LATAR BELAKANG TIMBULNYA STUDI TENTANG AKHLAK TASAWUF
1.
Latar Belakang Timbulnya Studi Tentang Akhlak
Tasawuf
a.
Latar Belakang Studi Akhlak
Ketika
Nabi Muhammad diutus (dibangkitkan menjadi rasul), keadaan moralitas suku-suku
di Arabia menurut para ahli sejarah Islam bisa disebut sebagai zaman jahiliyah.
Dalam zaman itu dapat dicatatkan hal-hal sebagai berikut:
1)
Jual beli hamba sahaya. Hamba sahaya ini biasanya
berasal dari tawanan perang antar suku. Suku yang kalah dalam perang langsung
dijadikan budak (hamba Sahaya) bagi suku yang menang. Sebagaimana diketahui,
dalam masyarakat dikenal istilah ayyam al-‘arab yang artinya hari-hari
orang Arab yang diselimuti dengan suasana siap perang. Bagi suku-suku yang
memiliki oase atau sumber-sumber air untuk keperluan ternak, maka mereka
harus senantiasa siap untuk berperang untuk mempertahankan hak milik mereka
dari incaran musuh yang terus menerus mengintai. Untuk itu, sudah menjadi
tradisi bahwa bagi kaum pria sejak kecil dilatih untuk memanah, berenang dan
segala jenis alat perang lain. Mereka sangat bangga jika dalam suku mereka
lahir anak laki-laki, lalu biasanya melakukan pesta di kalangan mereka.
Jelasnya, pada waktu itu terjadi adagium: siapa kuat dialah yang menang dan
memiliki. Karena itu, bagi suku yang kuat maka merekalah biasanya yang memiliki
banyak budak (hamba sahaya). Lalu terjadilah transaksi jual beli budak itu.
2)
Mengubur bayi perempuan. Kaum perempuan waktu itu
dianggap sebagai sarana reproduksi anak atau pemuas keinginan biologis kaum
pria. Pria yang memiliki banyak isteri adalah kebanggaan. Karena dalam
peperangan yang biasanya keras dan brutal itu perlu kecepatan dan kelincahan
gerak, maka kaum perempuan dianggap menyulitkan. Karena itu jumlahnya dibatasi.
Untuk itu, jika jumlah perempuannya sudah dianggap cukup maka bayi perempuan
dikubur hidup-hidup.
3)
Mengurangi timbangan dan ukuran. Mata pencaharian
terpokok waktu itu adalah berdagang. Agar cepat dapat untung perdagangannya,
maka mereka cenderung licik dalam menimbang dan mengukur barang dagangannya.
4)
Menyembah berhala. Untuk meraih keuntungan yang
berlebih, mereka juga merasa perlu meminta roh-roh nenek moyang dengan cara
menyembah patung-patung (berhala) dari batu yang dibuat sendiri.
5)
Melakukan nujum nasib dan minum minuman keras,
Mereka suka sekali dalam hal ramal-meramal nasib, termasuk suka pesta
lewat
minum-minuman keras.
6)
Melakukan tindakan riba. Yaitu melakukan utang
piutang dengan cara bunga-berbunga. Akibatnya sangat mencekik leher
para
peminjam utang. Dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat
negatif.
Dalam
kondisi seperti itulah Rasulullah SAW lahir dan hidup. Rasulullah SAW sangat
prihatin melihat kenyataan kehidupan sosial seperti itu. Oleh karena itu sangat
logis jika Rasulullah SAW memproklamasikan bahwa kerisalahannya (kebangkitannya
menjadi seorang rasul) adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan akhlak
masyarakat pada waktu itu. Jadi, kesadaran tentang akhlak sudah ada sejak
Rasulullah Saw masih hidup. Keteladanan Nabi Muhammad SAW juga dalam kerangka
pembangunan akhlak.
Dalam
perjalanan sejarah berikutnya, para ulama mulai mencoba mensistematisasikan
praktek akhlak al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah Saw ini. Tokoh yang mencoba
mensistematisasikan akhlak ini antara lain adalah Ibnu Miskawih (932-1030 M)
yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq.
Setelah itu disusul oleh Abu Ahmad al-Ghazali (1056-1111 M) dan lain
sebagainya. Sejak itu perhatian terhadap masalah akhlak terus berkembang,
apalagi setelah dunia Islam mulai berkenalan dengan filsafat Barat tentang
etika.
b.
Latar Belakang Studi Tasawuf
Seperti
diketahui pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, tidak dikenal sebutan
tasawuf. Yang ada justru dari Rasulullah Saw ketika beliau mengintrospeksi
istilah “ihsan”, yang digandengkan dengan istilah “iman” dan “Islam”. Setelah Rasulullah
wafat masuklah ke zaman Khulafa’al-Rasyidin yang dalam sejarah Islam
dicatatkan 4 (empat) orang sahabat dekat Rasulullah yang meneruskan
pemerintahan (khalifah) Islam yang berpusat di Madinah. Sahabat Nabi tersebut
adalah, Abubakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan All bin Abi Thalib.
Setelah pemerintahan Ali bin Abi Thalib berakhir, bergeserlah sistem
pemerintahan Islam itu mirip dengan kekaisaran Romawi atau Persia. Seiring
dengan mulai terjadinya pergeseran itu, nampaknya masalah kemewahan hidup yang
terpusat di pusat-pusat pemerintahan membuat gerah bagi sebagian umat Islam
waktu itu. Kelompok ini beranggapan bahwa cara dan gaya hidup para penguasa dan
para lingkaran elit waktu itu telah keluar dari contoh hidup dari Rasulullah
SAW. Kelompok inilah yang kemudian menyisihkan diri untuk mencermati ulang dan
mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Sikap menentang arus ini dimulai dari kota
Basrah dengan tokohnya antara lain Hasan al-Basri dan kota Kufah yang relative
disebut lebih pedalaman (dengan tokohnya Abu Hasyim al-Kufi).
Mula-mula
para penentang gaya hidup mewah tersebut melakukan amaliah nyata dalam
kehidupan sehari-hari sejauh kepahaman mereka tentang bagaimana cara hidup
Rasulullah Saw. Lama-kelamaan apa yang mereka lakukan itu dikemas dengan
istilah-istilah teknis, misalnya istilah maqam, hal, suluk
dan sebagainya. Dari sinilah mulai disiplin ilmu tasawuf.
Dalam
perjalanan selanjutnya, kehidupan sufistik itu kemudian melebar menjadi lembaga
tarekat setelah al-Ghazali mempopulerkan tentang tasawuf ini melalui
kewibawaan kitab-kitabnya. Lalu timbulah peristilahan yang lebih kompleks lagi,
seperti zawiyah,
mursyid, muraqabah, tawajjuh, wall dan sebagainya.
Kehidupan
tasawuf dan berbagai perkembangannya itu arahnya adalah untuk menambah ketajaman umat Islam
terhadap akhlak. Sehingga studi akhlak dan tasawuf di kalangan Sunni lebih
dikenal disiplin Ilmu Akhlak Tasawuf.
2.
Fungsi Akhlak Tasawuf
a.
Fungsi Umum
Secara
umum fungsi akhlak tasawuf ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu, pertama
menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih
tersisa sampai sekarang dan kedua, memotret realitas fungsi akhlak tasawuf yang
ditangkap oleh manusia modern dewasa ini. Satu persatu akan digambarkan sebagai
berikut:
Untuk
aspek pertama, yaitu menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir
dan paradigmanya masih tersisa sampai sekarang. Maka akhlak tasawuf akan dapat
berfungsi sebagai:
1)
Mengembalikan akhlak Rasulullah Saw menjadi acuan
kehidupan sehari-hari umat Islam. Di sini, format akhlak Rasulullah Saw harus
menjadi koridor umat Islam terutama dalam mengarungi lautan kenikmatan dan
kemewahan kehidupan duniawi, agar tidak kebablasan. Ini bukan harus kembali ke
dalam padang pasir seperti zaman Rasulullah Saw, melainkan agar umat Islam tidak
jatuh ke dalam Lumpur Kenikmatan dan kemewahan duniawi dan meninggalkan sifat
religiusitas dan kesederhanaan mereka. Fungsi pertama ini mencuat karena setiap
kali para elite pemerintahan dan perekonomian itu diingatkan lewat himbauan
keakhlakan Rasulullah Saw kebanyakan didengar sambil lalu. Akibatnya dari
pihak pengritiknya menjadi mengeras, tidak cair. Para petinggi pemerintahan dan
perekonomian ini lebih komitrnen terhadap “kekuasaan” daripada dakwah islamiyah
(dalam arti teknis).
2)
Menyeimbangkan kehidupan duniawi yang serba
hingar bingar dengan kehidupan spiritual yang serba teduh dan hening. Atau
dengan kata lain, memasukan nilai spiritualitas terhadap setiap sektor
kehidupan. Dengan adanya fungsi ini, sebagai misal, mulai popular sebutan “fiqh
sufistik”. Ini terjadi pada masa Al-Ghazali yang mengintroduksi nuansa sufistik
ke dalam fiqh agar pelaksanaan fiqh tidak sekedar formalisme (yang kehilangan
ruh). Spiritualitas, dalam fungsi ini, diharapkan memberi warna untuk
meningkatkan kadar religiusitasnya. Dunia pemerintahanpun juga mulai
diintervensi oleh al-Ghazali dengan akhlak tasawuf ini dengan cara melayangkan
surat-surat kepada para elitik di pemerintahan. Pada wilayah grass-root
(akar rumput) menyeruak kehidupan tarekat (dengan segala plus minusnya) agar
kehidupan berdasar akhlak tasawuf bisa menjadi imbangan bagi kehidupan para
elitik pemerintahan dan perekonomian. Di sini sudah terjadi pengkutuban antara
“elitik pemerintahan” dengan “populis kerakyatan” yang aberbasis pada akhlak
tasawuf. Untuk aspek pertama ini terdapat dampak yang kurang menguntungkan
pula, yaitu ketika lembaga tarekat masuk ke wilayah grass-root (akar
rumput) secara luas di tengah-tengah masyarakat. Dampak ini ialah timbulnya
proses-proses elitisasi dalam lembaga tarekat. Di dalamnya mulai menancap kuat
atratifikasi social antara lapisan yang disebut “mursyid” dengan lapisan yang
disebut “murid”. Hubungan dari kedua lapisan ini sangat vertikal
(paternalistik, kebapakan). Dengan demikian ada dua lapisan social yang nampak, yaitu “pemerintah-rakyat”
dan “mursyid-murid”. Kalangan awam terjepit oleh pengaruh wibawa dua lapisan di
atasnya, yaitu pemerintah (dalam konteks pemerintahan), dengan mursyid (dalam
konteks sosial keagamaannya). Kondisi ini sebenarnya tidak boleh terjadi, terutama
untuk lembaga tarekat. Namun kenyataannya masih berlangsung sampai detik
sekarang ini. Adagium seperti “kewalian”, “keberkahan”, “kualat”, “karamah”, “weruh
sadurunge winarah” dan sebagainya masih terdengar nyaring sampai detik
sekarang ini. Jika hal ini terus menerus masih terjadi, maka akan menjadi batu
hambatan terkonstruksinya akhlak tasawuf yang lebih elegan (anggun) dalam
menghadapi perbaikan social di zaman global seperti sekarang ini.
Untuk aspek
kedua, akhlak tasawuf berfungsi sebagai:
3)
Peneduh jiwa karena hilangnya kebermaknaan hidup
dalam zaman kemajuan ilmu dan tekhnologi. Dalam masyarakat yang sudah maju,
nampaknya mulai timbul kemuakan dan kebosanan serta rasa kekosongan makna hidup
yang luar biasa. Piranti dan servis kesejahteraan hidup hampir terpenuhi
semuanya. Pasar, toko, super market (bahkan sekarang mulai ada hyper market),
mall, ruang pameran dan sebagainya telah dipenuhi segala macam kebutuhan dan
piranti hidup. Orang-orang modern dewasa ini seolah-olah telah dimanjakan oleh
keadaan. Mereka menjadi merasa kurang tertantang. Akibatnya kebosanan
menjadi-jadi, alam kondisi jiwa dan psikologis seperti itu nampaknya fungsi
Pertama dari aspek ke dua ini menjadi niscaya. Orang mengatakan
hilangnya kebermaknaan hidup ini pasti mengiringi bagi sebuah proses kemajuan
yang secara terus menerus akan diusahakan dan diraih oleh umat manusia, baik
pada masa kini maupun masa mendatang.
4)
Pengeram psikologis dari kehidupan yang diwarnai
penuh persaingan (kompetisi). Dalam suasana seperti itu bagi kelompok manusia
yang merasa kurang kuat dalam bersaing, sementara tuntutan untuk ingin bersaing
juga tidak surut, maka timbullah stress (tekanan psikologis yang berat). Dalam
kondisi orang seperti ini maka akhlak tasawuf merupakan medium untuk mengendor
ketegangan psikisnya. Disinilah fungsi kedua akhlak tasawuf untuk aspek kedua
ini menjadi niscaya.
5)
Penguat kesadaran kebersamaan hidup. Pada zaman
yang maju dalam hal ekonomi, ilmu, teknologi rasa keakuan (egoisme) cenderung
menguat tajam. Bisa dikatakan citra individualisme menguasai di seluruh sector
kehidupan. Karena egoisme meninggi, maka rasa keterancaman menjadi menguat.
Orang lain yang sebenarnya menjadi kawan justru dianggap sebagai lawan atau
musuh yang dianggap terus mengintai yang akan menyerangnya. Dalam kondisi
seperti itu ketegangan psikologis (psychologicaltension) menjadi
meninggi, maka timbullah kecemasan (anxety), bahkan ketakutan (phobia).
Karena itu orang menjadi haus terhadap pemecahan apa yang harus dilakukannya.
Akhlak tasawuf mengajarkan perlunya kesadaran kebersamaan dalam kehidupan.
Bahwa di alam dunia yang fana ini tidak ada orang, kelompok, bangsa, bahkan
Negara yang dapat hidup senang sendiri dan dapat hidup sendiri. Yang ada adalah
adanya saling ketergantungan (dependency) satu sama lainnya. Jika
kesadaran kebersamaan hidup ini berhasil dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan, maka
kecemasan dan ketakutan akan menurun tajam. Ketika menghadapi orang lain, maka
tidak dianggap sebagai lawan atau musuh yang akan menyeranginya, melainkan sebagai
calon kawan dan teman untuk berbagi pendapat dan perasaan. Falsafah Barat yang
mengintroduksi pandangan individualisme, hak-hak asasi dan “pasar bebas”, maka
orang ingin menguasai sebanyak banyaknya dan kalau perlu seluruhnya (kemilikan
tunggal). Oleh karena itu akhlak tasawuf cenderung mampu menjadi paying
perlindungan akan mampu berkiprah dalam kondisi seperti ini. Dalam akhlak
tasawuf ditekankan prinsip “keadilan dan kesetaraan”. Dua prinsip ini dalam
dunia modern sekarang ini sering terjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
atau prakteknya.
Ada
sebuah tantangan untuk fungsi aspek ke dua akhlak tasawuf, yaitu adanya opini
baru dengan munculnya apa yang disebut “etika global”. Konsep ini dirilis
pertama kali dirilis oleh Hans Kung guru besar kajian agama di Universitas
Tubingen Jerman. Gagasan ini lalu di deklarasikan dalam forum pertemuan Parlement
of the World’s Religions (Parlemen Agama-agama Dunia). Teks
final deklarasi “etika global” ini ditanda tangani hampir 200 orang delegasi
agama-agama dunia. Dalam menghadapi perkembangan etika global seperti ini, maka
sudah semestinya studi akhlak tasawuf harus bekerja keras agar tidak kalah
lajunya dalam menghadapi perkembangan kemajuan dunia dengan segala perubahan
social yang ada di dalamnya. Adalah tidak dapat diterima kalau dalam
al-Qur’an dinyatakan bahwa Islam (dengan symbol kerasulan Muhammad SAW) adalah rahmatan
lil ‘alamin, lalu daya paying akhlak tasawuf hanya terbatas lingkupnya
untuk umat Islam saja. Parlemen Agama-agama Dunia ketika merumuskan deklarasi
etika global berdasar kerjasama internasional secara organisatoris yang rapih
dan terencana. Bukan suatu kemustahilan jika umat Islam akan merumuskan Akhlak
Tasawuf untuk memenuhi tuntutan rahmatan lil 'alamin. Barangkali
kuncinya terletak pada niat bulat, kemauan bekerja keras dan manajemen kerja
secara organisatoris yang rapih dan terencana dengan baik. Inilah tantangan
masa depan akhlak tasaawuf untuk masyarakat dunia modern seperri sekarang ini
ataupun untuk masa depan.
b.
Fungsi Khusus
Fungsi
akhlak tasawuf secara khusus adalah berkaitan dengan kesehatan mental atau jiwa
manusia. Fungsi tersebut diantaranya adalah :
1)
Membersihkan hati dalam berhubungan dengan Allah
Hubungan
manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah tidak akan mencapai sasarannya jika
tidak dengan kebersihan hati dan selalu ingat dengan Sang Penciptanya.
Misalnya, dalam shalat. Shalat diperintahkan Tuhan, karena efeknya adalah
mencegah manusia dari berbuat tidak baik. Efek ini tidak dapat dicapai oleh
manusia jika shalat itu tidak dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan
kekhusy’an. Sebagaimana sabda Nabi:
Artinya:
Berapa banyak orang yang berdiri shalat, yang bagiannya dari shalatnya hanya
penat dan letih semata (HR. Baihaqy).
Maksud
hadits di atas adalah sesuatu yang menyebabkan shalatnya sia-sia yaitu karena
kekurangan “syarat bathin” dalam shalat. Syarat bathin itu adalah kebersihan
jiwa yang menjadi sumber ikhlas, khusyu’, dan khudhu’. Dan untuk menumbuhkan
yang demikian itu maka diperlukan mempelajari ilmu akhlak tasawuf.
2)
Membersihkan jiwa dari pengaruh materi
Kebutuhan
manusia itu bukan hanya pemenuhan tubuh materi saja, tetapi dia mempunyai
bathin yang disebut jiwa yang memerlukan kebutuhan pula. Tubuh lahir manusia
akan merasa puas bila diberi makanan dengan protein nabati dan hewani, dengan
demikian ia akan sehat. Kebutuhan lahiriyah manusia erat hubungannya dengan
jiwanya. Kebutuhan lahiriyah ini timbul karena adanya dorongan jiwa untuk
mempertahankan dan melindungi tubuh dari berbagai ragam bahaya yang bisa
merusakannya, seperti panas, dingin dan sebagainya yang berasal dari makhluk
hidup lainnya. Untuk melindungi bahaya inilah pada mulanya manusia berpakaian,
memakai senjata dan lain-lain. Tetapi dewasa ini pakaian bukan lagi digunakan
untuk maksud pertama tadi. Kini pakaian dipakai untuk menjaga gengsi. Karena
itu dipilihlah mode-mode yang terbaru dan termodern. Mode-mode ini setiap bulan
selalu berubah. Begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan lain seperti rumah,
tempat tinggal, mobil, kursi dan alat-alat perabot lainnya. Orang pun sibuk mencari
uang untuk memenuhi kebutuhan lahiriyahnya saja. Akhirnya orang lupa diri.
Mereka tidak tahu akan kebutuhan jiwanya lagi, karena memuaskan kebutuhan
lahiriyahnya saja yang dipengaruhi
nafsu. Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan manusia dari godaan materi adalah dengan membersihkan jiwanya.
Jalan untuk itu ialah dengan pelajaran agama, yaitu pada bidang akhlak tasawuf.
3)
Menerangi jiwa dari kegelapan
Jiwa manusia
selalu gelisah, sebagaimana firman Allah. Swt:
Artinya: Kami
jadikan manusia itu bersifat keluh kesah.
Masalah
materi sering menjadi sangat besar pengaruhnya atas jiwa manusia. Benturan di
dalam mencari dan mengejar materi atau mengejar apa saja yang diinginkan
manusia sering menjadi masalah bagi manusia itu sendiri bahkan kemudian timbul
menjadi penyakit. Penyakit-penyakit seperti resah, cemas, patah hati sebagai
akibat dari masalah-masalah di atas (termasuk di dalamnya sifat-sifat buruk
manusia seperti hasad, takabur dan sebagainya) hanya dapat disembuhkan dengan obat
yang datang dari ajaran-ajaran agama, khususnya ajaran yang berobyekan bathin
manusia yaitu akhlak tasawuf.
4)
Memperteguh dan menyuburkan keyakinan beragama
Hati
akan teguh di dalam keyakinannya bila selalu disirami dengan
pelajaran-pelajaran yang bersifat ruhaniyah. Kekuatan umat Islam di masa rasul
bukan karena kekuatan fisik dan senjata, tetapi ialah pada kekuatan mental dan
spiritualnya. Sebaliknya kemunduran umat Islam di masa keemasannya bukan karena
akibat musuh semata, tetapi karena hidup materialis yang tidak lagi
memperhatikan kebutuhan jiwa. Bila ajaran akhlak tasawuf diberikan pada hamba
Allah akan bertambah subur pula keimanannya. Segala amal perbuatan akan
membuahkan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain
5)
Mempertinggi akhlak manusia
Dengan
memiliki hati yang suci dan bersih dan selalu di sirami dengan ajaran-ajaran
Allah dan Rasul-Nya maka akan semakin tinggi akhlak manusia. Ajaran akhlakul
karimah atau munjiyat di bahas secara panjang lebar dalam akhlak
tasawuf. Tujuannya adalah untuk membersihkan manusia dari akhlaqul madzmumah
atau al-Muhlikat. Pembersihan ini dinamai takhalli.
Bila
manusia ini telah kosong dari perangai-perangai tercela, maka memulainya dengan
diisi dengan akhlaqul al-karimah (akhlak yang terpuji) yang disebut takhalli.
Takhalli adalah menghiasi pribadi insan dengan keutamaan-keutamaan
(akhlak yang mulia). Bila seseorang telah dipenuhi perangai-perangai utama,
niscaya terbukalah tirai yang menghalanginya dari kebenaran Illahi. Bila tirai
telah terbuka antara manusia dengan Illahi dapatlah manusia itu mencapai
kelezatan beribadah kepada Tuhannya. Tersingkapnya tirai yang membatasi manusia
dengan Tuhannya dinamakan tajalli.
Aspek moral adalah aspek yang terpenting di dalam
kehidupan manusia. Bila manusia tidak bermoral, maka turunlah martabat dari
kemanusiaannya. Inilah fungsinya mempelajari akhlak tasawuf.
Hal ini supaya manusia tetap menempati martabatnya
sebagai manusia yang ditugaskan Allah Swt menjadi khalifah di muka bumi ini.
Adapun fungsi mempelajari akhlak tasawuf yang
sifatnya lebih tekhnis adalah sebagai berikut:
a)
Untuk meningkatkan kemajuan rohani. Dalam hal ini
untuk menjaga kesetabilan mental spiritual dalam menghadapi segala lika-liku
kehidupan, termasuk di dalamnya godaan dan cobaan hidup. Tidak ada seorangpun
di dunia ini yang mampu menghindarkan diri dari godaan atau cobaan hidup itu.
Untuk menghadapinya perlu kestabilan mental-spiritual yang baik.
b)
Untuk menuntun ke arah kebaikan. Dalam kehidupan
ini hampir tidak terhitung apa yang akan dan sudah dikerjakan. Karena itu
diperlukan rambu-rambu agar tidak terjerumus ke dalam tindakan yang keliru.
Sepanjang hidup manusia tidak pernah terhindar dari jurang kekeliruan,
mengingat sehebat-hebatnya manusia tetap saja, berdasar penjelasan al-Qur’an,
diciptakan dalam keadaan atau kondisi dlaif (lemah).
c)
Untuk menopang kesempurnaan iman. Lisan bisa
mengatakan “aku telah beriman”, tetapi dalam prakteknya iman senantiasa naik
dan turun yang disebabkan faktor eksternal yang dialami manusia dalam
kehidupannya. Agar iman seseorang relative stabil, perlu ditopang oleh
pelaksanaan akhlak yang konsisten.
d)
Untuk mempertajam tanggung jawab eskatologis.
Yang dimaksud istilah “eskatologi” di sini adalah hal-hal yang menyangkut
setelah mati, seperti hari akhirat dengan segala perangkatnya (dosa, pahala,
surga, neraka dan sebagainya). Tanggung jawab eskatologis ini “lebih mengancam”
daripada sekedar ancaman pengucilan masyarakat, ancaman hokum dan sebagainya.
e)
Untuk mempertajam tanggung jawab sesama dalam
kehidupan. Tanggung jawab ini misalnya tanggung jawab terhadap keluarga,
tetangga, rekan kerja, bangsa dan manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan
tanggung jawab itulah terdapat harga pribadi seseorang, yaitu apakah diri
seseorang itu berguna atau tidak.
f)
Untuk menjaga martabat kemanusiaan seseorang.
Bahwa dalam diri setiap orang ada unsur sifat kebinatangan dan kemanusiaan,
sifat kemanusiaan yang menonjol adalah kesadaran untuk menyusun dan mau tunduk
pada peraturan. Dengan peraturan itu lalu lintas pergaulan menjadi lebih lancar
dan tidak gampang menimbulkan salah paham yang ujung-ujungnya berupa
perselisihan bahkan perang. Sedang sifat kebinatangan hanya berlaku hukum rimba
yaitu, siapa kuat dialah yang menang.
Sunday, January 06, 2013
|
Labels:
akhlak tasawuf,
pendidikan
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
about me
Ley's. Powered by Blogger.
Blog Archive
-
▼
2013
(39)
-
▼
January
(31)
- Manusia dan Optimisme
- PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF FILSA...
- Agama Dan Lingkungan
- Teori dan Studi Kepemimpinan
- Kepemimpinan Umar bin Khattab Khalifah Ke-Dua (634...
- Peran, Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah
- HUBUNGAN SYARI’AH & TASAWUF
- HAKEKAT PEMBINAAN AKHLAK TASAWUF
- KOMPONEN AKHLAK TASAWUF
- LATAR BELAKANG TIMBULNYA STUDI TENTANG AKHLAK TAS...
- SUMBER-SUMBER AKHLAK TASAWUF
- PEMBAHASAN TASAWUF
- PEMBAHASAN AKHLAK
- Pentingnya Akhlak
- Akhlak Di Kampus Menurut Agama, Etika, dan Budaya
- PEMBENTUKAN AKHLAK TERPUJI KEPADA ANAK
- Pendidikan Karakter
- Makalah Intelegensi
- PENDIDIKAN MORAL DALAM DUNIA PENDIDIKAN
- HADIS DAN PENGERTIANNYA
- Fungsi dan Jenis Lingkungan Pendidikan
- KURIKULUM SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM MADRASAH IBTID...
- Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang STANDAR PRO...
- Pengelolaan Pendidikan Taman Kanak-kanak
- PANDUAN KELOMPOK MATA PELAJARAN AGAMA DAN AKHLAK M...
- MANUSIA PARIPURNA
- ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME
- Makalah Rasa Agama
- Akhlak
- ADMINISTRASI KURIKULUM
- ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
-
▼
January
(31)
0 comments:
Post a Comment