LATAR BELAKANG TIMBULNYA STUDI TENTANG AKHLAK TASAWUF





1.      Latar Belakang Timbulnya Studi Tentang Akhlak Tasawuf
a.      Latar Belakang Studi Akhlak
Ketika Nabi Muhammad diutus (dibangkitkan menjadi rasul), keadaan moralitas suku-suku di Arabia menurut para ahli sejarah Islam bisa disebut sebagai zaman jahiliyah. Dalam zaman itu dapat dicatatkan hal-hal sebagai berikut:
1)      Jual beli hamba sahaya. Hamba sahaya ini biasanya berasal dari tawanan perang antar suku. Suku yang kalah dalam perang langsung dijadikan budak (hamba Sahaya) bagi suku yang menang. Sebagaimana diketahui, dalam masyarakat dikenal istilah ayyam al-‘arab yang artinya hari-hari orang Arab yang diselimuti dengan suasana siap perang. Bagi suku-suku yang memiliki oase atau sumber-sumber air untuk keperluan ternak, maka mereka harus senantiasa siap untuk berperang untuk mempertahankan hak milik mereka dari incaran musuh yang terus menerus mengintai. Untuk itu, sudah menjadi tradisi bahwa bagi kaum pria sejak kecil dilatih untuk memanah, berenang dan segala jenis alat perang lain. Mereka sangat bangga jika dalam suku mereka lahir anak laki-laki, lalu biasanya melakukan pesta di kalangan mereka. Jelasnya, pada waktu itu terjadi adagium: siapa kuat dialah yang menang dan memiliki. Karena itu, bagi suku yang kuat maka merekalah biasanya yang memiliki banyak budak (hamba sahaya). Lalu terjadilah transaksi jual beli budak itu.
2)      Mengubur bayi perempuan. Kaum perempuan waktu itu dianggap sebagai sarana reproduksi anak atau pemuas keinginan biologis kaum pria. Pria yang memiliki banyak isteri adalah kebanggaan. Karena dalam peperangan yang biasanya keras dan brutal itu perlu kecepatan dan kelincahan gerak, maka kaum perempuan dianggap menyulitkan. Karena itu jumlahnya dibatasi. Untuk itu, jika jumlah perempuannya sudah dianggap cukup maka bayi perempuan dikubur hidup-hidup.
3)      Mengurangi timbangan dan ukuran. Mata pencaharian terpokok waktu itu adalah berdagang. Agar cepat dapat untung perdagangannya, maka mereka cenderung licik dalam menimbang dan mengukur barang dagangannya.
4)      Menyembah berhala. Untuk meraih keuntungan yang berlebih, mereka juga merasa perlu meminta roh-roh nenek moyang dengan cara menyembah patung-patung (berhala) dari batu yang dibuat sendiri.
5)      Melakukan nujum nasib dan minum minuman keras, Mereka suka sekali dalam hal ramal-meramal nasib, termasuk suka pesta lewat minum-minuman keras.
6)      Melakukan tindakan riba. Yaitu melakukan utang piutang dengan cara bunga-berbunga. Akibatnya sangat mencekik leher para peminjam utang. Dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat negatif.
Dalam kondisi seperti itulah Rasulullah SAW lahir dan hidup. Rasulullah SAW sangat prihatin melihat kenyataan kehidupan sosial seperti itu. Oleh karena itu sangat logis jika Rasulullah SAW memproklamasikan bahwa kerisalahannya (kebangkitannya menjadi seorang rasul) adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan akhlak masyarakat pada waktu itu. Jadi, kesadaran tentang akhlak sudah ada sejak Rasulullah Saw masih hidup. Keteladanan Nabi Muhammad SAW juga dalam kerangka pembangunan akhlak.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya, para ulama mulai mencoba mensistematisasikan praktek akhlak al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah Saw ini. Tokoh yang mencoba mensistematisasikan akhlak ini antara lain adalah Ibnu Miskawih (932-1030 M) yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq.  Setelah itu disusul oleh Abu Ahmad al-Ghazali (1056-1111 M) dan lain sebagainya. Sejak itu perhatian terhadap masalah akhlak terus berkembang, apalagi setelah dunia Islam mulai berkenalan dengan filsafat Barat tentang etika.

b.      Latar Belakang Studi Tasawuf
Seperti diketahui pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, tidak dikenal sebutan tasawuf. Yang ada justru dari Rasulullah Saw ketika beliau mengintrospeksi istilah “ihsan”, yang digandengkan dengan istilah “iman” dan “Islam”. Setelah Rasulullah wafat masuklah ke zaman Khulafa’al-Rasyidin yang dalam sejarah Islam dicatatkan 4 (empat) orang sahabat dekat Rasulullah yang meneruskan pemerintahan (khalifah) Islam yang berpusat di Madinah. Sahabat Nabi tersebut adalah, Abubakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan All bin Abi Thalib. Setelah pemerintahan Ali bin Abi Thalib berakhir, bergeserlah sistem pemerintahan Islam itu mirip dengan kekaisaran Romawi atau Persia. Seiring dengan mulai terjadinya pergeseran itu, nampaknya masalah kemewahan hidup yang terpusat di pusat-pusat pemerintahan membuat gerah bagi sebagian umat Islam waktu itu. Kelompok ini beranggapan bahwa cara dan gaya hidup para penguasa dan para lingkaran elit waktu itu telah keluar dari contoh hidup dari Rasulullah SAW. Kelompok inilah yang kemudian menyisihkan diri untuk mencermati ulang dan mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Sikap menentang arus ini dimulai dari kota Basrah dengan tokohnya antara lain Hasan al-Basri dan kota Kufah yang relative disebut lebih pedalaman (dengan tokohnya Abu Hasyim al-Kufi).
Mula-mula para penentang gaya hidup mewah tersebut melakukan amaliah nyata dalam kehidupan sehari-hari sejauh kepahaman mereka tentang bagaimana cara hidup Rasulullah Saw. Lama-kelamaan apa yang mereka lakukan itu dikemas dengan istilah-istilah teknis, misalnya istilah maqam, hal, suluk dan sebagainya. Dari sinilah mulai disiplin ilmu tasawuf.
Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufistik itu kemudian melebar menjadi lembaga tarekat setelah al-Ghazali mempopulerkan tentang tasawuf ini melalui kewibawaan kitab-kitabnya. Lalu timbulah peristilahan yang lebih kompleks lagi, seperti zawiyah, mursyid, muraqabah, tawajjuh, wall dan sebagainya.
Kehidupan tasawuf dan berbagai perkembangannya itu arahnya adalah untuk menambah ketajaman umat Islam terhadap akhlak. Sehingga studi akhlak dan tasawuf di kalangan Sunni lebih dikenal disiplin Ilmu Akhlak Tasawuf.

2.      Fungsi Akhlak Tasawuf
a.      Fungsi Umum
Secara umum fungsi akhlak tasawuf ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu, pertama menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih tersisa sampai sekarang dan kedua, memotret realitas fungsi akhlak tasawuf yang ditangkap oleh manusia modern dewasa ini. Satu persatu akan digambarkan sebagai berikut:
Untuk aspek pertama, yaitu menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih tersisa sampai sekarang. Maka akhlak tasawuf akan dapat berfungsi sebagai:
1)      Mengembalikan akhlak Rasulullah Saw menjadi acuan kehidupan sehari-hari umat Islam. Di sini, format akhlak Rasulullah Saw harus menjadi koridor umat Islam terutama dalam mengarungi lautan kenikmatan dan kemewahan kehidupan duniawi, agar tidak kebablasan. Ini bukan harus kembali ke dalam padang pasir seperti zaman Rasulullah Saw, melainkan agar umat Islam tidak jatuh ke dalam Lumpur Kenikmatan dan kemewahan duniawi dan meninggalkan sifat religiusitas dan kesederhanaan mereka. Fungsi pertama ini mencuat karena setiap kali para elite pemerintahan dan perekonomian itu diingatkan lewat himbauan keakhlakan Rasulullah Saw kebanyakan didengar sambil lalu. Akibatnya dari pihak pengritiknya menjadi mengeras, tidak cair. Para petinggi pemerintahan dan perekonomian ini lebih komitrnen terhadap “kekuasaan” daripada dakwah islamiyah (dalam arti teknis).
2)      Menyeimbangkan kehidupan duniawi yang serba hingar bingar dengan kehidupan spiritual yang serba teduh dan hening. Atau dengan kata lain, memasukan nilai spiritualitas terhadap setiap sektor kehidupan. Dengan adanya fungsi ini, sebagai misal, mulai popular sebutan “fiqh sufistik”. Ini terjadi pada masa Al-Ghazali yang mengintroduksi nuansa sufistik ke dalam fiqh agar pelaksanaan fiqh tidak sekedar formalisme (yang kehilangan ruh). Spiritualitas, dalam fungsi ini, diharapkan memberi warna untuk meningkatkan kadar religiusitasnya. Dunia pemerintahanpun juga mulai diintervensi oleh al-Ghazali dengan akhlak tasawuf ini dengan cara melayangkan surat-surat kepada para elitik di pemerintahan. Pada wilayah grass-root (akar rumput) menyeruak kehidupan tarekat (dengan segala plus minusnya) agar kehidupan berdasar akhlak tasawuf bisa menjadi imbangan bagi kehidupan para elitik pemerintahan dan perekonomian. Di sini sudah terjadi pengkutuban antara “elitik pemerintahan” dengan “populis kerakyatan” yang aberbasis pada akhlak tasawuf. Untuk aspek pertama ini terdapat dampak yang kurang menguntungkan pula, yaitu ketika lembaga tarekat masuk ke wilayah grass-root (akar rumput) secara luas di tengah-tengah masyarakat. Dampak ini ialah timbulnya proses-proses elitisasi dalam lembaga tarekat. Di dalamnya mulai menancap kuat atratifikasi social antara lapisan yang disebut “mursyid” dengan lapisan yang disebut “murid”. Hubungan dari kedua lapisan ini sangat vertikal (paternalistik, kebapakan). Dengan demikian ada dua lapisan social yang nampak, yaitu “pemerintah-rakyat” dan “mursyid-murid”. Kalangan awam terjepit oleh pengaruh wibawa dua lapisan di atasnya, yaitu pemerintah (dalam konteks pemerintahan), dengan mursyid (dalam konteks sosial keagamaannya). Kondisi ini sebenarnya tidak boleh terjadi, terutama untuk lembaga tarekat. Namun kenyataannya masih berlangsung sampai detik sekarang ini. Adagium seperti “kewalian”, “keberkahan”, “kualat”, “karamah”, “weruh sadurunge winarah” dan sebagainya masih terdengar nyaring sampai detik sekarang ini. Jika hal ini terus menerus masih terjadi, maka akan menjadi batu hambatan terkonstruksinya akhlak tasawuf yang lebih elegan (anggun) dalam menghadapi perbaikan social di zaman global seperti sekarang ini.
Untuk aspek kedua, akhlak tasawuf berfungsi sebagai:
3)      Peneduh jiwa karena hilangnya kebermaknaan hidup dalam zaman kemajuan ilmu dan tekhnologi. Dalam masyarakat yang sudah maju, nampaknya mulai timbul kemuakan dan kebosanan serta rasa kekosongan makna hidup yang luar biasa. Piranti dan servis kesejahteraan hidup hampir terpenuhi semuanya. Pasar, toko, super market (bahkan sekarang mulai ada hyper market), mall, ruang pameran dan sebagainya telah dipenuhi segala macam kebutuhan dan piranti hidup. Orang-orang modern dewasa ini seolah-olah telah dimanjakan oleh keadaan. Mereka menjadi merasa kurang tertantang. Akibatnya kebosanan menjadi-jadi, alam kondisi jiwa dan psikologis seperti itu nampaknya fungsi Pertama dari aspek ke dua ini menjadi niscaya. Orang mengatakan hilangnya kebermaknaan hidup ini pasti mengiringi bagi sebuah proses kemajuan yang secara terus menerus akan diusahakan dan diraih oleh umat manusia, baik pada masa kini maupun masa mendatang.
4)      Pengeram psikologis dari kehidupan yang diwarnai penuh persaingan (kompetisi). Dalam suasana seperti itu bagi kelompok manusia yang merasa kurang kuat dalam bersaing, sementara tuntutan untuk ingin bersaing juga tidak surut, maka timbullah stress (tekanan psikologis yang berat). Dalam kondisi orang seperti ini maka akhlak tasawuf merupakan medium untuk mengendor ketegangan psikisnya. Disinilah fungsi kedua akhlak tasawuf untuk aspek kedua ini menjadi niscaya.
5)      Penguat kesadaran kebersamaan hidup. Pada zaman yang maju dalam hal ekonomi, ilmu, teknologi rasa keakuan (egoisme) cenderung menguat tajam. Bisa dikatakan citra individualisme menguasai di seluruh sector kehidupan. Karena egoisme meninggi, maka rasa keterancaman menjadi menguat. Orang lain yang sebenarnya menjadi kawan justru dianggap sebagai lawan atau musuh yang dianggap terus mengintai yang akan menyerangnya. Dalam kondisi seperti itu ketegangan psikologis (psychologicaltension) menjadi meninggi, maka timbullah kecemasan (anxety), bahkan ketakutan (phobia). Karena itu orang menjadi haus terhadap pemecahan apa yang harus dilakukannya. Akhlak tasawuf mengajarkan perlunya kesadaran kebersamaan dalam kehidupan. Bahwa di alam dunia yang fana ini tidak ada orang, kelompok, bangsa, bahkan Negara yang dapat hidup senang sendiri dan dapat hidup sendiri. Yang ada adalah adanya saling ketergantungan (dependency) satu sama lainnya. Jika kesadaran kebersamaan hidup ini berhasil dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan, maka kecemasan dan ketakutan akan menurun tajam. Ketika menghadapi orang lain, maka tidak dianggap sebagai lawan atau musuh yang akan menyeranginya, melainkan sebagai calon kawan dan teman untuk berbagi pendapat dan perasaan. Falsafah Barat yang mengintroduksi pandangan individualisme, hak-hak asasi dan “pasar bebas”, maka orang ingin menguasai sebanyak banyaknya dan kalau perlu seluruhnya (kemilikan tunggal). Oleh karena itu akhlak tasawuf cenderung mampu menjadi paying perlindungan akan mampu berkiprah dalam kondisi seperti ini. Dalam akhlak tasawuf ditekankan prinsip “keadilan dan kesetaraan”. Dua prinsip ini dalam dunia modern sekarang ini sering terjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan atau prakteknya.
Ada sebuah tantangan untuk fungsi aspek ke dua akhlak tasawuf, yaitu adanya opini baru dengan munculnya apa yang disebut “etika global”. Konsep ini dirilis pertama kali dirilis oleh Hans Kung guru besar kajian agama di Universitas Tubingen Jerman. Gagasan ini lalu di deklarasikan dalam forum pertemuan Parlement of the World’s Religions (Parlemen Agama-agama Dunia). Teks final deklarasi “etika global” ini ditanda tangani hampir 200 orang delegasi agama-agama dunia. Dalam menghadapi perkembangan etika global seperti ini, maka sudah semestinya studi akhlak tasawuf harus bekerja keras agar tidak kalah lajunya dalam menghadapi perkembangan kemajuan dunia dengan segala perubahan social yang ada di dalamnya. Adalah tidak dapat diterima kalau dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Islam (dengan symbol kerasulan Muhammad SAW) adalah rahmatan lil ‘alamin, lalu daya paying akhlak tasawuf hanya terbatas lingkupnya untuk umat Islam saja. Parlemen Agama-agama Dunia ketika merumuskan deklarasi etika global berdasar kerjasama internasional secara organisatoris yang rapih dan terencana. Bukan suatu kemustahilan jika umat Islam akan merumuskan Akhlak Tasawuf untuk memenuhi tuntutan rahmatan lil 'alamin. Barangkali kuncinya terletak pada niat bulat, kemauan bekerja keras dan manajemen kerja secara organisatoris yang rapih dan terencana dengan baik. Inilah tantangan masa depan akhlak tasaawuf untuk masyarakat dunia modern seperri sekarang ini ataupun untuk masa depan.

b.      Fungsi Khusus
Fungsi akhlak tasawuf secara khusus adalah berkaitan dengan kesehatan mental atau jiwa manusia. Fungsi tersebut diantaranya adalah :
1)      Membersihkan hati dalam berhubungan dengan Allah
Hubungan manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah tidak akan mencapai sasarannya jika tidak dengan kebersihan hati dan selalu ingat dengan Sang Penciptanya. Misalnya, dalam shalat. Shalat diperintahkan Tuhan, karena efeknya adalah mencegah manusia dari berbuat tidak baik. Efek ini tidak dapat dicapai oleh manusia jika shalat itu tidak dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan kekhusy’an. Sebagaimana sabda Nabi:
Artinya: Berapa banyak orang yang berdiri shalat, yang bagiannya dari shalatnya hanya penat dan letih semata (HR. Baihaqy).
Maksud hadits di atas adalah sesuatu yang menyebabkan shalatnya sia-sia yaitu karena kekurangan “syarat bathin” dalam shalat. Syarat bathin itu adalah kebersihan jiwa yang menjadi sumber ikhlas, khusyu’, dan khudhu’. Dan untuk menumbuhkan yang demikian itu maka diperlukan mempelajari ilmu akhlak tasawuf.
2)      Membersihkan jiwa dari pengaruh materi
Kebutuhan manusia itu bukan hanya pemenuhan tubuh materi saja, tetapi dia mempunyai bathin yang disebut jiwa yang memerlukan kebutuhan pula. Tubuh lahir manusia akan merasa puas bila diberi makanan dengan protein nabati dan hewani, dengan demikian ia akan sehat. Kebutuhan lahiriyah manusia erat hubungannya dengan jiwanya. Kebutuhan lahiriyah ini timbul karena adanya dorongan jiwa untuk mempertahankan dan melindungi tubuh dari berbagai ragam bahaya yang bisa merusakannya, seperti panas, dingin dan sebagainya yang berasal dari makhluk hidup lainnya. Untuk melindungi bahaya inilah pada mulanya manusia berpakaian, memakai senjata dan lain-lain. Tetapi dewasa ini pakaian bukan lagi digunakan untuk maksud pertama tadi. Kini pakaian dipakai untuk menjaga gengsi. Karena itu dipilihlah mode-mode yang terbaru dan termodern. Mode-mode ini setiap bulan selalu berubah. Begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan lain seperti rumah, tempat tinggal, mobil, kursi dan alat-alat perabot lainnya. Orang pun sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan lahiriyahnya saja. Akhirnya orang lupa diri. Mereka tidak tahu akan kebutuhan jiwanya lagi, karena memuaskan kebutuhan lahiriyahnya saja yang dipengaruhi    nafsu. Satu-satunya  jalan untuk menyelamatkan manusia dari godaan materi adalah dengan membersihkan jiwanya. Jalan untuk itu ialah dengan pelajaran agama, yaitu pada bidang akhlak tasawuf.
3)      Menerangi jiwa dari kegelapan
Jiwa manusia selalu gelisah, sebagaimana firman Allah. Swt:
Artinya: Kami jadikan manusia itu bersifat keluh kesah.
Masalah materi sering menjadi sangat besar pengaruhnya atas jiwa manusia. Benturan di dalam mencari dan mengejar materi atau mengejar apa saja yang diinginkan manusia sering menjadi masalah bagi manusia itu sendiri bahkan kemudian timbul menjadi penyakit. Penyakit-penyakit seperti resah, cemas, patah hati sebagai akibat dari masalah-masalah di atas (termasuk di dalamnya sifat-sifat buruk manusia seperti hasad, takabur dan sebagainya) hanya dapat disembuhkan dengan obat yang datang dari ajaran-ajaran agama, khususnya ajaran yang berobyekan bathin manusia yaitu akhlak tasawuf.
4)      Memperteguh dan menyuburkan keyakinan beragama
Hati akan teguh di dalam keyakinannya bila selalu disirami dengan pelajaran-pelajaran yang bersifat ruhaniyah. Kekuatan umat Islam di masa rasul bukan karena kekuatan fisik dan senjata, tetapi ialah pada kekuatan mental dan spiritualnya. Sebaliknya kemunduran umat Islam di masa keemasannya bukan karena akibat musuh semata, tetapi karena hidup materialis yang tidak lagi memperhatikan kebutuhan jiwa. Bila ajaran akhlak tasawuf diberikan pada hamba Allah akan bertambah subur pula keimanannya. Segala amal perbuatan akan membuahkan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain
5)      Mempertinggi akhlak manusia
Dengan memiliki hati yang suci dan bersih dan selalu di sirami dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya maka akan semakin tinggi akhlak manusia. Ajaran akhlakul karimah atau munjiyat di bahas secara panjang lebar dalam akhlak tasawuf. Tujuannya adalah untuk membersihkan manusia dari akhlaqul madzmumah atau al-Muhlikat. Pembersihan ini dinamai takhalli.
Bila manusia ini telah kosong dari perangai-perangai tercela, maka memulainya dengan diisi dengan akhlaqul al-karimah (akhlak yang terpuji) yang disebut takhalli. Takhalli adalah menghiasi pribadi insan dengan keutamaan-keutamaan (akhlak yang mulia). Bila seseorang telah dipenuhi perangai-perangai utama, niscaya terbukalah tirai yang menghalanginya dari kebenaran Illahi. Bila tirai telah terbuka antara manusia dengan Illahi dapatlah manusia itu mencapai kelezatan beribadah kepada Tuhannya. Tersingkapnya tirai yang membatasi manusia dengan Tuhannya dinamakan tajalli.
Aspek moral adalah aspek yang terpenting di dalam kehidupan manusia. Bila manusia tidak bermoral, maka turunlah martabat dari kemanusiaannya. Inilah fungsinya mempelajari akhlak tasawuf.
Hal ini supaya manusia tetap menempati martabatnya sebagai manusia yang ditugaskan Allah Swt menjadi khalifah di muka bumi ini.
Adapun fungsi mempelajari akhlak tasawuf yang sifatnya lebih tekhnis adalah sebagai berikut:
a)      Untuk meningkatkan kemajuan rohani. Dalam hal ini untuk menjaga kesetabilan mental spiritual dalam menghadapi segala lika-liku kehidupan, termasuk di dalamnya godaan dan cobaan hidup. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu menghindarkan diri dari godaan atau cobaan hidup itu. Untuk menghadapinya perlu kestabilan mental-spiritual yang baik.
b)      Untuk menuntun ke arah kebaikan. Dalam kehidupan ini hampir tidak terhitung apa yang akan dan sudah dikerjakan. Karena itu diperlukan rambu-rambu agar tidak terjerumus ke dalam tindakan yang keliru. Sepanjang hidup manusia tidak pernah terhindar dari jurang kekeliruan, mengingat sehebat-hebatnya manusia tetap saja, berdasar penjelasan al-Qur’an, diciptakan dalam keadaan atau kondisi dlaif (lemah).
c)      Untuk menopang kesempurnaan iman. Lisan bisa mengatakan “aku telah beriman”, tetapi dalam prakteknya iman senantiasa naik dan turun yang disebabkan faktor eksternal yang dialami manusia dalam kehidupannya. Agar iman seseorang relative stabil, perlu ditopang oleh pelaksanaan akhlak yang konsisten.
d)     Untuk mempertajam tanggung jawab eskatologis. Yang dimaksud istilah “eskatologi” di sini adalah hal-hal yang menyangkut setelah mati, seperti hari akhirat dengan segala perangkatnya (dosa, pahala, surga, neraka dan sebagainya). Tanggung jawab eskatologis ini “lebih mengancam” daripada sekedar ancaman pengucilan masyarakat, ancaman hokum dan sebagainya.
e)      Untuk mempertajam tanggung jawab sesama dalam kehidupan. Tanggung jawab ini misalnya tanggung jawab terhadap keluarga, tetangga, rekan kerja, bangsa dan manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan tanggung jawab itulah terdapat harga pribadi seseorang, yaitu apakah diri seseorang itu berguna atau tidak.
f)       Untuk menjaga martabat kemanusiaan seseorang. Bahwa dalam diri setiap orang ada unsur sifat kebinatangan dan kemanusiaan, sifat kemanusiaan yang menonjol adalah kesadaran untuk menyusun dan mau tunduk pada peraturan. Dengan peraturan itu lalu lintas pergaulan menjadi lebih lancar dan tidak gampang menimbulkan salah paham yang ujung-ujungnya berupa perselisihan bahkan perang. Sedang sifat kebinatangan hanya berlaku hukum rimba yaitu, siapa kuat dialah yang menang.

0 comments:

Post a Comment

Ley's. Powered by Blogger.