Makalah Rasa Agama


  BAB I
PENDAHULUAN
Rasa agama menurut Clark adalah pengalaman batin dari seseorang ketika ia merasakan adanya tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika ia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan tuhan. Sementara itu, rasa agama menurut Dra. Susilaningsih adalah kristal-kristal rasa agama yang ada dalam diri manusia sebagai produk dari proses internalisasi nilai nilai agama melalui proses mengalami, continue, konsisten dan berkesinambungan. Penanaman nilai-nilai keagamaan menyangkut konsep tentang ketuhanan, semenjak usia dini mampu membentuk religiositas anak yang mengakar secara kuat dan mempunyai pengaruh sepanjang hidup. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut, anak belum mempunyai konsep yang dasar yang dapat digunakan untuk menolak maupun menyetujui segala sesuatu yang masuk pada dirinya. Namun memasuki usia remaja, kognisinya mulai berkembang dan tidak begitu saja menerima segala sesuatu yang diberikan padanya.
Makalah ini akan membahas tentang kasus penurunan religiositas seorang anak yang dulunya waktu kecil sangat religious, rajin mengaji dan beribadah kemudian menginjak masa remaja anak tersebut merasakan kehambaran dalam hatinya dan merasakan ibadahnya tidak bermakna. Di dalamnya juga akan dibahas faktor-faktor yang menyebabkan sang anak menjadi rajin mengaji dan beribadah serta faktor yang menyebabkan sang anak mengalami penurunan dan kehambaran saat menginjak usia remaja. Untuk pembahasan lebih lanjut, akan dipaparkan dalam makalah ini.





BAB II
PEMBAHASAN

A.              Karakteristik Religiositas Usia Anak
Perkembangan religiositas pada anak memiliki ciri khas tersendiri. Clark menyampaikan delapan karakteristik Religiositas anak, yaitu:
  1. Ideas Accepted on Authority
Semua pengetahuan yang dimiliki anak terutama berasal dari orang tuanya.[1] Nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua dengan sendirinya akan melekat pada diri anak. Dalam hal ini orang tua memiliki otoritas yang penting untuk membentuk religiositas anak.
  1. Unreflective
Anak menerima konsep keagamaan berdasarkan otoritas, maka jarang terdapat anak yang melakukan perenungan terhadap konsep keagamaan yang diterima.
  1. Egocentric
Anak melihat lingkungannya dengan berpusat pada kepentingan dirinya, oleh karenanya maka pendidikan agama sebaiknya dikaitkan dengan kepentingan sang anak.
  1. Antromorphic
Sifat anak yang mengaitkan sesuatu yang abstrak dengan manusia. Hal ini terjadi karena lingkungan anak yang pertama adalah manusia, sehingga manusialah yang dijadikan sebagai ukuran. Dalam pengenalan sifat-sifat Tuhan terhadap anak sebaiknya ditekankan tentang parbedaan sifat manusia dengan sifat Tuhan.
  1. Verbalized and ritualistic
Perilaku keagamaan pada anak, baik yang menyangkut ibadah maupun moral, baru bersifat lahiriyah, verbal dan ritual, tanpa ada keinginan untuk memahami maknanya. Anak sekedar meniru dan melakukan apa yang dilakukan dan diajarkan oleh orang dewasa. Tetrapi bila perilaku keagamaan itu dilakukan secara terus menerus dan penuh minat akan membantuk suatu rutinitas perilaku yang sulit ditinggalkan. Pada waktu anak memasuki usia remaja baru muncul keinginan untuk mengetahui makna dan fungsi dari apa yang selama ini dilakukan. Oleh karena itu pendidikan agama perlu menekankan pembiasaan perilaku dan pembentukan minat untuk melakukan perilaku keagamaan.[2]
  1. Imitative
Sifat dasar anak dalam melakukan perilaku sehari-hari adalah menirukan apa yang ada dalam lingkungannya. Hal ini juga berlaku dalam hal keagamaan, anak mampu memilki perilaku keagamaan karena menyerap secara terus menerus perilaku keagamaan dari orang-orang terdekat yang berada disekitarnya, terutama orang tua, keluarga, dan orang terdekat lainnya. Oleh karena itu, menempatkan anak dalam lingkungan beragama menjadi prasyarat terbentuknya rasa agama anak.
  1. Spontaneous in some respect
Kadang-kadang muncul perhatian secara spontan terhadap masalah keagamaan yang sifatnya abstrak.
  1. Wondering
Wondering merupakan sejenis takjub yang menimbulkan rasa gembira dan heran terhadap dunia baru yang ada didepannya.

B.              Karakteristik Rasa Agama Pada Usia Remaja
1.       Religious awakening, yakni minat beragama atau kebangkitan rasa agama. Secara potensi, remaja sudah menginginkan adanya hubungan dengan suatu hal yang besar yang ada di luar dirinya, yang dapat menenangkan dan melindungi dirinya.
2.      Individualistic, yakni suatu sikap mementingkan diri sendiri.
3.       Sintesis, yaitu mengkorelasikan pada kontesktual atau kemampuan mengintegrasikan sesuatu. Bagi pendidik, hendaknya untuk memberikan materi agama bagi remaja dengan menggunakan konsep yang luas, dan mengaitkan dengan bidang ilmu lain.
4.      Konvensional, yakni agama bersifat sufi, bagaimana berhubungan dengan Tuhan.
5.      Maknawi, yaitu bersifat maknawi atau nilai-nilai inti dari sesuatu. Jika pada usia anak adalah harfiah maka pada remaja adalah lebih dalam lagi yaitu mengungkap makna misalnya makna dari suatu baacaan, misal makna sholat.
6.   Reflektif
Pada awal masa usia, remaja mulai berlaku sesuai dengan hati nuraninya, dorongan untuk menentukan sendiri pilihan pilihan perilakunya dan mulai terlepas dari arahan orang tua. Remaja tidak suka lagi berperilaku sesuai dengan aturan orang tua-nya. Masa remaja adalah masa pemberontakan. Pada masa itulah hati nurani mulai mengambil peran dalam menentukan perilaku remaja, dan rasa tanggung jawab atas segala akibat dari  perilakunya.
7.    Agama menjawab persoalan pribadi
Menurut harrold, remaja memerlukan agama karena masa remaja adalah masa stram and unsecurity (bergelora dan tidak aman). Akan tetapi realitanya remaja tidak menyukai hal hal yang bersifat keagamaan, hal ini dikarenakan agama tidak menjawab kebutuhan dan persoalan remaja. Agama menjadi tidak mampu mengatasi dan menjawab kebutuhan serta persoalan remaja karena penyampaian materi agama yang tidak sesuai dengan masanya, sehingga pemahaman remaja menjadi berbeda dan tidak sesuai dengan pemahaman yang seharusnya. Selain itu pula, disebabkan karena kurangnya rasa dekat antara dirinya dengan tuhannya, yang dilatar belakangi karena kurangnya komunikasi antara ia dengan tuhannya melalui ritual keagamaan. Kebiasaan pendidik yang hanya sekedar memberikan materi keagamaan secara kongkrit, membuat remaja menjadi kurang memaknai agama, sehingga membuat kristal rasa agama dalam dirinya lemah.
9.      Agama dan kelompok  sosial
Pada hakikatnya, remaja sudah membutuhkan teman sebaya yang dekat dengan dirinya (rumah kedua) sebagai tempat berekspresi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kelompok social ini dapat mempengaruhi rasa agamanya, karena melalui kelompok sosial ini ia akan mengetahui apakah perilakunya diterima atau ditolak oleh lingkungannya, sehingga nantinya akan menimbulkan motivasi untuk berperilaku sesuai dengan yang dapat diterima oleh lingkungannya.
10.  Religious Doubt
Religious doubt atau religious questioning, yakni mempertanyakan segala sesuatu hal mengenai keyakinannya. Remaja mempertanyakan masalah “child religious belief” terutama masalah inconsistencies antara nilai agama dengan realita, pengetahuan dan pengalaman yang menggelisahkan. Religious doubt terjadi disebabkan karena kognisi remaja sudah mulai berkembang, sehingga pada usia remaja, seseorang menjadi banyak bertanya, karena pada dasarnya pada usia anak-anak hal-hal yang bersifat keagamaan masuk melalui proses tanpa tanya, bersifat doktriner, rutinitas, kongkrit dan tanpa referensi yang mana kebanyakan merupakan otoritas dari orangtua.
11.  Conversi, yaitu kepemilikan rasa agama dapat datang secara cepat (conversi) atau dengan melalui perkembangan.


C.              Konflik dan Keraguan Pada Masa Remaja
W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu antara lain adalah faktor:
1.  Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin.
Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangan, lebih cepat menunjukan keraguan dari pada remaja pria.
2.  Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi dan aliran keagamaan yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. Pengaruh ini dapat menajdi penyebab timbulnya keraguan para remaja.[3]
3.  Pernyataan Kebutuhan Manusia
Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curitosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal.[4]
6.      Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya maka akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.
5.    Pendidikan
                        Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimiliknya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang berpendidikan dan terpelajar akan cenderung lebih kritis terhadap ajaran agamanya, terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka mempunyai kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya itu secara lebih rasional.

D.              Kasus
Kasus yang akan saya angkat adalah mengenai diri saya sendiri. Dahulu sewaktu saya kecil, kira-kira umur 5-6 tahun, saya  mulai mengaji ke masjid. Setiap seminggu 2 kali, yaitu hari senin dan kamis. Setiap akan mengaji, saya selalu diantar jemput oleh ayah/ibu saya. Saya senang sekali mengaji dimasjid, karena disana saya bisa bertemu dengan teman-teman dan terutama karena ustad ustadzahnya ramah dan baik hati. Disamping ramah, saya juga sudah kenal baik dengan mereka karena rumah kami yang berdekatan, sehingga saya sudah menganggap seperti kakak atau saudara saya sendiri. Ada salah satu ustadzah yang saya kagumi, namanya ustadzah Purwaningsih, tetapi saya biasa memanggilnya mbak Ning. Saya sangat mengagumi beliau, karena beliau adalah sosok wanita yang sangat religious, ramah, dan baik hati. Hingga setiap saya mengaji iqro’, saya selalu minta diajari oleh mbak Ning. Sebenarnya dengan ustadzah siapapun saya mau, tetapi saya lebih senang apabila mbak Ning yang mengajari saya mengaji iqro’. Saya sangat senang mengaji bersama mbak Ning, kesabaran beliau membuat saya nyaman dan semakin mengagumi beliau. Beliau juga sering mengajari hal-hal yang baik kepada saya. Dimasjid, saya diajari banyak hal, seperti mengaji iqro’, latihan wudhu, solat, berdoa, dan lain-lain. Disamping itu, saya juga diajari menyanyi lagu-lagu islami oleh ustad dan ustadzah saya. Waktu itu saya rajin sekali mengaji ke masjid, kira-kira hingga umur 11 tahun atau kelas 6 Sekolah Dasar. Prestasi saya mengajipun dapat dikatakan cukup baik, karena ketika saya berumur kira-kira 9 tahun, saya pernah diutus mewakili TPA Ash-Shaffaat (nama TPA di daerah saya) untuk mengikuti lomba CCA (Cerdas Cermat Agama). Waktu itu saya tidak sendiri, tetapi juga ditemani 2 teman saya. Demi meraih suksesnya perlombaan itu, setiap sore saya dan teman saya selalu latihan dibimbing oleh ustadzah saya yang bernama mbak Ning dan mbak Baryanti, Beliau berdua ini sangat sabar dan penuh semangat dalam membimbing kami. Setelah berjalan 1 minggu, akhirnya hari perlombaan pun tiba, dan akhirnya saya dan teman saya berhasil meraih juara I ditingkat kabupaten. Saya sangat gembira, karena waktu itu baru pertama kali saya mengikuti lomba CCA. Karena meraih juara I ditingkat kabupaten, saya dan teman saya berhak maju ke tingkat provinsi. Menjelang perlombaan tersebut, saya dan teman saya semakin intensif dalam berlatih, dibimbing oleh mbak Ning dan mbak Baryanti. Frekuensi bertemu saya dengan mbak Ning semakin sering terjadi, hal itu membuat saya semakin menyayangi dan mengagumi mbak Ning. Setiap sore kami selalu dilatih dan dibimbing oleh mbak Ning dan Mbak Baryanti. Hingga hari perlombaanpun tiba, dan kesuksesan itupun terulang kembali, saya dan teman saya berhasil mengalahkan pesaing-pesaing dari berbagai TPA, dan menjadi juara pertama ditingkat provinsi. Saya sangat senang sekali, akhirnya kami bisa menjadi juara pertama. Mbak Ning dan mbak Baryanti yang selama ini membimbing kamipun sampai mengangis terharu menyaksikan perjuangan kami. Rasa kagum dan sayang saya terhadap mbak Ning semakin besar, dan saya semakin dekat dengan beliau. Semakin dekatnya saya dengan mbak Ning, membuat saya semakin bersemangat untuk mengaji dimasjid. Tanpa disuruh oleh orang tua sayapun, saya langsung berangkat mengaji dimasjid. Saya waktu itu rajin solat dan rajin mengaji. Orang tua saya dapat dikatakan tergolong biasa saja dan tidak terlalu religious, tetapi ayah dan ibu selalu membimbing dan memberikan contoh perbuatan-perbuatan yang baik kepada saya. Beliau sangat senang melihat saya rajin solat dan mengaji.
Menjelang masuk SMP, saya mulai jarang mengaji dimasjid. Sewaktu kelas I SMP kadang-kadang saya masih mengaji ke masjid, tetapi tidak serajin  dulu. Tetapi mulai masuk kelas II SMP, saya sudah sangat jarang mengaji dimasjid. Mungkin karena teman dimasjid masih kecil-kecil seumuran TK dan SD, saya menjadi malu karena paling besar sendiri dan tidak ada teman yang sebaya dengan saya. Ustad dan ustdzahnya juga tidak seperti dulu lagi, sudah banyak yang tidak mengajar lagi dimasjid, termasuk mbak Ning, beliau sudah tidak mengajar lagi karena sudah menikah dan mengikuti suaminya, sehingga tidak sempat untuk mengajar TPA dimasjid. Saya juga merasakan hambar pada diri saya, tidak seperti dulu, waktu kecil saya rajin mengaji dan rajin solat, tetapi menginjak usia remaja tidak semakin rajin mengaji tetapi malah semakin jarang mengaji. Saya juga belum bisa merasakan nikmatnya menjalankan ibadah solat, belum bisa merasakan kenikmatan dan kenyamanan batin. Hal itu saya rasakan ketika usia SMP kira-kira awal kelas III SMP. Ketika usia ini, bisa dikatakan saya mengalami keragu-raguan agama. Saya merasakan kehambaran dalam hati saya.
E.              Analisa Kasus
Kasus diatas adalah kasus seorang anak (dalam hal ini saya) yang dulu waktu kecil rajin mengaji dan beribadah, padahal orang tuanya tergolong biasa saja dan tidak terlalu religious, kemudian memasuki usia remaja terjadi penurunan menjadi jarang mengaji dan merasakan bahwa ibadahnya belum terasa bermakna. Berdasarkan kasus diatas, salah satu faktor yang mempengaruhi sang anak menjadi rajin mengaji yaitu karena termotivasi ustadzahnya yang ramah dan baik hati. Sang anak juga mengagumi salah satu ustadzahnya yang bernama mbak Ning, yang kemudian dijadikannya sebagai idola karena sosok mbak Ning yang religious, sabar, dan ramah. Hubungan sang anak dengan ustadzah idolanya juga tergolong dekat, dan bahkan bisa dikatakan sangat erat.
Karakteristik religiositas yang seperti ini termasuk dalam kategori imitative (meniru orang –orang disekitarnya). Dalam hal ini, yang ditiru sang anak adalah ustadzah idolanya, yaitu mbak Ning. Sang anak sangat mengidolakan dan mengagumi mbak Ning hingga menjadikannya semakin bersemangat dan rajin mengaji. Sang anak mengidolakan beliau karena keramahannya, kesabarannya, kebaikannya, dan kereligiusannya dalam beragama, hingga membuatnya kagum dan  ingin menjadi seperti beliau. Sang ustadzah juga selalu mengajarkan hal-hal yang baik kepada sang anak, sehingga lama kelamaan sikap-sikap yang baik tersebut tertanam dalam diri sang anak. Beliau juga mengajarkan sholat dan berdoa, serta mengajari iqro’, sehingga menjadikan sang anak rajin sholat dan mengaji. Dapat dikatakan bahwa sang anak mampu memiliki perilaku keagamaan karena menyerap secara terus menerus perilaku keagamaan dari orang-orang terdekat yang berada disekitarnya, dalam hal ini orang terdekatnya adalah sang ustadzah idolanya, yaitu mbak Ning.
Memasuki usia remaja, yakni kelas II-III SMP, sang anak mengalami penurunan sikap keagamaan, yaitu menjadi jarang mengaji dan merasakan kehambaran dalam ibadahnya. Dari kasus diatas disebutkan bahwa sang anak menjadi jarang mengaji karena teman-temannya yang usianya lebih muda (seumuran TK, SD) sehingga menjadikannya malu karena menjadi paling besar sendiri, dan mbak Ning yang sudah tidak mengajar lagi di TPA karena sudah menikah dan mengikuti suaminya. Sang anak juga merasakan kehambaran dalam hatinya, belum bisa merasakan kenikmatan dalam solatnya. Hal ini bisa disebabkan karena perubahan kognisinya, yang dulu waktu kecil hanya bersifat verbalistik dan ritualistic, sesuai dengan teori karakteristik keagamaan pada usia anak, yaitu ibadahnya baru bersifat lahiriyah, verbal dan ritual, tanpa ada keinginan untuk memahami maknanya. Sang anak sekedar meniru dan melakukan apa yang dilakukan dan diajarkan oleh orang dewasa. Pada waktu anak memasuki usia remaja baru muncul keinginan untuk mengetahui makna dan fungsi dari apa yang selama ini dilakukannya. Seperti yang dipaparkan dalam teori diatas bahwa salah satu karakteristik rasa agama pada usia remaja adalah pemahamannya mulai bersifat maknawi atau nilai-nilai inti dari sesuatu. Jika pada usia anak adalah harfiah maka pada remaja adalah lebih dalam lagi yaitu mengungkap makna misalnya makna dari suatu baacaan sholat. Namun, keinginan itu belum dapat tersalurkan dikarenakan kondisi orang tua sang anak yang tidak terlalu religious, sehingga menjadikannya hambar dan tidak bisa mengetahuinya melalui orang tuanya. Suasana rumah yang biasa saja juga dalam arti tidak terlalu religious juga berpengaruh dalam hal ini. Kehambaran tersebut juga disebabkan oleh faktor yang lain, yaitu faktor pendidikan. Di bangku SMP, sang anak masih mendapati pelajaran agama yang terkesan verbal, doktriner dan kaku, belum bisa bersifat maknawi, sehingga menjadikannya hambar dan tidak merasakan nikmat dalam ibadah yang dilakukannya. Faktor-faktor itulah yang menjadikan sang anak mengalami penurunan sikap keagamaan dan merasakan keraguan dalam beragama. Hal ini tentu sesuai dengan teori yang telah disebutkan diatas bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keraguan agama pada usia remaja adalah faktor pendidikan. Seiring bertambahnya usia, pengetahuan yang dimiliki seseorang  akan semakin berkembang, dan hal itu akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Dia ingin mengetahui makna dari segala ibadah yang dilakukan, dengan kata lain ingin mengetahui agama secara maknawi, bukan hanya bersifat verbal dan doktriner yang lebih terkesan kaku.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
            Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penurunan rasa keagamaan dan keraguan yang dialami seorang anak karena adanya perbedaan karakteristik keagamaan antara usia anak dan remaja, yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Religiositas pada usia anak bersifat imitative, yaitu meniru perilaku orang-orang terdekat yang ada disekitarnya, sehingga ajaran keagamaannya lebih bersifat verbal dan ritualistic, ibadahnya baru bersifat lahiriyah, verbal dan ritual, tanpa ada keinginan untuk memahami maknanya. Memasuki usia remaja, kognisi seseorang mulai berkembang, dia mulai ingin memahami agama secara maknawi, bukan bersifat verbal dan doktriner, dia ingin lebih mengetahui makna dari apa yang dilakukannya. Hal itu mengakibatkan seseorang mengalami keraguan dalam agamanya (religious doubt), yang salah satu faktor penyebabnya adalah faktor pendidikan. Saat memasuki usia SMP, kognisi seseorang mulai berkembang dan ingin mengetahui ajaran agama yang lebih bersifat maknawi, namun yang didapati adalah pelajaran di SMP yang masih bersifat verbal, doktriner, dan kaku, sehingga seseorang tersebut merasakan adanya kehambaran dalam hatinya karena belum bisa menemukan makna dari ibadah yang dilakukannya.











DAFTAR PUTAKA

Darajat, Zakiah. 1970. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Jalaluddin. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Susilaningsih. 1994. Makalah Perkembangan Religiositas Pada Usia Anak.  Yogyakarta
Akbar, Almas. Rasa Agama. http://almasakbar45.blogspot.com/2011/05/rasa agama.html, diakses tanggal 1 Januari 2012, pukul 15.43 WIB
Birawa, Pamungkas. Perkembangan Rasa Agama dan Implikasinya terhadap Pendidikan,http://pamungkasbirawa.wordpress.com/2011/01/30/perkembangan-rasa-agama-dan-implikasinya-terhadap-pendidikan-agama-islam/,diakses tanggal 26 Desember 2011 pukul 16.59 WIB
Mahardika. Rasa Agama Pada Remaja, http://sapikebo0 mahardika.blogspot.com /2011/11/rasa-agama-pada-remaja_23.html, diakses tanggal 26 Desember 2011 pukul 17.02 WIB
Vionardi. Perkembangan Religiositas Pada Usia Anak dan Implikasinya dalam PAI, http://vionardi.wordpress.com/2011/04/03/perkembangan-religiousitas-pada-usia anak-dan-implikasinya-dalam-pai/, diakses tanggal 26 Desember 2011 pukul 17.07 WIB


[1] Susilaningsih. Makalah Perkembangan Religiositas Pada Usia Anak.  Yogyakarta, 1994, hal. 2
[2] Ibid., hal.4
[3] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),  hal. 79
[4] Almas Akbar, Rasa Agama, http://almasakbar45.blogspot.com/2011/05/rasa-agama.html, diakses tanggal 1 januari 2012 pukul 15.43 WIB

0 comments:

Post a Comment

Ley's. Powered by Blogger.