semua pihak untuk dapat mewujudkan sikap dan perilaku beragam yang selaras, dalam rangka menunjang usaha-usaha menyelamatkan, memelihara dan melestarikan lingkungan. Tetapi, dengan Pertolongan dari Allah, dan usaha yang nyata serta ikhlas, hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan nya akan dapat terwujud.

0 comments:

Post a Comment

Ley's. Powered by Blogger.