Makalah Rasa Agama
BAB I
PENDAHULUAN
Rasa
agama menurut Clark adalah pengalaman batin dari seseorang ketika ia merasakan
adanya tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk
perilaku, yaitu ketika ia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan
tuhan. Sementara itu, rasa agama menurut Dra. Susilaningsih adalah kristal-kristal
rasa agama yang ada dalam diri manusia sebagai produk dari proses internalisasi
nilai nilai agama melalui proses mengalami, continue, konsisten dan
berkesinambungan. Penanaman nilai-nilai keagamaan menyangkut konsep tentang
ketuhanan, semenjak usia dini mampu membentuk religiositas anak yang mengakar
secara kuat dan mempunyai pengaruh sepanjang hidup. Hal ini dikarenakan pada
usia tersebut, anak belum mempunyai konsep yang dasar yang dapat digunakan
untuk menolak maupun menyetujui segala sesuatu yang masuk pada dirinya. Namun
memasuki usia remaja, kognisinya mulai berkembang dan tidak begitu saja
menerima segala sesuatu yang diberikan padanya.
Makalah
ini akan membahas tentang kasus penurunan religiositas seorang anak yang
dulunya waktu kecil sangat religious, rajin mengaji dan beribadah kemudian
menginjak masa remaja anak tersebut merasakan kehambaran dalam hatinya dan
merasakan ibadahnya tidak bermakna. Di dalamnya juga akan dibahas faktor-faktor
yang menyebabkan sang anak menjadi rajin mengaji dan beribadah serta faktor
yang menyebabkan sang anak mengalami penurunan dan kehambaran saat menginjak
usia remaja. Untuk pembahasan lebih lanjut, akan dipaparkan dalam makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik Religiositas Usia
Anak
Perkembangan religiositas pada anak memiliki ciri
khas tersendiri. Clark menyampaikan delapan karakteristik Religiositas anak,
yaitu:
- Ideas Accepted on Authority
Semua
pengetahuan yang dimiliki anak terutama berasal dari orang tuanya.[1]
Nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua dengan sendirinya akan melekat
pada diri anak. Dalam hal ini orang tua memiliki otoritas yang penting untuk
membentuk religiositas anak.
- Unreflective
Anak
menerima konsep keagamaan berdasarkan otoritas, maka jarang terdapat anak yang
melakukan perenungan terhadap konsep keagamaan yang diterima.
- Egocentric
Anak
melihat lingkungannya dengan berpusat pada kepentingan dirinya, oleh karenanya
maka pendidikan agama sebaiknya dikaitkan dengan kepentingan sang anak.
- Antromorphic
Sifat
anak yang mengaitkan sesuatu yang abstrak dengan manusia. Hal ini terjadi
karena lingkungan anak yang pertama adalah manusia, sehingga manusialah yang
dijadikan sebagai ukuran. Dalam pengenalan sifat-sifat Tuhan terhadap anak
sebaiknya ditekankan tentang parbedaan sifat manusia dengan sifat Tuhan.
- Verbalized and ritualistic
Perilaku
keagamaan pada anak, baik yang menyangkut ibadah maupun moral, baru bersifat
lahiriyah, verbal dan ritual, tanpa ada keinginan untuk memahami maknanya. Anak
sekedar meniru dan melakukan apa yang dilakukan dan diajarkan oleh orang
dewasa. Tetrapi bila perilaku keagamaan itu dilakukan secara terus menerus dan
penuh minat akan membantuk suatu rutinitas perilaku yang sulit ditinggalkan.
Pada waktu anak memasuki usia remaja baru muncul keinginan untuk mengetahui
makna dan fungsi dari apa yang selama ini dilakukan. Oleh karena itu pendidikan
agama perlu menekankan pembiasaan perilaku dan pembentukan minat untuk
melakukan perilaku keagamaan.[2]
- Imitative
Sifat
dasar anak dalam melakukan perilaku sehari-hari adalah menirukan apa yang ada
dalam lingkungannya. Hal ini juga berlaku dalam hal keagamaan, anak mampu
memilki perilaku keagamaan karena menyerap secara terus menerus perilaku keagamaan
dari orang-orang terdekat yang berada disekitarnya, terutama orang tua, keluarga,
dan orang terdekat lainnya. Oleh karena itu, menempatkan anak dalam lingkungan
beragama menjadi prasyarat terbentuknya rasa agama anak.
- Spontaneous in some respect
Kadang-kadang muncul perhatian
secara spontan terhadap masalah keagamaan yang sifatnya abstrak.
- Wondering
Wondering
merupakan sejenis takjub yang menimbulkan rasa gembira dan heran terhadap dunia
baru yang ada didepannya.
B.
Karakteristik Rasa Agama Pada Usia
Remaja
1.
Religious awakening, yakni minat
beragama atau kebangkitan rasa agama. Secara potensi, remaja sudah menginginkan
adanya hubungan dengan suatu hal yang besar yang ada di luar dirinya, yang
dapat menenangkan dan melindungi dirinya.
2.
Individualistic, yakni suatu sikap mementingkan
diri sendiri.
3.
Sintesis,
yaitu mengkorelasikan pada kontesktual atau kemampuan mengintegrasikan sesuatu.
Bagi pendidik, hendaknya untuk memberikan materi agama bagi remaja dengan
menggunakan konsep yang luas, dan mengaitkan dengan bidang ilmu lain.
4.
Konvensional, yakni agama bersifat sufi,
bagaimana berhubungan dengan Tuhan.
5.
Maknawi, yaitu bersifat maknawi atau
nilai-nilai inti dari sesuatu. Jika pada usia anak adalah harfiah maka pada
remaja adalah lebih dalam lagi yaitu mengungkap makna misalnya makna dari suatu
baacaan, misal makna sholat.
6. Reflektif
Pada
awal masa usia, remaja mulai berlaku sesuai dengan hati nuraninya, dorongan
untuk menentukan sendiri pilihan pilihan perilakunya dan mulai terlepas dari
arahan orang tua. Remaja tidak suka lagi berperilaku sesuai dengan aturan orang
tua-nya. Masa remaja adalah masa pemberontakan. Pada masa itulah hati nurani
mulai mengambil peran dalam menentukan perilaku remaja, dan rasa tanggung jawab
atas segala akibat dari perilakunya.
7.
Agama menjawab persoalan pribadi
Menurut
harrold, remaja memerlukan agama karena masa remaja adalah masa stram and
unsecurity (bergelora dan tidak aman). Akan tetapi realitanya remaja tidak
menyukai hal hal yang bersifat keagamaan, hal ini dikarenakan agama tidak
menjawab kebutuhan dan persoalan remaja. Agama menjadi tidak mampu mengatasi
dan menjawab kebutuhan serta persoalan remaja karena penyampaian materi agama
yang tidak sesuai dengan masanya, sehingga pemahaman remaja menjadi berbeda dan
tidak sesuai dengan pemahaman yang seharusnya. Selain itu pula, disebabkan
karena kurangnya rasa dekat antara dirinya dengan tuhannya, yang dilatar
belakangi karena kurangnya komunikasi antara ia dengan tuhannya melalui ritual
keagamaan. Kebiasaan pendidik yang hanya sekedar memberikan materi keagamaan
secara kongkrit, membuat remaja menjadi kurang memaknai agama, sehingga membuat
kristal rasa agama dalam dirinya lemah.
9.
Agama
dan kelompok sosial
Pada
hakikatnya, remaja sudah membutuhkan teman sebaya yang dekat dengan dirinya
(rumah kedua) sebagai tempat berekspresi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Kelompok social ini dapat mempengaruhi rasa agamanya, karena melalui kelompok
sosial ini ia akan mengetahui apakah perilakunya diterima atau ditolak oleh lingkungannya,
sehingga nantinya akan menimbulkan motivasi untuk berperilaku sesuai dengan
yang dapat diterima oleh lingkungannya.
10. Religious Doubt
Religious
doubt atau religious questioning, yakni mempertanyakan segala sesuatu hal
mengenai keyakinannya. Remaja mempertanyakan masalah “child religious belief”
terutama masalah inconsistencies antara nilai agama dengan realita, pengetahuan
dan pengalaman yang menggelisahkan. Religious doubt terjadi disebabkan karena
kognisi remaja sudah mulai berkembang, sehingga pada usia remaja, seseorang
menjadi banyak bertanya, karena pada dasarnya pada usia anak-anak hal-hal yang
bersifat keagamaan masuk melalui proses tanpa tanya, bersifat doktriner,
rutinitas, kongkrit dan tanpa referensi yang mana kebanyakan merupakan otoritas
dari orangtua.
11. Conversi, yaitu kepemilikan rasa agama
dapat datang secara cepat (conversi) atau dengan melalui perkembangan.
C.
Konflik dan Keraguan Pada Masa
Remaja
W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu antara
lain adalah faktor:
1. Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis
kelamin.
Perbedaan
jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan
agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangan, lebih cepat
menunjukan keraguan dari pada remaja pria.
2. Kesalahan
Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Ada
berbagai lembaga keagamaan, organisasi dan aliran keagamaan yang kadang-kadang
menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. Pengaruh ini dapat
menajdi penyebab timbulnya keraguan para remaja.[3]
3. Pernyataan
Kebutuhan Manusia
Manusia
memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curitosity (dorongan ingin tahu).
Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia,
karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal.[4]
6.
Kebiasaan
Seseorang
yang terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya maka akan ragu
menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.
5.
Pendidikan
Dasar pengetahuan yang
dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimiliknya akan mempengaruhi
sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang berpendidikan dan terpelajar akan
cenderung lebih kritis terhadap ajaran agamanya, terutama yang banyak
mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka mempunyai
kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya itu secara lebih rasional.
D.
Kasus
Kasus
yang akan saya angkat adalah mengenai diri saya sendiri. Dahulu sewaktu saya
kecil, kira-kira umur 5-6 tahun, saya
mulai mengaji ke masjid. Setiap seminggu 2 kali, yaitu hari senin dan
kamis. Setiap akan mengaji, saya selalu diantar jemput oleh ayah/ibu saya. Saya
senang sekali mengaji dimasjid, karena disana saya bisa bertemu dengan
teman-teman dan terutama karena ustad ustadzahnya ramah dan baik hati.
Disamping ramah, saya juga sudah kenal baik dengan mereka karena rumah kami
yang berdekatan, sehingga saya sudah menganggap seperti kakak atau saudara saya
sendiri. Ada salah satu ustadzah yang saya kagumi, namanya ustadzah
Purwaningsih, tetapi saya biasa memanggilnya mbak Ning. Saya sangat
mengagumi beliau, karena beliau adalah sosok wanita yang sangat religious,
ramah, dan baik hati. Hingga setiap saya mengaji iqro’, saya selalu minta
diajari oleh mbak Ning. Sebenarnya dengan ustadzah siapapun saya mau, tetapi
saya lebih senang apabila mbak Ning yang mengajari saya mengaji iqro’. Saya
sangat senang mengaji bersama mbak Ning, kesabaran beliau membuat saya nyaman
dan semakin mengagumi beliau. Beliau juga sering mengajari hal-hal yang baik kepada
saya. Dimasjid, saya diajari banyak hal, seperti mengaji iqro’, latihan wudhu,
solat, berdoa, dan lain-lain. Disamping itu, saya juga diajari menyanyi
lagu-lagu islami oleh ustad dan ustadzah saya. Waktu itu saya rajin sekali
mengaji ke masjid, kira-kira hingga umur 11 tahun atau kelas 6 Sekolah Dasar.
Prestasi saya mengajipun dapat dikatakan cukup baik, karena ketika saya berumur
kira-kira 9 tahun, saya pernah diutus mewakili TPA Ash-Shaffaat (nama TPA di
daerah saya) untuk mengikuti lomba CCA (Cerdas Cermat Agama). Waktu itu saya
tidak sendiri, tetapi juga ditemani 2 teman saya. Demi meraih suksesnya
perlombaan itu, setiap sore saya dan teman saya selalu latihan dibimbing oleh
ustadzah saya yang bernama mbak Ning dan mbak Baryanti, Beliau berdua
ini sangat sabar dan penuh semangat dalam membimbing kami. Setelah berjalan 1
minggu, akhirnya hari perlombaan pun tiba, dan akhirnya saya dan teman saya
berhasil meraih juara I ditingkat kabupaten. Saya sangat gembira, karena waktu
itu baru pertama kali saya mengikuti lomba CCA. Karena meraih juara I ditingkat
kabupaten, saya dan teman saya berhak maju ke tingkat provinsi. Menjelang
perlombaan tersebut, saya dan teman saya semakin intensif dalam berlatih,
dibimbing oleh mbak Ning dan mbak Baryanti. Frekuensi bertemu saya dengan mbak
Ning semakin sering terjadi, hal itu membuat saya semakin menyayangi dan
mengagumi mbak Ning. Setiap sore kami selalu dilatih dan dibimbing oleh mbak
Ning dan Mbak Baryanti. Hingga hari perlombaanpun tiba, dan kesuksesan itupun
terulang kembali, saya dan teman saya berhasil mengalahkan pesaing-pesaing dari
berbagai TPA, dan menjadi juara pertama ditingkat provinsi. Saya sangat senang
sekali, akhirnya kami bisa menjadi juara pertama. Mbak Ning dan mbak Baryanti
yang selama ini membimbing kamipun sampai mengangis terharu menyaksikan
perjuangan kami. Rasa kagum dan sayang saya terhadap mbak Ning semakin besar,
dan saya semakin dekat dengan beliau. Semakin dekatnya saya dengan mbak Ning,
membuat saya semakin bersemangat untuk mengaji dimasjid. Tanpa disuruh oleh
orang tua sayapun, saya langsung berangkat mengaji dimasjid. Saya waktu itu
rajin solat dan rajin mengaji. Orang tua saya dapat dikatakan tergolong biasa
saja dan tidak terlalu religious, tetapi ayah dan ibu selalu membimbing dan memberikan
contoh perbuatan-perbuatan yang baik kepada saya. Beliau sangat senang melihat
saya rajin solat dan mengaji.
Menjelang
masuk SMP, saya mulai jarang mengaji dimasjid. Sewaktu kelas I SMP kadang-kadang
saya masih mengaji ke masjid, tetapi tidak serajin dulu. Tetapi mulai masuk kelas II SMP, saya
sudah sangat jarang mengaji dimasjid. Mungkin karena teman dimasjid masih
kecil-kecil seumuran TK dan SD, saya menjadi malu karena paling besar sendiri
dan tidak ada teman yang sebaya dengan saya. Ustad dan ustdzahnya juga tidak
seperti dulu lagi, sudah banyak yang tidak mengajar lagi dimasjid, termasuk
mbak Ning, beliau sudah tidak mengajar lagi karena sudah menikah dan mengikuti
suaminya, sehingga tidak sempat untuk mengajar TPA dimasjid. Saya juga merasakan
hambar pada diri saya, tidak seperti dulu, waktu kecil saya rajin mengaji dan
rajin solat, tetapi menginjak usia remaja tidak semakin rajin mengaji tetapi
malah semakin jarang mengaji. Saya juga belum bisa merasakan nikmatnya
menjalankan ibadah solat, belum bisa merasakan kenikmatan dan kenyamanan batin.
Hal itu saya rasakan ketika usia SMP kira-kira awal kelas III SMP. Ketika usia
ini, bisa dikatakan saya mengalami keragu-raguan agama. Saya merasakan
kehambaran dalam hati saya.
E.
Analisa Kasus
Kasus
diatas adalah kasus seorang anak (dalam hal ini saya) yang dulu waktu kecil
rajin mengaji dan beribadah, padahal orang tuanya tergolong biasa saja dan
tidak terlalu religious, kemudian memasuki usia remaja terjadi penurunan
menjadi jarang mengaji dan merasakan bahwa ibadahnya belum terasa bermakna.
Berdasarkan kasus diatas, salah satu faktor yang mempengaruhi sang anak menjadi
rajin mengaji yaitu karena termotivasi ustadzahnya yang ramah dan baik hati.
Sang anak juga mengagumi salah satu ustadzahnya yang bernama mbak Ning, yang
kemudian dijadikannya sebagai idola karena sosok mbak Ning yang religious,
sabar, dan ramah. Hubungan sang anak dengan ustadzah idolanya juga tergolong
dekat, dan bahkan bisa dikatakan sangat erat.
Karakteristik
religiositas yang seperti ini termasuk dalam kategori imitative (meniru
orang –orang disekitarnya). Dalam hal ini, yang ditiru sang anak adalah
ustadzah idolanya, yaitu mbak Ning. Sang anak sangat mengidolakan dan mengagumi
mbak Ning hingga menjadikannya semakin bersemangat dan rajin mengaji. Sang anak
mengidolakan beliau karena keramahannya, kesabarannya, kebaikannya, dan
kereligiusannya dalam beragama, hingga membuatnya kagum dan ingin menjadi seperti beliau. Sang ustadzah
juga selalu mengajarkan hal-hal yang baik kepada sang anak, sehingga lama
kelamaan sikap-sikap yang baik tersebut tertanam dalam diri sang anak. Beliau
juga mengajarkan sholat dan berdoa, serta mengajari iqro’, sehingga menjadikan
sang anak rajin sholat dan mengaji. Dapat dikatakan bahwa sang anak mampu
memiliki perilaku keagamaan karena menyerap secara terus menerus perilaku
keagamaan dari orang-orang terdekat yang berada disekitarnya, dalam hal ini
orang terdekatnya adalah sang ustadzah idolanya, yaitu mbak Ning.
Memasuki
usia remaja, yakni kelas II-III SMP, sang anak mengalami penurunan sikap
keagamaan, yaitu menjadi jarang mengaji dan merasakan kehambaran dalam
ibadahnya. Dari kasus diatas disebutkan bahwa sang anak menjadi jarang mengaji
karena teman-temannya yang usianya lebih muda (seumuran TK, SD) sehingga
menjadikannya malu karena menjadi paling besar sendiri, dan mbak Ning yang
sudah tidak mengajar lagi di TPA karena sudah menikah dan mengikuti suaminya. Sang
anak juga merasakan kehambaran dalam hatinya, belum bisa merasakan kenikmatan
dalam solatnya. Hal ini bisa disebabkan karena perubahan kognisinya, yang dulu
waktu kecil hanya bersifat verbalistik dan ritualistic, sesuai dengan teori
karakteristik keagamaan pada usia anak, yaitu ibadahnya baru bersifat
lahiriyah, verbal dan ritual, tanpa ada keinginan untuk memahami maknanya. Sang
anak sekedar meniru dan melakukan apa yang dilakukan dan diajarkan oleh orang
dewasa. Pada waktu anak memasuki usia remaja baru muncul keinginan untuk
mengetahui makna dan fungsi dari apa yang selama ini dilakukannya. Seperti yang
dipaparkan dalam teori diatas bahwa salah satu karakteristik rasa agama pada
usia remaja adalah pemahamannya mulai bersifat maknawi atau nilai-nilai inti
dari sesuatu. Jika pada usia anak adalah harfiah maka pada remaja adalah lebih
dalam lagi yaitu mengungkap makna misalnya makna dari suatu baacaan sholat. Namun,
keinginan itu belum dapat tersalurkan dikarenakan kondisi orang tua sang anak
yang tidak terlalu religious, sehingga menjadikannya hambar dan tidak bisa
mengetahuinya melalui orang tuanya. Suasana rumah yang biasa saja juga dalam
arti tidak terlalu religious juga berpengaruh dalam hal ini. Kehambaran
tersebut juga disebabkan oleh faktor yang lain, yaitu faktor pendidikan. Di
bangku SMP, sang anak masih mendapati pelajaran agama yang terkesan verbal,
doktriner dan kaku, belum bisa bersifat maknawi, sehingga menjadikannya hambar
dan tidak merasakan nikmat dalam ibadah yang dilakukannya. Faktor-faktor itulah
yang menjadikan sang anak mengalami penurunan sikap keagamaan dan merasakan
keraguan dalam beragama. Hal ini tentu sesuai dengan teori yang telah
disebutkan diatas bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keraguan agama pada
usia remaja adalah faktor pendidikan. Seiring bertambahnya usia, pengetahuan yang
dimiliki seseorang akan semakin berkembang,
dan hal itu akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Dia ingin
mengetahui makna dari segala ibadah yang dilakukan, dengan kata lain ingin
mengetahui agama secara maknawi, bukan hanya bersifat verbal dan doktriner yang
lebih terkesan kaku.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penurunan
rasa keagamaan dan keraguan yang dialami seorang anak karena adanya perbedaan
karakteristik keagamaan antara usia anak dan remaja, yang masing-masing
memiliki ciri khas tersendiri. Religiositas pada usia anak bersifat imitative,
yaitu meniru perilaku orang-orang terdekat yang ada disekitarnya, sehingga
ajaran keagamaannya lebih bersifat verbal dan ritualistic, ibadahnya baru
bersifat lahiriyah, verbal dan ritual, tanpa ada keinginan untuk memahami
maknanya. Memasuki usia remaja, kognisi seseorang mulai berkembang, dia mulai
ingin memahami agama secara maknawi, bukan bersifat verbal dan doktriner, dia
ingin lebih mengetahui makna dari apa yang dilakukannya. Hal itu mengakibatkan
seseorang mengalami keraguan dalam agamanya (religious doubt), yang salah satu
faktor penyebabnya adalah faktor pendidikan. Saat memasuki usia SMP, kognisi
seseorang mulai berkembang dan ingin mengetahui ajaran agama yang lebih
bersifat maknawi, namun yang didapati adalah pelajaran di SMP yang masih
bersifat verbal, doktriner, dan kaku, sehingga seseorang tersebut merasakan
adanya kehambaran dalam hatinya karena belum bisa menemukan makna dari ibadah
yang dilakukannya.
DAFTAR
PUTAKA
Darajat, Zakiah. 1970.
Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Jalaluddin. 2002.
Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Susilaningsih.
1994. Makalah Perkembangan Religiositas
Pada Usia Anak. Yogyakarta
Akbar,
Almas. Rasa Agama. http://almasakbar45.blogspot.com/2011/05/rasa
agama.html, diakses tanggal 1 Januari 2012, pukul 15.43 WIB
Birawa,
Pamungkas. Perkembangan Rasa Agama dan Implikasinya terhadap Pendidikan,http://pamungkasbirawa.wordpress.com/2011/01/30/perkembangan-rasa-agama-dan-implikasinya-terhadap-pendidikan-agama-islam/,diakses
tanggal 26 Desember 2011 pukul 16.59 WIB
Mahardika.
Rasa Agama Pada Remaja, http://sapikebo0
mahardika.blogspot.com /2011/11/rasa-agama-pada-remaja_23.html,
diakses tanggal 26 Desember 2011 pukul 17.02 WIB
Vionardi. Perkembangan
Religiositas Pada Usia Anak dan Implikasinya dalam PAI, http://vionardi.wordpress.com/2011/04/03/perkembangan-religiousitas-pada-usia
anak-dan-implikasinya-dalam-pai/, diakses tanggal 26
Desember 2011 pukul 17.07 WIB
[1] Susilaningsih. Makalah Perkembangan Religiositas Pada Usia
Anak. Yogyakarta, 1994, hal. 2
[2] Ibid., hal.4
[4] Almas Akbar, Rasa Agama, http://almasakbar45.blogspot.com/2011/05/rasa-agama.html,
diakses tanggal 1 januari 2012 pukul 15.43 WIB
Sunday, January 06, 2013
|
Labels:
psikologi
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
about me
Ley's. Powered by Blogger.
Blog Archive
-
▼
2013
(39)
-
▼
January
(31)
- Manusia dan Optimisme
- PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF FILSA...
- Agama Dan Lingkungan
- Teori dan Studi Kepemimpinan
- Kepemimpinan Umar bin Khattab Khalifah Ke-Dua (634...
- Peran, Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah
- HUBUNGAN SYARI’AH & TASAWUF
- HAKEKAT PEMBINAAN AKHLAK TASAWUF
- KOMPONEN AKHLAK TASAWUF
- LATAR BELAKANG TIMBULNYA STUDI TENTANG AKHLAK TAS...
- SUMBER-SUMBER AKHLAK TASAWUF
- PEMBAHASAN TASAWUF
- PEMBAHASAN AKHLAK
- Pentingnya Akhlak
- Akhlak Di Kampus Menurut Agama, Etika, dan Budaya
- PEMBENTUKAN AKHLAK TERPUJI KEPADA ANAK
- Pendidikan Karakter
- Makalah Intelegensi
- PENDIDIKAN MORAL DALAM DUNIA PENDIDIKAN
- HADIS DAN PENGERTIANNYA
- Fungsi dan Jenis Lingkungan Pendidikan
- KURIKULUM SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM MADRASAH IBTID...
- Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang STANDAR PRO...
- Pengelolaan Pendidikan Taman Kanak-kanak
- PANDUAN KELOMPOK MATA PELAJARAN AGAMA DAN AKHLAK M...
- MANUSIA PARIPURNA
- ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME
- Makalah Rasa Agama
- Akhlak
- ADMINISTRASI KURIKULUM
- ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
-
▼
January
(31)
0 comments:
Post a Comment