HAKEKAT PEMBINAAN AKHLAK TASAWUF
1.
Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf
Pembinaan
akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan terus
menerus tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri sendiri
tanpa harus dituntun oleh orang lain. Pada hakekatnya pembinaan akhlak tasawuf
lebih merupakan pembinaan akhlak yang dilakukan seseorang atas dirinya sendiri
dengan tujuan jiwanya bersih dan perilakunya terkontrol. Dalam dunia tasawuf
istilah pendidikan diri sendiri dapat dikenal dengan istilah Tazkiyat
al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah dan Halaqah Tarbawiyah.
a.
Tazkiyah Nafs
1)
Hakekat Tazkiyah al-Nafs
Pembersihan
jiwa dari kotoran-kotoran penyakit hati seperti sifat basud, kibir, ujub,
riya’, sum’ ah, thama, rakus, serakah, bohong, tidak amanah, nifaq,
syirik dan lain sebagainya merupakan salah satu misi utama para Rasul Allah.
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan atas misi tersebut.
Perhatikan
do’a Nabi Ibrahim AS untuk anak cucunya, yang terdapat dalam al-Qur’an:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ
الحَكِيمُ
Artinya:
Ya
Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka
Al-Kitab (al-Quran) dan Al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah :129)
Kemudian
Allah menjawab do’a tersebut dan memberi karunia atas ummat ini sebagaimana
firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ
تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Sebagaimana
(Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu
Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah: 151)
Ayat
lain menguatkan seperti ucapan nabi Musa kepada Fir’aun:
فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَى أَن تَزَكَّى
وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى
Artinya:
Adakah
keinginan bagimu untuk membersihkan diri. Dan kamu akan kupimpin ke jalan
Tuhanmu agar kamu takut kepadaNya. (An-Naazi’at:18-19)
Juga
Allah berfirman:
الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Artinya:
...yang
menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. (Al-Lail:18)
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
Artinya:
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya. (Asy-Syam: 9-10).
Jelas
bahwa tazkiyat al-nafs termasuk misi para Rasul, sasaran orang-orang
yang bertaqwa, dan menentukan keselamatan atau kecelakaan disisi Allah.
Tazkiyah secara etimologis punya dua makna: penyucian dan pertumbuhan. Demikian
pula maknanya secara istilah. Zakatun nafsi artinya penyucian (tathabur)
jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisikan (tahaquq) berbagai maqam
padanya, dan menjadikan asma’ dan sifat Allah sebagai akhlaknya (takbaluq).
Dengan demikian tazkiyah adalah tathahur, tahaquq dan takhaluq.
Kesemuanya ini memiliki berbagai sarana yang sesuai dengan syari’at. Dampak dan
pengaruhnya akan tampak pada perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan Allah
dan makhluk lainnya sesuai dengan perintah Allah.
Tazkijah hati dan jiwa
hanya bisa dicapai melalui berbagai ibadah dan amal perbuatan tertentu, apabila
dilaksanakan secara sempurna dan memadai, seperti shalat, infaq, puasa, haji,
dzikir, fikir, tilawah al-Qur’an, renungan, muhasabah dan dzikrul-maut.
Pada saat itulah terealisir dalam hati sejumlah makna dan dampak bagi seluruh
anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan Iainnya. Hasil yang paling nyata
ialah adab dan mu’amalah yang baik kepada Allah dan manusia. Kepada Allah
berupa pelaksanaan hak-haknya termasuk di dalamnya adalah jihad di jalan-Nya.
Sedangkan kepada manusia, sesuai dengan ajaran, tuntutan maqam dan
taklif Ilahi.
Dampak
lain yang dapat dirasakan adalah terealisirnya tauhid ikhlas, shabar, syukur,
harap, santun, jujur kepada Allah dan cinta kepada-Nya, di dalam hati. Dan
terhindarkannya dari hal-hal yang bertentangan dengan semua hal tersebut
seperti riya’, ‘ujub, ghurur marah karena nafsu atau
karena syetan. Dengan demikian jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya
nampak pada terkendalikannya anggota badan sesuai dengan perintah Allah dalam
berhubungan dengan keluarga, tetangga, masyarakat dan manusia.
2)
Sarana Tazkiyyah
Yang
dimaksud dengan sarana tazkiyah ialah berbagai amal perbuatan yang
mempengaruhi jiwa secara langsung dengan menyembuhkannya dari penyakit,
membebaskannya dari “tawanan”, atau merealisasikan akhlak padanya. Semua hal
ini bisa terhimpun dalam suatu amal perbuatan.
Dalam
sarana tazkiyah, ada berbagai amal perbuatan yang memberikan dampak pada
jiwa ini sehingga dengan perbuatan tersebut jiwa terbebas dari penyakit atau
mencapai maqam keimanan atau akhlak Islami.
Ada
beberapa sarana dalam tazkiyah yaitu:
a)
Shalat
Shalat
adalah satu sarana tazkiyah dan merupakan wujud tertinggi dari ‘ubudiyah
dan rasa syukur. Dengan demikian, ia adalah sarana itu sendiri. Jadi, ia adalah
cara sekaligus sarana. Shalat yang dilakukan secara sempurna merupakan manusia
bahwa jiwa dan hati tersucikan. Jadi, penuaiannya secara sempurna dan baik
merupakan
sarana, tujuan dan dampak. Demikian pula masalah-masalah lainnya yang berkenaan dengan pembahasan ini.
Penuaian
shalat, misalnya, dapat membebaskan manusia dari sikap sombong kepada Allah
Tuhan alam semesta, dan pada saat yang sama bisa menerangi hati lalu memantul
pada jiwa dengan memberikan dorongan untuk meninggalkan pebuatan keji dan
mungkar.
Sebelum
kita memasuki bab ini perlu kami berikan beberapa penjelasan berikut ini:
Fitrah
manusia bisa terkontaminasi oleh najis ma’nawi yaitu suatu kotoran yang
diartikan dari hakekatnya seperti kemusyrikan, seperti dalam al-Qur’an
menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik
itu najis”, terkontaminasi lumpur hawa nafsu yang salah, seperti dalam
al-Qur’an yang artinya: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek)
yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak
akan menemui kesesatan”, atau terkontaminasi oleh berbagai perangai binatang
yang tidak cocok untuk manusia, “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak
itu)”. Sebagaimana di dalam jiwa juga terdapat kecenderungan untuk menentang rububiyah,
seperti sikap sombong dan angkuh. Jiwa juga bisa tertutup oleh berbagai
kegelapan sehingga tidak bisa melihat berbagai hakekat sebagaimana mestinya.
Karena itu, jika dikatakan tazkiyat al-nafs maka yang dimaksud adalah
pembebasan jiwa dari berbagai najis yang mengotorinya, berbagai hawa nafsu yang
keliru, berbagai perangai kebinatangan yang nista, penentangan terhadap
rubbubiyah dan berbagai
kegelapan. Para Rasul diutus tidak lain adalah untuk melaksanakan misi seperti
ini.
Antara manusia dan binatang ada unsur-unsur kesamaan
yang diperlukan kehidupan manusia, namun hal seperti ini tidak menjadi
pembahasan kami. Berbagai macam syahwat yang dibenarkan terkait dengan berbagai
kemaslahatan yang dibenarkan pula, hal ini juga tidak menjadi pembahasan kajian
kami. Allah telah menjadikan pada manusia kesiapan untuk berakhlak dengan
berbagai kesempurnaan, seperti santun dan kasih sayang, dan menjadikan untuknya
beberapa sifat seperti mendengar dan melihat. Berbagai kesempurnaan yang bisa
menjadi sifat manusia ini, yang merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, tidak
termasuk didalamnya apa yang kami maksud.
Berbagai
taklif Ilahi tercurahkan untuk kemaslahatan individu dan masyarakat,
sementara itu tidak ada kemaslahatan bagi individu dan masyarakat kecuali
dengan menyucikan jiwa individu. Oleh karena itu diantara taklif Ilahi yang
terpenting adalah apa yang bisa membersihkan jiwa.
Titik
awal dan akhir dalam taklif Ilahi adalah tauhid yang membersihkan dari berbagai
karat kemusyrikan dan berbagai akibatnya seperti ‘ujub, ghurur,
dengki dan lain sebagainya. Sesuai dengan sejauh mana tauhid itu tertanam dalam
jiwa sejauh itu pula jiwa akan tersucikan dan memetik berbagai buah tauhid
seperti sabar, syukur, ‘ubudiyah, tawakal, ridha, takut, harap, ikhlas,
jujur, dan lain sebagainya.
Oleh
sebab itu, kami menjadikan sarana pertama dalan tazkiyah adalah shalat. Shalat
berikut sujud, ruku’ dan dzikirnya membersihkan jiwa dari kesombongan kepada
Allah dan mengingatkan jiwa agar istiqamah diatas perintahNya:
“Sesungguhnya
shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar”, Jadi shalat merupakan salah
satu sarana tazkiyah.
b)
Zakat dan Infaq
Zakat
dan infaq bisa membersihkan jiwa dari bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia
bahwa pemilik harta yang sebenarnya adalah Allah. Oleh sebab itu, kedua ibadah
ini termasuk dalam bagian dari tazkiyah, “Yang menafkahkan hartanya (di
jalan Allah) untuk membersihkannya”.
c)
Puasa
Puasa
merupakan pembiasaan jiwa untuk mengendalikan syahwat dan kemaluan, sehingga
dengan demikian ia termasuk sarana tazkiyah, “Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Tujuan
dari puasa tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar dari mulai terbit fajar
hingga matahari tenggelam, namun lebih dari itu, yaitu melatih kesabaran dan
mengekang hawa nafsu dari keinginan-keinginan nafsu duniawi. Sehingga dengan
bepuasa setiap hamba dapat mendekatkan diri pada Allah SWT dengan khusyu’ tanpa
terbebani keinginan-keinginan duniawi.
d)
Dzikir dan Pikir
Membaca
Al-Qur’an dapat mengingatkan jiwa kepada berbagai kesempurnaan, karenanya ia
merupakan salah satu jenis dzikir dan merupakan sarana tazkiyah, “Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya, bertambahlah iman mereka
(karenanya).
Berbagai
dzikir yang bisa memperdalam iman dan tauhid di dalam hati, “Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. Dengan demikian jiwa bisa
mencapai derajat tazkiyah yang tertinggi, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
Dzikir
dan pikir adalah dua sejoli yang dapat membukakan hati manusia untuk menerima
ayat-ayat Allah, oleh karena itu tafakkur termasuk sarana tazkiyah,
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat manusia-manusia bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami,
sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh
telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang
penolong pun, Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru
kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman.
Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak
berbakti. Munculnya nilai-nilai dalam hati tidak lain adalah melalui
perpaduan antara dzikir dan pikir.
e)
Mengingat Kematian
Kadang
jiwa manusia ingin menjauh dari pintu Allah, bersikap sombong, sewenang-wenang
atau lalai, maka mengingat kematian akan dapat mengendalikannya lagi kepada ‘ubudiyah-Nya
dan menyadarkannya
bahwa ia tidak memiliki daya sama sekali, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat
penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu,
ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak
melalaikan kewajibannya”. Oleh karena itu, mengingat kematian merupakan salah
satu sarana tazkiyah, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan
langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah
dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman
sesudah Al Quran itu?”
Muhasabah harian terhadap
jiwa dan muraqabullah juga dapat mempercepat taubat dan memperkuat laju
peningkatan (taraqqi), karenanya muhasabah merupakan salah satu
sarana tazkiyah, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat)”.
Jiwa terkadang
tidak terkendalikan lalu terjerumus ke dalam kelalaian, maksiat atau syahwat
sehingga harus dilakukan mujahaddah (kerja keras) agar bisa kembali, Allah
berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.
f)
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Tidak
ada hal yang sedemikian efektif untuk menanamkan kebaikan ke dalam jiwa
sebagaimana perintah untuk melakukan kebaikan, dan tidak ada hal yang
sedemikian efektif untuk menjauhkan jiwa dari keburukan sebagaimana larangan
darinya. Oleh karena itu, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu
sarana tazkiyah, bahkan orang-orang yang tidak memerintahkan yang ma’ruf
dan tidak mencegah kemungkaran berhak mendapat laknat Kotoran jiwa apakah yang
lebih besar dari laknat? “Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil
dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka selalu
perbuat itu”.
Kaitkanlah
antara firmanNya, “Sesungguhnya telah berbahagia orang yang mensucikannya”, dan
firmanNya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung”. Perhatikanlah kalimat
“orang-orang yang beruntung” niscaya manusia mengetahui bahwa amar ma’ruf, nahi
munkar dan ajakan kepada kebaikan merupakan salah satu sarana tazkiyah.
Jika
amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu sarana tazkiyah, maka
demikian pula jihad karena ia merupakan bentuk pengukuhan kebaikan dan
pengikisan kemungkaran. Oleh karena itu, mati syahid di jalan Allah adalah
penghapus dosa. Orang yang berjihad di jalan Allah terbebas secara langsung
dari rasa takut dan kikir karena ia menerjang kematian dengan niat menjual
dirinya kepada Allah, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada
jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh”. Tidak dapat melakukan hal
tersebut
secara sempurna dan baik kecuali orang-orang yang yang disebutkan sifatnya oleh
Allah dengan firmanNya, "Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat,
yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara
hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”. Jadi jihad adalah
salah satu sarana tazkiyah, bahkan merupakan sarana paling tinggi dan
tidak dapat melakukannya pada ghalibnya kecuali orang yang tersucikan jiwanya.
Itulah
berbagai induk sarana tazkiyah secara umum, disamping ada beberapa macam
tazkiyah khusus bagi beberapa penyakit khusus. Semakin sempurna sarana
ini direalisasikan semakin sempurna pula hasil-hasilnya, dan sebaliknya.
Nilai-nilai
bathiniyah dalam hal shalat, zakat, puasa dan tilawah Al-Qur’an telah dilupakan
oleh banyak orang, padahal berbagai ibadah utama dalam islam akan dapat
menerangi dan mensucikan jiwa tergantung kepada sejauh mana nilai-nilai
bathiniahnya tersebut diperhatikan. Ia akan dapat memberikan pengaruh yang
sempurna apabila ditunaikan secara sempurna, yakni amal-amal lahiriyah disertai
dengan amal-amal bathiniah, seperti shalat disertai khusu’, zakat disertai
dengan niat yang baik, tilawah Al-Qur’an disertai dengan tadabur yang baik dan
dzikir yang menghadirkan hati (hudhur). Bentuk penunaian ini merupakan
penerang dan pensuci bagi kesempurnaan. Karena aspek spiritual dari hal-hal ini
telah terjangkiti oleh penyakit wahan dan kekurangan di kalangan para penempuh
jalan menuju Allah, maka hal tersebut menjadi fokus pilihan kami karena hal-hal
yang bersifat lahiriyah biasanya tidak terlupakan di kalangan orang-orang yang
hidup di lingkungan islam.
3)
Tujuan Tazkiyat Al-Nafs
Ada
perselisihan filosofis seputar: apakah tidak ada kaitan antara sarana, tujuan
dan dampak, ataukah ada mata rantai saja? Masalahnya relatif. Setiap sarana
adalah tujuan bagi yang lainnya, dan setiap tujuan merupakan sarana bagi yang
lainnya. Jadi hasil-hasil itu sendiri tidak keluar dari keberadaannya sebagai
tujuan dan sarana bagi sesuatu yang lain. Apapun kesimpulan perdebatan ini,
proses pengajaran, penyederhanaan dan pemaparan ini menuntut penjelasan rinci
yang membahas masalah sarana, tujuan dan hasil atau dampak tersebut
masing-masing secara terpisah. Memang pada akhirnya ada saling keterkaitan,
tetapi saling keterkaitan ini tidak muncul sebagaimana munculnya pada
pembicaran tentang tazkiyah yang tengah dibahas ini.
Tujuan
dari upaya pembersihan diri ini akan terlaksana apabila telah melampai beberapa
tahap. Tahapan ini merupakan sarana yang tepat sebagai upaya pelaksanaan tazkiyah
al-nafs. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
a)
Tathahhur (Upaya mensucikan diri)
Usaha seseorang untuk dapat memulai tazkiyat
al-nafs adalah melalui tathahur. Upaya ini diawali dengan taubat dan
berjanji tidak akan mengulangi lagi segala perbuatan yang bisa mengotori jiwa
atau hati, seperti nifaq, berdusta, khianat, mengingkari janji, hasud, riya’,
kibir, sum’ah, ujub, su’udhan dan lain-lain. Ia
harus mengikis habis segala yang bisa menggoda hatinya untuk kembali melakukan
perbuatan-perbuatan kotor. Dengan cara ini, jiwanya akan terasa kosong dari
penyakit-penyakit tadi, sehingga dapat dikatakan jiwanya bersih.
b)
Takhallaq (upaya menghiasi diri dengan akhlak
al-karimah)
Setelah seseorang berusaha mensucikan diri dari
perbuatan-perbuatan kotor pada jiwanya, maka ia harus berupaya mengisinya
dengan perbuatan-perbuatan mulia (akhlak mulia). Sifat-sifat seperti nifaq,
berdusta, khianat, mengingkari janji, iri dengki, riya’, kibir, sum’ah,
ujub, su’udhan dan lain-lain haruslah diganti dengan sifat-sifat
akhlak mulia seperti jujur, amanah, tawakkal, sabar, tawadhu’, tadharru’,
qana’ah, iffah, dan lain-lain. Dengan cara ini jiwa atau
seseorang akan terhiasi perilaku-perilaku baik yang pada akhirnya perlu
perwujudan dalam perilaku.
c)
Tahaqquq (Upaya merealisasikan
kedudukan-kedudukan mulia atau biasa disebut Maqamatul Qulub)
Upaya ini merupakan puncak dari proses tazkiyatal-nafs, karena takhalluq
merupakan cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin
dengan Allah Swt sehingga ia akan memperoleh kedudukan yang mulia disisi-Nya.
Untuk dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya, seorang muslim harus
menempuh perjalanan panjang yang dalam istilah Arab dikenal dengan maqamat,
sebagai bentuk jamak dari kata maqam. Hal ini sesuai dengan firman Allah
Swt dalam surat al-Shaffat ayat 164 yang berbunyi:
وَمَا مِنَّا إِلَّا لَهُ مَقَامٌ مَّعْلُومٌ
Artinya:
Tiada
seorangpun diantara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang
tertentu.
Kedudukan
tersebut merupakan tempat yang mulia di sisi Allah Swt Sebagaimana yang
dijanjikan Allah Swt dalam surat Ibrahim ayat 14:
وَلَنُسْكِنَنَّـكُمُ الأَرْضَ مِن بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي
وَخَافَ وَعِيدِ
Artinya:
Dan
kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang
demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke
hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.
4)
Buah Tazkiyyatun Nafs
Aktifitas-Aktifitas
tazkiyah yang dapat mencontoh Rasulullah saw ini dapat menghasilkan
buah-buah ‘amaliyah, buah-buah ini disebut Tsamaratut-Tazkiyyah,
yaitu:
a.
Dhabtul-Lisan (Lisan yang terkontrol)
Rasulullah menjadikan lurusnya lisan sebagai syarat bagi lurusnya hari,
dan menjadikan lurusnya hari sebagai syarat lurusnya iman. Sebagaimana
diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
Keimanan
seorang hamba tidak akan lurus sebelum lurus hatinya, dan harinya tidak akan
lurus sebelum lurus lisannya.
Diriwayatkan
pula dari Abdullah bin Umar r.a. secara marfu’, berkata:
Artinya:
Janganlah
kalian berbanyak kata selain dzikrullah, sesungguhnya hal itu akan menjadikan
kerasnya hari. Dan manusia yang paling jauh dari Allah adalah pemilik hati yang
keras.
Selanjutnya Rasulullah bersabda:
Artinya:
Barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau
diam.
Hadits
ini memuat perintah Rasulullah untuk berbicara yang baik-baik atau diam jika
pembicaraan itu tidak baik (tidak bermanfaat). Apabila perintah Rasulullah ini
dikksanakan maka akan dapat memetik buah dari tazkiyah, yaitu seorang
muslim dapat mengontrol lisannya sehingga ia akan senantiasa terjaga lisannya
dari perkatan yang tidak baik.
b.
Iltizam Bi Adabil ‘Ilaqat (Komitmen
dengan adab-adab pergaulan)
Hasil
lain dari tazkiyah yang dapat dipetik adalah berkomitmen dengan
adab-adab pergaulan. Ada 4 (empat) macam klasifikasi manusia dalam pergaulan,
yaitu:
1)
Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat
mengkonsumsi makanan yang bergizi. Ia dibutuhkan siang dan malam. Jika
seseorang telah menyelesaikan keperluannya ia ditinggal, dan jika diperlukan
lagi ia didatangi, demikian seterusnya. Mereka adalah para ularna, ahli ma’rifatullah,
memahami perintah-perintahNya, mengerti tipu daya musuh-musuhNya, dan memiliki
ilmu tentang penyakit-penyakit hati serta obatnya. Mereka adalah orang-orang
yang setia kepada Allah, KitabNya, rasulNya, dan seluruh makhluk. Bergaul
dengan mereka adalah keberuntungan yang nyata.
2)
Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat
mengkonsumsi obat. Ia dibutuhkan dikala sakit, selama sehat tidak diperlukan
pergaulan dengan mereka. Mereka adalah para profesional dalam urusan muamalat,
bisnis dan yang semisalnya. Bergaul dengan orang-orang seperti ini dapat
membawa urusan ma’siyah menjadi lancar.
3)
Segolongan orang yang bergaul dengan mereka ibarat
mengkonsumsi penyakit. Ada penyakit ganas yang memakan waktu lama untuk
disembuhkan. Orang yang semacam ini tidak membawa keuntungan dunia ataupun
akhirat.
4)
Segolongan orang yang bergaul dengan mereka adalah kebinasaan
total. Mereka ibarat racun. Jika seseorang tidak sengaja memakannya itupun
sudah suatu kerugian. Golongan ini banyak sekali, mereka adalah ahli bid’ah dan
kesesatan, penghalang sunnah Rasulullah penyeru kepada perselisihan. Bergaul
dengan mereka juga membawa kerugian dunia dan akhirat.
Dengan
tazkiyah ini seorang muslim dapat menentukan batasan-batasan dalam
pergaulan, dimana ia bisa menempatkan diri dalam golongan pergaulan yang
membawa keselamatan dunia dan akhirat.
b.
Tarbiyah Dzatiyah
1)
Hakekat Tarbiyah Dzatiyah
Istilah
tarbiyah dzatiyah merupakan sejumlah sarana tarbiyah yang diberikan
orang Muslim, atau Muslimah, kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian Islami
yang sempurna diseluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain
sebagainya, dan naik tinggi ketingkatan kesempurnaan manusia. Tarbiyah
dzatiyah ini juga bisa dikatakan pembinaan (tarbiyah) seseorang
terhadap dirinya sendiri. Tarbiyah dzatiyah sudah pernah dilakukan oleh
sahabat-sahabat Rasulullah. Bisa dilihat dari sejarah keberhasilan
sahabat-sahabat Rasulullah, dimana mereka mampu tampil menjadi figur-figur
hebat, dengan ciri khas dan kelebihannya masing-masing. Salah satu kuncinya
adalah masing-masing dari mereka mampu mentarbiyah (membina) diri
sendiri dengan optimal, meningkatkan kualitas diri menuju tingkatan seideal
mungkin, mengadakan perbaikan diri secara konsisten dan kontinyu, serta
meningkatkan semua potensi diri mereka sehingga tidak ada satu pun potensi
mereka yang terabaikan.
2)
Sarana-sarana Tarbiyah Dzatiyah
Banyak sekali sarana-sarana dalam tzabiyah seorang muslim terhadap
dirinya sendiri. Sarana-sarana tersebut adalah :
a)
Muhasabah
Muhasabah merupakan penyucian atau pembersihan
diri sebagai alat untuk mengintrospeksi dirinya sendiri. Seorang muslim mulai
mentarbiyah dirinya sendiri dengan cara pertama-tama melakukan muhasabah
(evaluasi) terhadap dirinya sendiri atas kebaikan dan keburukan yang telah ia
kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan yang ia miliki, agar ia dapat segera
menyadari dan melakukan perbaikan terhadap dirinya sendiri.
Hal yang pertama kali perlu di muhasabahi seseorang
pada dirinya ialah kesehatan akidahnya, kebersihan tauhidnya dan kebersihannya
dari syirik kecil dan tersembunyi, yang keduanya sering kali disepelekan serta
keyakinan-keyakinan dan perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan atau
melemahkan tauhid. Lalu ia memuhasabahi dirinya atas pelaksanaan
kewajiban-kewajiban, shalat lima waktu berjamaah, bakti kepada kedua orang tua
(birrul walidain), menyambung hubungan kekerabatan, amar ma’ruf nahi
munkar dan juga memuhasabahi dirinya tentang sejauh mana pelaksanaan
ibadah-ibadah sunnah dan ketentuan-ketentuan lainnya oleh dirinya.
b)
Taubat dari Segala Dosa
Diantara
sarana tazkiyah adalah taubat karena ia dapat meluruskan perjalanan jiwa
setiap kali melakukan penyimpangan, dan mengembalikannya kepada titik tolak
yang benar. Taubat juga bisa menghentikan laju kesalahan jiwa, sehingga Allah
melimpahkan karuniaNya kepada orang-orang yang bertaubat dengan mengubah
kesalahan-kesalahan mereka menjadi kebaikan, “kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka
diganti Allah dengan kebajikan”.
Hal
yang terpenting yang harus dilakukan ketika sesorang muslim beribadah kepada
Allah Swt adalah bertaubat dari segala dosa. Caranya dengan bertaubat dari
segala maksiat, aib, dan ketidaksempurnaan di aspek pemikiran, amal, akhlak,
dan lain sebagainya. Juga dengan cara merasa butuh kepada Allah Swt, dekat
kepada-Nya, dan keridhaan-Nya. Ini semua bisa diwujudkan dengan cara
membersihkan diri dari semua dosa dan kekurangan pada dirinya. Mengenai anjuran
bertaubat Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.
Dalam
ayat tersebut dinyatakan bahwa Allah menganjurkan setiap orang mukmin untuk
bertaubat nashuhah (hakiki). Taubat nashuhah adalah taubat yang
jujur dan serius, yang menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya dan melindungi
pelakunya dari dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya. Dilakukan dengan cara
berhenti dari dosa pada masa mendatang, menyesali dosa-dosa silamnya, dan bertekad
tidak akan mengerjakannya lagi pada masa mendatang. Dengan taubat kepada Allah
Swt maka seorang muslim telah memulai pelaksanaan tarbiyah terhadap dirinya
sendiri.
c)
Mencari Ilmu dan Memperluas Wawasan
Sarana
selanjutnya dalam tarbiyah dzatiyah adalah mencari ilmu dan memperluas
cakrawala pengetahuan, dimana ini merupakan aspek dan sarana penting dalam tarbiyah
dzatiyah yang ideal dan mengarahkannya dengan pengarahan yang benar. Sebab
bagaimana mungkin seseorang dapat mentarbiyah dirinya dengan tarbiyah yang
benar, jika tidak tahu hal halal, haram, kebenaran, kebathilan, manhaj, dan
sarana yang benar atau salah. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab berkata,
Ketahuilah, mencari ilmu itu wajib dan menyembuhkan hati yang sakit. Yang
paling penting bagi seorang hamba ialah ia tahu agamanya, dimana mengetahui dan
mengamalkannya adalah jalan masuk ke sorga.
d)
Mengerjakan Amalan-amalan Iman
Mengerjakan
amalan-amalan iman termasuk sarana yang bervariatif, sangat besar pengaruhnya
pada jiwa, karena cara ini merupakan realisasi dari perintah-perintah Allah dan
rasul-Nya. Cara ini merupakan ujian untuk mengetahui sejauh mana kejujuran
orang-orang yang mengerjakannya dalam mencari petunjuk serta beristiqamah, dan
dengan mengerjakan amalan-amalan iman ini merupakan bukti kuat keinginan ikhlas
orang yang bersangkutan dalam mentarbiyah dirinya dan memperbaikinya.
Amalan-amalan iman ini sangat bervariatif
diantaranya, mengerjakan ibadah-ibadah wajib seoptimal mungkin seperti
mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa dan mengeluarkan zakat, meningkatkan
porsi ibadah-ibadah sunnah, peduli dengan ibadah dzikir termasuk membaca
al-Qur’an.
e)
Memperhatikan Aspek Akhlak (Moral)
Pembinaan
akhlak merupakan aspek penting dalam tarbiyah dzatiyah. Islam sangat
peduli dengan aspek akhlak (moral) yang baik. Seluruh perintah, larangan,
ibadah dan ketaatan Islam membuahkan hasil positif dalam jiwa dan kehidupan
manusia. Diantara hasil terbesar akhlak terkait dengan hak Allah Swt ialah
takut kepada-Nya. Hasil positifnya terkait dengan hak manusia adalah berakhlak
baik ketika bergaul dengan mereka dan berbuat baik kepada mereka, karena agama
adalah muamalah
Allah
Swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Selanjutnya
Allah juga berfirman:
وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebaikan.
Dalam hadits Rasulullah Saw bersabda:
Artinya:
Sesungguhnya
orang mukmin pasti mendapatkan derajat orang yang puasa dan qiyamul tail
dengan akhlaknya yang baik. (Diriwayatkan Abu Dawud)
Akhlak
menjadi salah satu sarana tarbiyah dzatiyah, sekaligus tujuannya pada
saat yang sama. Oleh karena itu, setiap orang muslim harus mentarbiyah dirinya
dengan akhlak yang dianjurkan agama Islam, seperti sabar, thawadhu', dermawan
jujur dan masih banyak alagi akhlak-akhlak mulia yang harus direalisasikan dalam
kehidupan
sehari-hari.
3)
Buah Tarbiyah Dzatiyah
Jika
seorang muslim benar-benar melaksanakan pembinaan akhlak terhadap dirinya
sendiri maka ia akan memperoleh hasil atau buah dari Tarbiyah Dzatiyah.
Buah dari tarbiyah dzatiyah diantaranya:
a)
Keridhaan Allah Swt dan Surga-Nya
Jika seorang muslim melakukan tarbiyab dzatiyah
secara sempurna, dengan cara mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan
diri dari segala maksiat, maka ia akan mendapat keridhaan Allah SWT, lalu
memperoleh surga-Nya yang merupakan dambaan seluruh orang Muslim di akhirat
kelak.
Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً
فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَمَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya:
Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, dia tidak
akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu dan barang siapa
mengerjakan amal yang shalih baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam
keadaan beriman maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rizki didalamnya tanpa
hisab.
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
shalih, bagi mereka adalah surga firdaus menjadi tempat tinggal.
Tingkatan orang di surga sangat ditentukan oleh
sejauh mana tarbiyah dan tazkiyah (penyucian dirinya).
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِناً
قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُوْلَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى
Artinya:
Dan barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan
beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal shalih, maka mereka itulah
orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia).
b)
Kebahagiaan dan Ketentraman
Semua
orang mencari kebahagiaan bathin dan ketentraman jiwa. Namun, banyak dari
mereka salah jalan dalam upaya mendapatkannya dan tidak tahu jalan-jalannya.
Sebab mereka mencari kebahagiaan dan ketentraman di makanan, minuman, syahwat,
maksiat dan sebagainya. Mereka hanya mendapatkan kebahagiaan sesaat dan semu.
Allah Swt membimbing manusia untuk selalu mentarbiyah diri manusia sendiri,
sehingga buah tarbiyah yang diperoleh adalah kebahagiaan dan ketentraman
batinnya. Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya:
Barang
siapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya pasti Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.
c)
Dicintai dan Diterima Allah
Allah
Swt menjanjikan barangsiapa memperbaiki dan mentarbiyah dirinya untuk beriman,
bertakwa dan beramal shalih, ia mendapatkan cinta Allah Swt. Sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits qudsi:
Artinya :
Hamba-Ku
senantiasa mendekat kepada-Ku dengan (melakukan) ibadah-ibadah sunnah, hingga
Aku mencintainya.
Lalu,
tanpa keinginan dan pilihan orang itu mendapatkan cinta manusia, penghormatan
mereka dan Allah Swt membuat mereka menerima dirinya.
Allah
berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ
الرَّحْمَنُ وُدّاً
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan
menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang.
d)
Terjaga dari Keburukan
Allah
Swt menjaga orang Muslim dari keseluruhan musibah dunia, hal-hal yang tidak
mengenakan di kehidupan, pihak-pihak yang menginginkan keburukan baginya, yaitu
setan-setan dari kalangan manusia dan jin, bahkan menjaga dari hewan-hewan
buas, singa dan lain sebagainya.
Allah
Swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ
Artinya:
Sesungguhnya
Allah membela orang-orang yang telah beriman.
Allah
Swt juga menjaga telinga, mata, potensi akal, dan potensi fisik orang yang
bertakwa dan senantiasa melakukan tarbiyah terhadap dirinya. Ibnu Rajab
barkata: “Barang siapa menjaga Allah pada masa muda dan masa kuatnya, maka
Allah menjaganya pada masa tuanya dan ketika kekuatannya melemah, serta
memberinya kenikmatan pada telinga, mata, kekuatan, dan akalnya. Sebagai contoh
dalam hal ini ialah salah seorang ulama telah berusia lebih dari seratus tahun,
tetapi ia tetap hidup dengan kekuatan dan akal yang utuh seperti semula. Pada
suatu hari, ia melakukan loncatan keras dan ia pun dikecam karenanya. Ia
berkata, “Aku menjaga organ tubuh ini dari maksiat ketika aku masih kecil, lalu
Allah menjaganya ketika aku telah tua.” Hal ini sebagai penegasan sebagaimana
yang disebut di dalam hadits Rasulullah.
Artinya:
Jagalah
Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapatkan-Nya di
depanmu (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
e)
Jiwa Merasa Aman
Ketentraman
adalah kehidupan bagi hati, cahaya di mana ia bersinar dengannya, kebangkitan
baginya, dan kekuatan yang menguatkan tekadnya, membuatnya tegar terhadap
seluruh penderitaannya, dan mengontrol jiwa ketika tidak bersabar. Karena itu
orang mukmin semakin kuat imannya dengan ketentraman yang ada padanya.
Semua
orang di kehidupan ini pasti diliputi ketakutan-ketakutan dan duka dari semua
arah. Karena mereka tidak tahu apa yang akan diputuskan Allah Swt terhadap
dirinya dan juga tidak tahu masa depan apa yang akan ditetapkan Allah Swt.
Seorang Muslim yang telah mentarbiyah dirinya tidak akan merasa takut
dan sedih terhadap apa yang terjadi pada masa silamnya, masa kininya, dan masa
depannya. Mereka yakin bahwa Allah Swt akan memberikan rahmat pada umat-Nya dan
mengampuni dosa-dosanya. Mereka merasa aman atas rizki dan mata pencahariannya,
serta merasa aman dan ridha dengan takdir Allah karena di dalamnya terdapat
kebaikan.
Firman
Allah Swt:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula)
berduka cita.
Selanjutnya
firman Allah yang lain:
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا
إِيمَاناً مَّعَ إِيمَانِهِمْ
Artinya:
Dia
yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang Mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).
c.
Halaqah Tarbawiyah
Betapapun
tarbiyah dzatiyah merupakan faktor terpenting dalam pembinaan akhlak,
akan tetapi dalam realitas kehidupan seseorang akan menghadapi kendala yang
sangat besar untuk bisa merealisasikan tarbiyah dzatiyah.
Uniknya
hambatan yang paling besar muncul dalam diri seseorang, seperti kurangnya
disiplin, tidak konsisten, tidak jujur pada diri sendiri, lemah semangat dan
lain-lain. Maka dalam rangka merealisasikan tarbiyah dzatiyah perlu
ditopang dengan perilaku lain baik langsung maupun tidak langsung. Rasulullah
Saw memberikan isyarat tentang hal tersebut dengan sabdanya:
Artinya:
Orang
mukmin merupakan cerminan saudaranya
Selanjutnya Allah Swt berfirman:
Artinya:
Bahkan para sahabat sebagai generasi terbaik setelah Rasulullah Saw
mentradisikan pembinaan diri mereka sendiri ke arah yang lebih baik dengan
melibatkan sahabat yang lain.
Hudzaifah
Ibn Yaman pernah berkata:
Artinya:
Mari
kita duduk bersama untuk merenungkan iman kita sesaat.
Pada
umumnya setiap orang mempunyai forum dengan orang lain baik yang berkaitan
dengan bidang profesi pedagang, petani, pegawai dan lain-lain. Berbeda jika
forum yang terkait dengan kegiatan sosial, politik, keluarga dan lain-lain.
Akan tetapi sangatlah sedikit orang yang mempunyai forum internalisasi
keimanan.
Di
kalangan pengamal thariqah yang merupakan bagian dari kegiatan sebagian
kalangan tasawuf dikenal dengan adanya seorang mursyid. Seorang mursyid
biasanya menjadi rujukan para pengamal thariqah khususnya di dalam menjalankan
wirid-wirid. Bahkan idealnya seorang mursyid juga menjadi pembimbing dalam
berprilaku agar sesuai dengan akhlak al-karimah yang sering disebut dengan
suluk.
Apa yang dilakukan para pengamal thariqah dalam menghimpun diri pada
sebuah kelompok thariqah dengan bimbingan seorang mursyid jika dikaitkan dengan
beberapa hadits Nabi Saw dan tradisi yang dilakukan para sahabat dalam membina
keimanan secara jama’i (kolektif) dapat diadopsi secara massal sebagai
konsep pembinaan akhlak tasawuf dalam bentuk halaqah. Halaqah
sesuai dengan arti lughawi adalah lingkaran dimana orang menghimpun diri di
dalamnya dengan dipandu oleh seorang murabbi (pembimbing) untuk
bersama-sama membina diri mereka baik dari segi penambahan ilmu maupun
pengamalan. Inilah yang kemudian dinamakan halaqah tarbawiyah.
Kegiatan halaqah ini berbentuk pertemuan rutin minimal sekali
dalam seminggu dengan agenda kegiatan, antara lain :
1)
Tadarus al-Qur’an
2)
Pemberian materi
3)
Internalisasi materi dalam pengamalan
4)
Dialog permasalahan umat
5)
Evaluasi diri atau muhasabah
6)
Penutup
Disamping
kegiatan rutin mingguan, halaqah juga bisa mengadakan acara-acara khusus
untuk menguatkan spiritual seperti qiyamul lail bersama, buka puasa
sunnah, rihlah untuk memperkuat ukhuwah, tadabbur dan lain-lain. Intinya forum
ini tidak hanya mengkaji Islam dalam dataran wacana, akan tetapi dilanjutkan ke
arah internalisasi atau pengamalan bahkan hingga pada tataran bagaimana dakwah
pada kaumnya.
Dalam
bentuk pembinaan akhlak tasawuf, melalui halaqah akan dihasilkan
manfaat:
1)
Tertanamnya keyakinan keimanan kuat kepada aqidah dan
kebenaran Islam.
2)
Terbentuknya akhlak al-karimah secara nyata dalam wujud
perbuatan baik dalam ruang lingkup individu, keluarga dan masyarakat termasuk
di dalamnya di lingkungan kampus.
3)
Terciptanya ruh ukhuwah Islamiyah di dalam kehidupan sosial.
4)
Optimalisasi amal untuk mendakwah keislaman khususnya melalui
Qadwah atau tasawuf.
5)
Terpeliharanya kepribadian dan amal dari pelbagai pengaruh
yang bisa merusak dan melemahkannya.
6)
Mengkoreksi dan memperbaiki berbagai bentuk kesalahan dan
penyimpangan melalui tausiyah dan mau’idzah khasanah.
2.
Langkah-Langkah Pembinaan
Akhlak
Beribadah
merupakan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya (Allah Swt). Dalam mewujudkan
pengabdianya manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari segala
dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Upaya-upaya tersebut sudah banyak
dilakukan oleh mereka yang ingin dekat dengan Allah Swt. Salah satunya adalah
pembinaan akhlak yang dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada pembinaan
akhlak melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah
Tarbawiyah. Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah
pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah, musyarathah,
mujahadah dan mu’tabah, dimana cara seperti ini sebagai salah
satu sarana tazkiyatun nafs.
Manusia
yang senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah
mengawasi mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai
tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat
menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah
secara terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah secara benar),
muthalabatun nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan muhasabah
terhadap jiwa dalam segala hal dan keadaan. Barangsiapa meng-hisab dirinya
sebelum dihisab, maka akan ringan hisabnya di hari kiamat, bisa menjawab
pertanyaan yang diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang baik. Tetapi
barang siapa yang tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal selamanya, akan
lama penantiannya di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan akan menyeretnya
kepada kehinaan dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan
mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali
ketaatan kepada Allah.
Dalam
pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar bersabar dan bersiap siaga (murabathah).
FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga...” Mereka mempersiapsiagakan diri
mereka terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat),
kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah
dan mu’atabah. Inilah yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs,
yaitu upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya sebagai sarana
mendekatkan diri pada Tuhannya.
Ada
beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam bertazkiyah
yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan
serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting dijalani agar
benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan
manusia dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat
nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam maqam (tingkatan), yaitu:
a.
Musyarathah (Penetapan Syarat)
Penetapan
syarat adalah permulaan seseorang melakukan suatu kegiatan. Sebagai contoh
tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi perdagangan, ketika melakukan
perhitungan, adalah selamatkan keuntungan. Sebagaimana pedagang meminta bantuan
kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan harta kepadanya agar memperdagangkan
kemudian memperhitungkannya. Demikian pula akal, ia merupakan pedagang di jalan
akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun
nafs karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal
shalih.
Dalam
perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila dipergunakan dan dikerjakan untuk
hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana pedagang dibantu oleh sekutu dan
pembantunya yang memperdagangkan hartanya. Sebagaimana sekutu bisa menjadi musuh
dan pesaing yang memanipulasi keuntungan sehingga perlu terlebih dahulu dibuat
syarat (musyrathah), kemudian diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah)
dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabab). Demikian
pula akal memerlukan musyrathah (penetapan syarat kepada jiwa), lalu
memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan ke jalan
kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Kemudian tidak
pernah
lupa mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikannya niscaya akan terjadi
pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia harus
meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan, karena bagi manusia
keuntungan perdagangan ini adalah syurga firdaus yang tertinggi dan mencapai sidratul
munthaha bersama para nabi dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat hisab
(perhitungan) terhadap jiwa dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang
memperketat perhitungan keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina
bila dibandingkan dengan kenikmatan syurga, disamping kenikmatan dunia pasti
lenyap. Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang tidak langgeng.
Maka
menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap jiwanya,
memperketat dalam berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya.
Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh
maka hendaknya ia meluangkan hatinya untuk menetapkan syarat terhadap jiwanya
sebagaimana pedagang meluangkan pertemuan untuk menetapkan syarat-syarat kepada
sekutunya ketika ia menyerahkan barang dagangan kepadanya seraya berkata kepada
jiwa; “Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur, jika ia habis maka
habislah modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan
mencari keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo (waktu)
kepadaku, dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia
itu. Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya
Allah mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku beramal shalih.”
Seandainya jiwa manusia telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia,
maka janganlah menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang
tiada terkira nilainya. Perlu diketahui bahwa sehari semalam adalah dua puluh
empat jam, maka bersungguh-sungguhlah hari ini untuk mengumpulkan bekal dan
hindari kecenderungan pada kemalasan, kelesuan dan santai yang menyebabkan
tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin sebagaimana orang yang telah
mendapatkannya.
b.
Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah atau perasaan
diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah
(pengawasan Allah). Istilah ini diterapkan pada konsentrasi penuh waspada,
dengan segenap jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya
sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat. Dengan kata lain muraqabah
adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah).
Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah dengan
jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Bila
hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya
terdapat ‘waskat' (pengawasan melekat atau built in control) yakni
sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif
mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di
bawah pengawasan Allah seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang
artinya berikut ini:
1)
“...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4),
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf
ayat 16),
2)
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang
ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al-An’am ayat 59).
3)
(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika
ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit
atau di
dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya
Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman ayat 16).
4)
Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda,
“Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan
pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah
mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran
tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan
Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah ayat 40)
bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat cemas
musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada
diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara
Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat
pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia
berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan
menunjukiku jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi
contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni
ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar
saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal afiat karena
Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin.
Apabila
manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang
telah disebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah)
ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang
tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak.
Berikut
ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya. Tentang
keutamaan muraqabah, Jibril ‘alaihi salam pernah bertanya tentang
ihsan lalu Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah
engkau melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Hadits selanjutnya adalah “Beribadah
kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihata-Nya
tetapi Dia melihatmu” (diriwayatkan Abu Nu’aim di dalam Al- Hilyah, Hadits ini
ahsan). Kemudian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendukung keutamaan muraqabah
adalah: “Maka apakah Tuhan yang menjaga sedap diri terhadap apa yang
diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat
33), “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala
perbuatannya?” (QS. Al-Alaq ayat 14), “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’ ayat 1), “Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan
kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat 32-33).
Sebagaimana
diceritakan bahwa sebagian dari manusia bertanya tentang firman Allah: “Allah
ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS. Al-Bayianah ayat 8).
Ia menjawab maknanya: maknanya yang demikian itu bagi orang yang merasakan muraqabah
Tuhannya, meng-hisab dirinya dan membekali diri untuk akheratnya. Dzun Nun
pernah ditanya: dengan apakah seorang hamba mencapai syurga? Ia menjawab:
“Dengan lima hal yaitu, istiqamah yang tidak mengandung kelicikan, keseriusan
yang tidak disertai kelalaian, muraqabatullah ta’ala dalam sunyi dan
keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan terhadapnya, dan
memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia,
dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia
merasakan muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan niat, perbuatan
yang baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah melakukan muraqabah.
Jika ia sedang duduk misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat
mengingat sabda Rasullullah SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap
kiblat” (Di riwayatkan oleh Al- Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan
menghadap kiblat dengan tetap menjaga semua adabnya. Semua itu masuk dalam
muraqabah. Bahkan sekalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga
adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah.
Seorang
hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan
atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan
ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai cacat.
Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya ialah dengan taubat, melepaskan,
malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya
ialah dengan menjaga adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam
kenikmatan yang didapat dan mensyukurinya.
Dalam
semua keadaan, seorang hamba tidak tidak terlepas dari ujian yang harus
disikapinya dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu
adalah muraqabah. Bahkan dalam keadaannya, seorang hamba tidak terlepas
dari fardhu Allah kepadanya yang harus dilaksanakan, atau larangan yang harus
dihindarinya, atau anjuran yang yang dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera
mendapatkan ampunan Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang
mubah yang memberikan kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi
dukungan terhadap ketaatannya. Masing- masing dari hal tersebut memiliki
batasan-batasan yang harus dijaga dengan senantiasa muraqabah: “Dan
barang siapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat
zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba harus
mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika telah
menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan maka
hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan
tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia adalah orang
yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai keutamaan yang
istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian dunianya untuk
akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang
kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.
c.
Muhasabah (Intropeksi)
1)
Hakekat Muhasabah
Muhasabah adalah
menganalisa terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah
juga berarti usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa
banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum
dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa
gerakan hati yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab dirinya
sendiri sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan.
Jadi
muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa
segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib
dan Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar
dapat bergegas memperbaiki diri.
Arti
muhasabah terhadap mitra usaha ialah meninjau modal, keuntungan dan
kerugian, untuk mencari kejelasan apakah bertambah atau berkurang. Jika
didapatinya bertambah maka pedagang tersebut mensyukurinya tetapi jika
didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan menjaminnya dan berusaha
mendapatkannya di masa mendatang. Demikian pula modal hamba dalam agamanya
adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai amal sunnah dan
keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.
2)
Keutamaan Muhasabah
Berikut
ini adalah keutamaan muhasabah. Tentang keutamaan muhasabah,
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18). Ini adalah isyarat kepada muhasabah
terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan. Oleh karena itu Umar ra berkata,
“hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah dia sebelum kamu
ditimbang.”
Seoarang
hamba memulai muhasabahnya. dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana
dalam firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat 31). Taubat
adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah dikerjakan. Nabi SAW
bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada
Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”
Dalam
ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka
ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga
mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra
bahwa ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut seraya
berkata pada dirinya; “Apakah yang telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun
bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang hamba tidak termasuk golongan muttaqin
sehingga dia menghisab dirinya lebih keras ketimbang muhasabahnya
terhadap mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi
dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi
orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia, dan akan menjadi berat
pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”
Tentang
firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya
sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan
ini akan dapat mendorong seseorang untuk mengevaluasi atau memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga perbuatan yang akan
dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah keutamaan muhasabah.
d.
Mu’aqabah (Menghukum Diri Atas Segala Kekurangan
)
Selain
sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, maka
perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab
(menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a
terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah
dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak
engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat
dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia
merasa ketertambatan harinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera
mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya
tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah
ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat
burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya,
subhanallah.
Betapapun
manusia telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali dari
kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia
tidak pantas mengabaikannya, jika ia mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh
melakukan kemaksiatan, jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit
untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus
diberi sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka
seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan
muhrimnya maka seharusnya mata dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula
setiap anggota tubuhnya dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami
menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya tidak khusu’ karena
memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan kebunnya
sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan
cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini?
Demikian
pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang
mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak
buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan
manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak
mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan
musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir
mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah
kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada
ujungnya. Tetapi nafsu itulah yang mengeruhkan kehidupan akherat manusia
sehingga dia lebih pantas mendapatkan sanksi (mu’aqabah) ketimbang yang
lainnya.
e.
Mujahadah (Bersungguh-Sungguh)
Mujabadah adalah upaya
keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi
segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya.
Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan
saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk
mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur
kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa
pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun
ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan
mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajudnya. Kaki
beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika bukankah sudah
diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang. Beliau
menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang senantiasa
bersyukur)?”
Diriwayatkan dari seseorang dari sahabat ‘Ali bin
Abi Thalib ra bahwa ia berkata: “aku pernah shalat shubuh di belakang ‘Ali ra.
Ketika salam, Ia menoleh kesebelah kanannya dengan sedih hati lalu diam hingga
terbit matahari kemudian membalik tangannya seraya berkata: “Demi Allah, aku
melihat para shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang
menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka
melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca
kitab Allah dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka, apabila menyebut
Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin, mata mereka
mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang sekarang
seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).”
Demikian peri kehidupan generasi salaf yang shalih
dalam mensiapsiagakan jiwa dan mengawasinya (murabathah dan muraqabah).
Sehingga mereka dapat bermujahadah melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.
f.
Mu’atabah (Mencela Diri)
Terakhir
dari tingkatan murabathah ini adalah Mu’atabah. Mu’atabah
mengandung arti perlunya memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana
proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan
baik.
Dalam
melakukan mu’atabah adalah mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh
bebuyutan dalam diri manusia adalah nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia
diciptakan dengan karakter suka memerintahkan pada keburukan, cenderung pada
kejahatan, dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar mensucikan,
meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah kepada
Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya dan menyapihnya dari berbagai
kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti merajalela dan liar sehingga
manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu. Jika manusia senantiasa
mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan menjadi nafsu lawwamah
(yang amat menyesali dirinya) yang dipergunakan oleh Allah untuk bersumpah, dan
manusia tidak berharap menjadi nafsu muthma’innah (yang tenang) yang
mengajak untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan
diridhai. Maka hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk
mengingatkannya, dan hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain jika
ia tidak sibuk terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri.
Allah
berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat ayat 55). Jalan
yang harus manusia tempuh adalah berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan
akan kebodohan dan kedunguannya, janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan
“petunjuknya”. Firman Allah yang berbunyi: “Telah dekat kepada manusia hari
menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi
berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun
yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang
mereka bermain-main (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’
ayat 1-3).
Demikian
cara orang-orang ahli ibadah dalam bermunajat kepada Sang Penolong mereka yaitu
Allah SWT. Tujuan munajat mereka adalah mencari ridha-Nya dan maksud
celaan mereka adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang
mengabaikan mu’atabah (celaan terhadap diri) dan munajat berarti
ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak mendapatkan ridha Allah.
Sunday, January 06, 2013
|
Labels:
akhlak tasawuf,
pendidikan
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
about me
Ley's. Powered by Blogger.
Blog Archive
-
▼
2013
(39)
-
▼
January
(31)
- Manusia dan Optimisme
- PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF FILSA...
- Agama Dan Lingkungan
- Teori dan Studi Kepemimpinan
- Kepemimpinan Umar bin Khattab Khalifah Ke-Dua (634...
- Peran, Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah
- HUBUNGAN SYARI’AH & TASAWUF
- HAKEKAT PEMBINAAN AKHLAK TASAWUF
- KOMPONEN AKHLAK TASAWUF
- LATAR BELAKANG TIMBULNYA STUDI TENTANG AKHLAK TAS...
- SUMBER-SUMBER AKHLAK TASAWUF
- PEMBAHASAN TASAWUF
- PEMBAHASAN AKHLAK
- Pentingnya Akhlak
- Akhlak Di Kampus Menurut Agama, Etika, dan Budaya
- PEMBENTUKAN AKHLAK TERPUJI KEPADA ANAK
- Pendidikan Karakter
- Makalah Intelegensi
- PENDIDIKAN MORAL DALAM DUNIA PENDIDIKAN
- HADIS DAN PENGERTIANNYA
- Fungsi dan Jenis Lingkungan Pendidikan
- KURIKULUM SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM MADRASAH IBTID...
- Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang STANDAR PRO...
- Pengelolaan Pendidikan Taman Kanak-kanak
- PANDUAN KELOMPOK MATA PELAJARAN AGAMA DAN AKHLAK M...
- MANUSIA PARIPURNA
- ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME
- Makalah Rasa Agama
- Akhlak
- ADMINISTRASI KURIKULUM
- ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
-
▼
January
(31)
0 comments:
Post a Comment