KOMPONEN AKHLAK TASAWUF


1.      Sifat Tercela Dan Sifat Terpuji
Seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah harus terlebih dahulu mengosongkan dirinya dari akhlak yang tercela kemudian mengisinya dengan akhlak yang terpuji karena Allah adalah Dzat Yang Maha Suci hanya dapat didekati oleh hamba-Nya yang suci jiwanya.
Berikut ini akan diuraikan sifat-sifat tercela yang harus dikosongkan dalam diri manusia dan mengisinya dengan si terpuji.
  1. Macam-macam Sifat Tercela
Diantara akhlak tercela yang harus dibuang dari jiwanya adalah:
1)      Hub al-Dunya
Hub al-Dunya menurut bahasa adalah mencintai dunia, adapun menurut istilah adalah mencintai dunia yang disangka mulia dan di akhkat menjadi sia-sia.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa hubb al-dunya berarti mencintai kehidupan dunia dengan melalaikan kehidupan akhirat. Di sini timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan dunia? Segala sesuatu yang tidak membawa manfaat di akhirat, menurut K.H Ahmad Rifa’i, itulah yang dinamakan dunia, dan disebut juga dengan dunia haram. Dengan perkataan lain bahwa dunia haram adalah hal-hal yang bersifat duniawi yang tidak digunakan untuk mendukung taat beribadah kepada Allah, sehingga keduniawian tersebut tidak bermanfaat untuk kehidupan di akhirat. Begitu juga harta banyak yang halal tetapi tidak dibelanjakan di jalan Allah, seperti tidak dikeluarkan zakatnya, tidak digunakan untuk infaq fi sabilillah, dan tidak digunakan untuk shodaqoh, maka harta tersebut menjadi fitnah dan termasuk dunia haram.
Sejalan dengan pendapat KH. Ahmad Rifa’i, al-Ghazali mengatakan bahwa segala sesuatu yang memberikan keuntungan, bagian, tujuan, nafsu syahwat, dan kelezatan kepada manusia yang diperoleh langsung sebelum mati disebut dunia.
Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan lebih rinci tentang pengertian dunia sebagai berikut:
(a)    Sesuatu yang menemani manusia di akhirat dan pahalanya kekal bersamanya sesudah mati, yakni ilmu dan amal, ini tidak tergolong dunia melainkan akhirat. Adapun ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya af’alNya, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, alam malakut bumi dan langitNya, serta ilmu yang disyari’atkan oleh nabiNya. Sedangkan amal yang dimaksud di sini adalah amal ibadah yang ikhlas karena Allah semata.
(b)   Segala sesuatu yang memberikan keuntungan dan kelezatan kepada manusia yang langsung diperoleh di dunia akan tetapi tidak memberikan pahala baginya di akhirat, seperti kelezatan yang diperolehnya dengan melakukan segala macam perbuatan maksiat dan bersenang-senang dengan hal-hal yang mubah akan tetapi melewati kadar kebutuhan, maka hal ini tergolong dunia yang tercela.
(c)    Segala sesuatu yang memberikan keuntungan kepada manusia dan langsung diperoleh di dunia untuk menolong kepada amal perbuatan akhirat, seperti sekedar makanan, pakaian sederhana, dan lain sebagainya yang merupakan sarana pokok demi kelangsungan hidup manusia dan kesehatannya agar dapat menghantarkan kepada ilmu dan amal, maka hal ini tergolong akhirat karena makanan, pakaian, dan kebutuhan pokok tersebut digunakan sebagai sarana untuk menolong amal perbuatan akhirat. Namun demikian, jika faktor yang mendorongnya hanya sekedar memperoleh keuntungan langsung di dunia, tidak dijadikan sebagai sarana untuk taqwa kepada Allah, maka hal ini bukan tergolong akhirat melainkan tergolong dunia. Memperhatikan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan dunia ialah segala sesuatu yang tidak dijadikan sarana untuk takwa kepada Allah dan tidak membawa manfaat di akhirat.
Seseorang yang mencintai dunia akan mengakibatkan dirinya banyak melakukan kesalahan dan berbuat dosa seperti berbuat maksiat, keji, dan munkar, karena ia melupakan Allah Swt. Sebagaimana Rasulullah Saw menjelaskan: “Cinta terhadap dunia merupakan pangkal setiap kesalahan”. Dijelaskan juga dalam al-Qur’an: “Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena mendapat siksaan yang sangat pedih, yaitu orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akbirat”.
Dengan demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia, seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat yang diperlukan untuk menolong beribadah kepada Allah. Disamping itu, hati seorang mukmin tidak boleh bergantung kepada kemewahan dunia karena hal tersebut dapat melupakan Allah dan melalaikan kebahagiaan hidup di akhirat. Berkaitan hal ini K.H Ahmad Rifa’i mengatakan: Wajib berpaling dari dunia maksiat sunat berpaling dari dunia halal juga sunat meninggalkan (dunia) makruh sunat mengambil dunia halal yang dijadikan pertolongan untuk melakukan kebijakan yang bermanfaat di akhirat wajib mengambil dunia yang diperlukan yang halal jika tentu menolong taat terhadap kewajiban kemudian hasilnya mengangkat derajad.
Bait nazam di atas menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau meninggalkan dunia sebagai berikut :
a)      Berpaling dari dunia maksiat, hukumnya wajib.
b)      Berpaling dari dunia halal, hukumnya sunat.
c)      Meninggalkan dunia makruh, hukumnya juga sunat.
d)     Mengambil dunia halal yang digunakan untuk menolong berbuat kebajikan yang bermanfaat di akhkat, hukumnya juga sunat.
e)      Mengambil dunia halal sekedar hajat jika benar-benar digunakan untuk menolong berbuat taat melaksanakan kewajiban demi mengangkat derajad keimanan, hukumnya wajib.
Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i di atas sesuai dengan pandangan sebagian ulama shufi bahwa dunia itu tak perlu dibenci secara berlebihan karena dunia merupakan anugrah Allah yang perlu diterima, dinikmati, dan disyukuri, bukan harus diingkari. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. Bersabda:
Artinya: Dunia adalah kebun bagi akhirat.

2)      Al-Tham’
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-tham’ sebagai berikut: Yang dimaksud tham’ menurut tarajumah adalah rakus hatinya. Sedang menurut istilah adalah sangat berlebihan cintanya terhadap dunia tanpa memperhitungkan haram yang besar dosanya.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa tham' berarti sifat rakus yang sangat berlebihan terhadap keduniawian, sehingga tidak mempertimbangkan apakah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh keduniaawian itu hukumnya halal dan haram, yang penting dapat memperoleh kemewahan hidup di dunia.
Sifat rakus seperti itu, sangat tercela dan membahayakan bagi manusia. Karena ia dapat mengakibatkan timbulnya rasa dengki, iri dan permusuhan antar sesama manusia, serta perbuatan-perbuatan keji dan munkar, sehingga manusia lupa kepada Allah dan lupa kepada kebahagiaan hidup yang abadi di akhirat. Oleh sebab itu, orang yang sangat rakus terhadap keduniawian menjadi orang yang paling hina di sisi Allah. Sebab ia tidak lagi menyadari bahwa dirinya itu hamba Allah yang seharusnya mengabdi kepada-Nya, melainkan menjadi budaknya dunia. Hal ini sejalan dengan ungkapan Ibrahim bin Ismail dalam kitabnya Syarb Ta’lim al-Muta’lim berikut ini:
Artinya:
Itulah dunia lebih sedikit dari segala yang sedikit, dan orang yang rakus kepadanya lebih hina dari orang-orang yang hina.
Sesuai pula dengan hadist Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan al-Hakim dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya melewati seekor kambing yang sudah mati, lalu beliau bersabda:
Artinya: Tidaklah kalian melihat kambing ini hina bagi pemiliknya? Para sahabat berkata: karena kehinaannya, mereka melempar kambing itu Rasulullah bersabda: Demi Dzat yang menguasai jiwaku, sesungguhnya dunia itu lebih hina bagi Allah dari pada kambing ini bagi pemiliknya. Seandainya dunia ini seimbang di sisi Allah dengan sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak memberikan minum kepada orang kafir seteguk air dari dunia. Menurut al-Ghazali hadits ini dinilai hasan oleh al-Tirmidzi.
Orang yang sangat rakus terhadap keduniaan demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, tidak akan pernah merasa puas, sehingga ia terus mengejarnya sampai binasa, sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Perumpamaan orang yang rakus mengejar keduniawian adalah seperti orang yang meminum air laut setiap bertambah meminumnya, maka semakin bertambah dahaga yang tidak ada rasa puasnya bahkan sampai datang ajalnya kepada orang yang meminum air laut yang asin.
Bait nazham di atas mengibaratkan orang yang rakus terhadap keduniawian seperti orang yang minum air laut. Semakin banyak ia minum, maka semakin bertambah kuat rasa dahaganya, dan akhirnya ia mati karena perutnya penuh air. Seperti inilah orang yang rakus terhadap keduniawian. Semakin banyak mengenyam kemewahan dunia, maka ia semakin tergila-gila untuk mengejar kemewahan tersebut. Ia tenggelam dalam kesibukan duniawi yang diduganya dapat memberikan kebahagiaan hidup yang abadi. Pada akhirnya ia lalai kepada Allah dan lalai terhadap kebahagiaan hidup yang sejati dan abadi di akhkat.

3)      Itba’ al-Hawa
Dalam kitab Ri’ayat al-Himmat diungkapkan definisi Itba’ al-Hawa sebagai berikut: Itba’ al-Hawa menurut bahasa berarti mengikuti hawa nafsu adapun menurut Istilah syara’ berarti orang lebih mengikuti jeleknya hati yang diharamkan oleh hukum syari’at itulah orang mengikuti hawa maksiat.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa Itba’ al-Hawa berarti sikap menuruti hawa nafsu untuk melakukaan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Syara’. Orang yang mengikuti hawa nafsu, demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, berarti buta mata hatinya karena ia tidak mengetahui adanya Allah. Orang yang seperti ini akan tersesat dari jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan, dan ia melupakan kebagiaan hidup yang kekal dan hakiki di akhirat. Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Shad ayat 26:
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya :
Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat siksa yang sangat pedih karena mereka melupakan hari penghitungan. Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara’. Karena hawa nafsu merupakan pangkal dari perbuatan maksiat. Seperti dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim:


Artinya :
Setiap perbuatan jahat itu berasal dari kerelaanmu terhadap keinginan nafsumu untuk menjadi tempat penderitaan.

4)      Al-‘Ujb
Definisi ‘Ujb dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Ujb menurut bahasa ialah membanggakan diri dalam batin adapun menurut istilah ialah mewajibkan keselamatan badan dari siksa akhirat.
Defenisi di atas menunjukkan bahwa ‘ujb berarti membanggakan diri karena merasa dapat terhindar dari siksa akhirat, bahkan menganggap wajib dirinya selamat dari siksa akhirat.
Sifat ‘ujb ini tercermin pada rasa tinggi hatid (superiority complex) dalam berbagai bidang, baik dalam bidang amal ibadah, keilmuan, kesempurnaan moral, maupun yang lainnya. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i ‘ujb hukumnya haram dan termasuk dosa besar karena merusak iman, sebagaimana diungkapkan dalam bait Nazham berikut ini: ‘Ujb hukumnya haram dan dosa besar dan sesungguhnya ulama Bal’am rusak imannya seperti apa diakhiri dengan kekufuran.”
Ungkapan di atas menegaskan bahwa ‘ujb merupakan dosa besar dan haram hukumnya. Oleh sebab itu, sifat ‘ujb wajib dihindari dan ditinggalkan karena dapat merusak iman. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah contoh yaitu Bal’am seorang ulama yang beriman. Karena ia memiliki sifat ‘ujb maka rusaklah imannya dan pada akhirnya ia tergolong orang kafir.
Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Ibn Hibban dan al-Baihaqi dari Anas:
Artinya:
Seandainya kamu tidak melakukan dosa, niscaya aku (Nabi) mengkhawatirkanmu melakukan dosa yang lebih besar dari 'ujb
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa ‘ujb merupakan perbuatan dosa yang sangat berbahaya karena seseorang sering tidak sadar melakukannya. Dengan perkataan lain, merupakan perbuatan dosa yang sangat halus karena ia tidak nampak oleh mata, yang tahu hanya Allah dan diri pelakunya. Jika diperbandingkan antara dosa ‘ujb dan dosa-dosa lainnya yang nampak oleh mata seperti menyembah berhala (syirik), durhaka kepada orang tua, melakukan saksi palsu, dan berbuat zina, maka dosa ‘ujb lebih berbahaya.
Pada hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dari Anas, Rasulullah Saw juga bersabda:
Artinya:
Tiga perkara yang membinasakan, yaitu: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang pada dirinya.
Hadits di atas menunjukan bahwa sifat ‘ujb termasuk salah satu dari tiga hal yang dapat merusak iman. Oleh karena itu, sesungguhnya celaka orang yang beriman yang memiliki sifat ‘ujb karena sifat ‘ujb dapat merusak iman, sehingga ia menjadi yang merugi di hari kemudian. Dalam surat al-‘Araf ayat 99, Allah Berfirman:
أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya :
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.
Hakekat ‘ujb, demikian al-Ghazali, adalah kesombongan yang terjadi di dalam batin seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan ilmu, amal, harta dan lain sebagainya pada dirinya. Jika seseorang takut kesempurnaan tersebut akan lenyap dan dicabut oleh yang berhak (Allah), maka berarti ia tidak bersifat ‘ujb. Kemudian jika ia merasa gembira karena ia menganggap dan mengakui bahwa kesempurnaan tersebut sebagai nikmat Allah dan karunia-Nya, maka berarti ia tidak bersifat ‘ujb. Akan tetapi sebaliknya, jika ia menganggap bahwa kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang kemungkinan kesempurnaan tersebut kan lenyap, dan tanpa memikirkan siapa pemberi kesempurnaan tersebut (Allah), maka inilah yang dimaksud dengan ‘ujb.
Uraian al-Ghazali ini dapat dipahami bahwa 'ujb berarti menganggap besar terhadap suatu kemampuan atau kesempurnaanjui seseorang tidak disandarkan kepada Dzat Pemberi kemampuan atau kesempurnaan tersebut, melainkan ia menganggap bahwa kemampuan atau kesempurnaan tersebut berasal dari dirinya sendiri.
Lebih lanjut al-Ghazali mengungkapkan bahwa sifat ‘ujb sangat membahayakan bagi diri seorang mukmin karena ia mengajak kepada lupa dosa kepada Allah dan mengacuhkannya. Dosa yang pernah diperbuatnya tidak perlu diingat-ingat karena dianggapnya masalah kecil bukan masalah besar. Ia membanggakan diri kepada Allah dengan amal ibadah yang telah dikerjakannya, dengan kesempurnaan ilmu yang telah dimilikinya, dengan harta kekayaan yang telah digunakan di jalan Allah, dan lain sebagainya. Dengan demikian ia menyangka bahwa dirinya memperoleh tempat di sisi Allah, dan menyangka bahwa dirinya dapat selamat dari siksa akhirat. Namun demikian, ia melupakan siapa sebenarnya yang memberi kekuatan untuk melakukan ibadah, siapa sebenarnya yang memberi karunia ilmu, siapa sebenarnya yang memberi kekayaan kepadanya, dan lain sebagainya. Padahal jika diteliti secara seksama, maka tidak ada artinya di sisi Allah kebanggaan seorang ‘abid dengan ibadahnya, kebanggaan orang yang berilmu dengan ilmunya, kebanggaan orang kaya dengan kekayaannya, dan seterusnya, karena semua itu adalah karunia dari anugerah Allah, sedang manusia hanya sekedar tempat dilimpahkannya karunia, anugerah dan kemurahan Allah Swt.
Dengan demikian, sifat ‘ujb mengajak hati seseorang mukmin untuk mengingkari nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya (kufr al-ni’mat). Orang yang mengingkari nikmat-nikmat Allah bukannya akan memperoleh pahala, melainkan akan memperoleh siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya. Sebagaimana peringatan Allah dalam surat Ibrahim ayat 7:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya:
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu). Maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.
Memperhatikan uraian di atas dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Rifa’i sependapat dengan al-Ghazali bahwa sifat ‘ujb merupakan dosa besar karena ia merusak iman seseorang. Oleh karena itu hukumnya haram.


5)      Al-Riya’
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Riya’ sebagai berikut: Riya’ menurut bahasa ialah memperlihatkan amal kebajikannya kepada manusia, adapun menurut istilah ialah melakukan ibadah dengan tujuan di dalam batinnya karena demi manusia, dunia yang dicari tujuan ibadah tidak sebenarnya karena Allah.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa al-riya’ berarti memperlihatkan amal kebajikan kepada orang lain. Dengan demikian bathin seseorang dalam melaksanakan amal ibadah atau amal kebajikan tidak bertujuan semata-mata karena Allah, melainkan karena manusia, yakni dengan memperlihatkan amal ibadahnya kepada manusia agar memperoleh pujian, penghargaan, kedudukan, popularitas, dan lain sebagainya dari mereka dengan tujuan ingin mengejar keduniawian semata.
Senada dengan definisi yang dikemukakan K.H. Ahmad Rifa’i diatas, al-Ghazali menjelaskan bahwa al-riya’ berasal dari kata al-ru’yat yang berarti melihat. Pada dasaranya, al-riya’ adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka beberapa hal kebajikan. Hanya saja kedudukan di hati manusia itu kadang-kadang dicari dengan amal-amal perbuatan selain ibadah, dan kadang-kadang dicari dengan amal-amal ibadah. Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan al-riya’ adalah keinginan seseorang untuk memperoleh kedudukan di hati manusia dengan cara mentaati perintah-perintah Allah.
Dengan demikian, inti kedua definisi di atas menunjukan bahwa al-riya’ berarti niat seseorang dalam melaksanakan ibadah bukan karena Allah melainkan karena manusia. Perbuatan riya’ ini, demikian K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan perbuatan dosa besar dan haram hukumnya, sebagaimana diungkapkan dalam lanjut bait nazam di atas: Itulah dosa besar di dalam hati dan hukumnya haram juga merupakan tanda-tanda perbuatan orang kafir munafik orang beribadah wajib waspada menjauhi haramnya riya’ jangan sampai dilakukan.
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa al-riya’ termasuk dosa besar dan hukumnya haram. Orang yang memiliki sifat ini berarti ia mengikuti perbuatan orang kafir dan munafiq. Oleh sebab itu, sifat riya’ harus ditinggalkan bagi orang mukmin, agar keimanannya tidak rusak. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Hakim dari Syadad bin Aus: Aku (Nabi) sangat mengkhawatirkan umatku melakukan perbuatan syirik.
Padahal mereka tidak menyembah berhala, matahari, bulan, batu, akan tetapi mereka berbuat riya’ (memperlihatkan) perbuatan mereka pada orang lain.
Hadits di atas dapat di pahami bahwa perbuatan riya’ seimbang dengan perbuatan syirk. Mengapa demikian? Karena jika seorang hamba dalam melakukan ibadah kepada Allah disertai dengan riya’ maka berarti ia telah menyekutukan Allah dan ibadahnya, maka amal ibadahnya tidak diterima di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Malik dari Abu Hurairah: Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena Aku (Allah) yang di dalam perbuatan itu ia menyekutukanKu, maka semua perbuatan itu untuknya, dan Aku bebas dari perbuatan itu. Aku adalah paling kaya di antara semua yang kaya dari kesekutuan.
Pada hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad bin al-Baihaqi dari Mahmud bin Lubaid, Rasulullah bersabda: Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti terhadapmu adalah syriik kecil. Para sahabat bertanya: apa yang dimaksud dengan syirik kecil? Rasulullah bersabda: Riya’. Allah Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat ketika membalas hamba-hambaNya dengan amal perbuatan mereka: pergilah kamu kepada orang-orang yang kamu perlihatkan amal perbuatanmu kepada mereka di dunia. Maka lihatlah. Apakah kamu mendapatkan balasan dari mereka?
Dalam pada itu K.H. Ahmad Rifa’i menggolongkan riya’ ke dalam dua tingkatan, sebagaimana diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Dan riya’ itu ada dua macam. Pertama, riya’ khalish namanya seperti halnya tidak menjadikan dekat kepada Allah (qurbat) di dalam hatinya melainkan tujuannya karena demi manusia. Kedua, riya’ syirk tempatnya seperti halnya menjadikan niat untuk dekat kepada Allah (qurbat) karena memenuhi permintaan Allah yang menjadi tujuan dan sekutu di dalam batin demi karena manusia dan berarti bercampur.
Ungkapan di atas dapat dipahami bahwa riya’ terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a)        Riya’ Khalish, yakni niat seseorang dalam melaksanakan ibadah semata-mata untuk memperoleh pujian, kedudukan dan lain sebagainya dari manusia, serta tidak bertujuan untuk dekat dengan Allah.
b)        Riya’ Syirk, yakni niat seseorang dalam melaksanakan ibadah karena terdorong untuk memenuhi permintaan Allah serta terdorong pula untuk memperoleh pujian dan kedudukan dari manusia. Dengan lain perkataan, niatnya bercampur antara niat karena Allah dan niat karena manusia.
Memperhatikan penggolongan al-riya’ tersebut, dapat dikatakan bahwa riya’ syirk nampaknya lebih ringan dosanya dibanding dengan riya’ khalish, karena dalam riya’ syirk masih terlintas niat di dalam hati untuk memenuhi perintah Allah, akan tetapi sudah bercampur antara niat karena Allah dan niat karena manusia. Namun demikian kedua macam riya’ tersebut merupakan dosa besar.
Disamping kedua macam riya’ tersebut di atas, K.H. Ahmad Rifa’i masih menggolongkan riya’ menjadi dua bagian-lagi, riya’ jali dan riya’ khafi. Kedua macam riya’ tersebut sulit dihindari kecuali oleh orang yang sudah mencapai derajat mengenal Allah (Arif bi Allah). Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim: Tidak ada yang dapat selamat dari riya’ jali dan riya’ khafi kecuali orang yang arif meng-Esakan Allah, karena Allah telah mensucikan mereka dari syirik sekecil apapun.
Sedangkan riya’ khafi (riya’ yang tersembunyi) terbagi menjadi dua tingkatan:
a)           Riya’ yang lebih sedikit tersembunyi dari pada riya’ jali, yaitu riya’ yang tidak mendorong seseorang untuk melakukan amal ibadah dengan tujuan semata-mata demi memperoleh pahala, melainkan riya’ tersebut meringankan seseorang untuk melakukan amal ibadah, yang dengannya ia berkehendak menuju kepada Allah. Misalnya orang yang membiasakan shalat tahajjud setiap malam dan ia merasa berat. Apabila ada tamu di rumahnya, maka ia merasa tekun dan merasa ringan dalam menjalankan shalat tahajjud.
b)          Riya’ yang lebih tersembunyi lagi ialah riya’ yang tidak membekas pada amal perbuatan, serta tidak memudahkan dan meringankan seseorang untuk melakukan amal ibadah, akan tetapi ada sesuatu yang membekas di dalam bathin. Oleh karena riya’ tingkatan ini tidak membekas pada amal perbuatan, maka sulit untuk mengetahui riya’ ini kecuali melalui tanda-tandanya. Adapun tanda-tandanya yang paling jelas adalah bathin seseorang merasa senang dan gembira, jika ketaatannya kepada Allah dilihat oleh manusia.

6)      Al-Takabbur
Definisi al-takabbur dikemukakan dalam kitab Abyan al-Hawa’ij sebagai berikut: Takabbur menurut bahasa berarti sombong karena merasa luhur, adapun menurut makna istilah adalah menetapkan kebijakan pada diri sendiri ada sifat baik dan luhur sebab banyak harta atau kepandaiannya.
Definisi di atas menunjukan bahwa takabbur berarti menganggap dirinya besar dan mulia (sombong) yang disebabkan oleh adanya kebajikan atau kesempurnaan pada dirinya baik berupa harta banyak yang dimilikinya, ilmu yang dikuasainya, maupun hal-hal lainnya.
Sedangkan menurut Rifa’i takabbur adalah menolak kebenaran ilmu dan menghina manusia yang tidak ada kejelekannya itulah yang dinamakan takabbur dosa besar bathinnya orang yang menghina agama Allah menjadi kafir.
Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu daud, dan Ibnu Majah dari abu Hurairah: Allah ta’ala berfirman: “Kesombongan itu kain selendang-Ku dan kebesaran itu kain sarung-Ku. Barangsiapa menentang (menyaingi) Aku dengan melakukan dua hal tersebut, niscaya Aku lemparkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan tidak Aku pedulikan”
Pada hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa di dalam hati riya’ ada kesombongan sekecil apapun, Niscaya Allah menelungkupkan wajahnya ke dalam api neraka”.

7)      Al-Hasd
Definisi al-hasd diungkapkan dalam kitab Ri’ayat al-Himmat sebagai berikut: Hasd menurut bahasa berarti dengki, sedang istilah syara’ berarti, mengharapkan sirnanya kenikmatan Allah yang berada pada orang Islam baik berupa kebajikan ilmu, ibadah yang sah dan jujur, harta, maupun yang semisalnya.
Sementara al-Ghazali memberikan definisi, hasd adalah benci kepada kenikmatan dan menyukai hilangnya kenikmatan itu dari orang Islam yang diberi kenikmatan tersebut. Dengan demikian hasd berarti mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain.
Hasd harus dihindari dan ditinggalkan karena merupakan dosa besar dan haram hukumnya. Orang yang memiliki sifat hasd akan disiksa di neraka Jahim, sebagaimana diungkapkan dalam lanjut bait nazham: Adalah dosa besar wajib mundur/meninggalkannya kemudian taubat, dosanya akan lebur orang yang hasd disiksa di neraka Jahim takutlah terhadap siksa yang abadi berlindunglah kepada Allah dari sifat hasd yang haram menurut hukum syara’. Ungkapan di atas menegaskan bahwa hasd hukumnya haram karena sifat hasd menentang ketentuan Allah (qadr), dalam arti tidak ridha terhadap kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah bagi-bagikan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini dapat dipahami dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Anas:
Artinya: Kemiskinan itu nyaris menjadi kekufuran, dan kedengkian itu nyaris mengalahkan ketentuan Allah (qadr).
Dalam pada itu hasd dapat menghancur leburkan seluruh amal kebajikan yang telah dilakukan oleh seorang hamba, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah:
Hindarilah sifat hasd, karena sifat hasd itu memakan amal-kebajikan seperti api yang memakan kayu bakar. Inilah diantara hal-hal yang menyebabkan hasd menjadi hukumnya haram.

8)      Al-Sum’ah
Definisi al-sum’ah dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Sumah menurut bahasa adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan benar lahiriyah ikhlas karena Allah Yang Maha Pengasih dan Luhur kemudian amal kebajikannya diceritakan kepada orang lain supaya orang lain memuliakan terhadap dirinya, itu sudah bercampur dengan haram. Hatinya tidak ridha menuju kepada Allah melainkan bathinnya menuju karena dunia itulah sum’ah, haram hukumnya sesudah melakukan amal kebajikan.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa sum’ah berarti amal ibadah yang telah dilakukan oleh seseorang dengan benar sesuai dengan hukum syara’ dan dengan niat yang ikhlas karena Allah, kemudian amal ibadah tersebut ditutur-tuturkan atau diperdengarkan kepada orang lain, agar orang lain memujinya dan menghormatinya. Perbuatan seperti itu hukumnya haram, karena ia telah mencampur adukan antara niat ikhlas karena Allah dan niat ingin mendapat penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan dengan ungkapan Al-Ghazali:
Artinya :
Janganlah kamu menampak-nampakkan sifat keutamaan ilmu dan ketaatan.
Allah berfirman dalam surat al-Najm, ayat 32:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ
Artinya :
Maka janganlah kamu kamu mengatakan dirimu suci.
Disini timbul pertanyaan: bagaimana jika seseorang menampakan sifat keutamaannya baik ilmunya yang luas, budi pekertinya yang luhur, ketaatannya dalam beribadah kepada Allah, maupun yang lainnya dengan tujuan agar orang lain mengikuti jejaknya atau agar orang lain mau melakukan perbuatan-perbuatan yang utama.
Dalam hal ini K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa sum’ah yang dilakukan dengan niat yang baik, yakni untuk memberi nasehat agar orang lain mau meninggalkan perbuatan yang tercela dan melaksanakan perbuatan yang terpuji atau untuk memberi contoh agar orang lain mau mengikuti jejaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang utama, maka sum’ah seperti ini diperbolehkan, bahkan pelakunya akan memperoleh pahala yang besar. Syaratnya jangan sampai terbetik di dalam hati untuk memperoleh penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat ad-Dhuha:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya :
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sum’ah tergantung dari niatnya. Jika sum’ah dengan niat demi kemaslahatan agama, maka sum’ah tersebut menjadi terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika sum’ah dilakukan dengan niat untuk memamerkan keutamaan dan keistimewaan diri agar mendapat pujian dari manusia, maka sum’ah tersebut menjadi tercela.

  1. Macam-macam Sifat Terpuji
Di antara akhlak terpuji yang harus diisi dalam jiwa manusia adalah:
1)      Az-Zuhd
Menurut pandangan sufi, hawa nafsu duniawi merupakan sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang terhadap hawa nafsunya mengakibatkan kebrutalan tindakan manusia dalam mengejar kepuasan nafsu. Agar manusia dapat terbebas dari godaan dan pengaruh hawa nafsunya, maka ia harus melakukan zuhd.
Dalam mengartikan zuhd, ternyata para sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Namun secara umum dapat diartikan bahwa zuhd merupakan suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Sementara itu K.H. Ahmad Rifa’i mengartikan zuhd sebagai berikut: Zuhd menurut terjemah bahasa jawa adalah bertapa di dunia, menurut istilah syara’ adalah bersiap-siap di dalam hati untuk beribadah memenuhi kewajiban yang luhur sebatas kemampuan menghindar dari dunia haram zhahir dan batin menuju kepada Allah dengan benar mengharap kepada Allah untuk memperoleh surga-Nya yang luhur. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa zuhd berarti kesediaan hati untuk melaksanakan ibadah dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban syari’at, meninggalkan dunia yang haram, dan secara lahir batin hanya mengharap ridha Allah Swt, demi memperoleh surgaNya. Dijelaskan pula bahwa zuhd bukan berarti mengosongkan tangan dari harta, melainkan mengosongkan hati dari ketergantungan pada harta. Karena keduniawian dapat memalingkan hati manusia dari Allah Swt.
Memperhatikan uraian tentang pengertian zuhd atas, tampak secara jelas bahwa ajaran zuhd K.H. Ahmad Rifa'i masih berkaitan erat dengan tujuan syari’at. Berbeda dengan pengertian zuhd yang dikemukakan oleh sebagian sufi, seperti Abu Ali al-Daqqaq dan Yahya bin Mu’adz al-Razi mengartikan zuhd sebagi berikut:
Artinya :
Zuhd adalah engkau meninggalkan keduniawian secara total, jangan berkata bagaimana aku membangun sebuah Ribath atau membangun sebuah masjid.
Pengertian zuhd di atas sangat berlebihan karena tidak hanya sampai batas meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang mubah, melainkan sampai kepada meninggalkan perbuatan yang baik.
Sementara itu, menurut Ibn Taimiyah zuhd itu ada dua macam, yaitu:
a)         Zuhd yang sesuai dengan syariat’, adalah meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat di akhirat.
b)         Zuhd yang tidak sesuai dengan syari’at, adalah meninggalkan segala sesuatu yang dapat menolong seorang hamba untuk taat beribadah kepada Allah.
Pengertian zuhd yang sejalan dengan syari’at sebagaimana firman Allah dalam surat Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Artinya :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi.
Adapun tanda-tanda orang yang telah memiliki sikap zuhd adalah:
a)      Senantiasa melakukan amal shaleh
b)      Jika bertambah ilmunya, maka harus bertambah pula sifat
c)      Tidak tergiur dengan keduniawian, karena keduniawian merupakan tipu daya, godaan dan fitnah
d)     senantiasa berbuat untuk kepentingan akhirat, karena Allah berjanji akan memberikan kecukupan untuk kepentingan dunia dan agamanya
e)      Tidak merasa tentram dan tenang jika ketika melihat segala yang wujud di dunia ini hatinya tidak hadir di hadapan Allah.
f)       Jika dipuji oleh manusia, maka hatinya menjadi susah karena khawatir kalau-kalau amal kebajikannya berubah menjadi riya’ dan haram.
Adapun keutamaan orang yang melakukan Zuhd adalah:
(1)   Pahala amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang zahid dilipat gandakan oleh Allah Swt.
(2)   Seorang yahid akan memperoleh ilmu dan petunjuk langsung dari Allah tanpa belajar.
Uraian di atas dapat di pahami bahwa inti zuhd adalah bukan meninggalkan keduniawian secara total, melainkan meninggalkan keduniawian yang tidak dapat membawa manfaat di akhirat.

2)      Al-Qana’ah
Definisi Qana’ah menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah hatinya tenang memilih ridha Allah mengambil keduniawian sekedar hajat yang diperkirakan dapat menolong untuk taat memenuhi kewajiban (syari’at) menjauhkan maksiat.
Dalam menguraikan sifat qana’ah ini K.H. Ahmad Rifa’i mengaitkan dengan kefakiran (kemiskinan). Keutamaan orang fakir yang memiliki sifat qana’ah sebagai berikut:
a)        Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, derajatnya lebih tinggi di hadapan Allah dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’ah.
b)        Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, lebih dahulu masuk surga dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’ah meskipun sama-sama beribadah.
c)        Orang fakir yang secara lahiriyah sedikit melakukan amal ibadah akan memperoleh pahala yang besar dari pada orang kaya yang secara lahiriyah banyak melakukan amal ibadah dan banyak bersedekah, karena orang fakir itu memiliki sifat qana’ah artinya telah ridha untuk berpaling dari keduniawian.

3)      Al-Shabr
Salah satu sikap sufi yang fundamental bagi para sufi dalam usahanya untuk mencapai tujuan adalah shabr. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i, Shabr secara bahasa adalah menanggung kesulitan, menurut istilah berarti melaksanakan tiga perkara yang pertama menanggung kesulitan ibadah memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan, yang kedua menanggung kesulitan taubat yang benar menjauhi perbuatan maksiat zhahir bathin sebatas kemampuan, yang ketiga menanggung kesulitan hati ketika tertimpa musibah di dunia kosong dari keluhan yang tidak benar (Rifa’i, Riayat, Juz II:30).
Definisi di atas dapat dipahami bahwa sabar merupakan kemampuan diri dalam menghadapi berbagai macam kesulitan, yang antara lain:
(a)    Kemampuan untuk menghadapi kesulitan dalam melaksanakan ibadah dan menunaikan kewajiban-kewajiban syariat dengan sungguh-sungguh.
(b)   Kemampuan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat yang disertai dengan taubat baik secara lahir maupun bathin
(c)    Kemampuan untuk menghadapi kesulitan ketika tertimpa musibah tanpa berkeluh kesah.
Orang mukmin yang sabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan sebagaimana tersebut di atas akan memperoleh pahala yang tak terhingga dari sisi Allah Swt. Hal ini  sesuai janji Allah dalam surat al-Zumar ayat 10:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ


Artinya:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Ungkapan K.H. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan perkataan al-Ghazali:
Artinya :
Sabar itu adalah setengah dari iman.

4)      Al-Tawakkal
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Tawakal sebagai berikut, Tawakkal bukan berarti hanya pasrah kepada Allah tanpa melakukan ikhtiar dan meninggalkan usaha mencari rizki sekedarnya melainkan sebatas kemampuan tidak boleh tidak harus berusaha memerangi hawa nafsu lainnya yang mengajak kepada kerakusan terhadap dunia karena hal ini (rakus terhadap dunia) menjadi pasukan hawa nafsu sendiri juga menjadi fitnah yang sangat buruk dan tidak hilang tawakkal seseorang yang berusaha mencari obat untuk menyembuhkan sakitnya juga wajib menolak maksiat mencari rizki untuk menolong ibadah.
Ungkapan diatas menunjukan bahwa tawakal bukan berarti hanya pasrah menunggu ketentuan Allah tanpa melakukan ikhtiar serta meninggalkan usaha mencari rizki secara total. Tetapi tawakal adalah berserah diri kepada Allah yang disertai dengan ikhtiar dan usaha mencari rizki seperlunya untuk keperluan ibadah kepada Allah, serta memerangi hawa nafsu yang mengajak kepada kesesatan dan ketamakan terhadap keduniawian, karena hal tersebut merupakan fitnah yang sangat buruk dan dapat membawa kesengsaraan manusia. Oleh karena itu seseorang yang tertimpa musibah sakit, misalnya, maka ia tidak berdiam diri hanya menunggu ketentuan Allah, melainkan harus berusaha mencari obat terlebih dahulu, baru kemudian sepenuhnya kepada ketentuan Allah. Dengan demikian tawakal bukan berarti berserah diri hanya menunggu ketentuan Allah melainkan sifat yang menjiwai usaha seseorang. Hal ini sejalan dengan ungkapan Muhammad bin Ibrahim:


Artinya:
Barangsiapa mengetahui bahwa segala urusan itu berada di tangan Allah, maka ia akan berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Dijelaskan pula, bahwa manusia harus berserah diri kepada Allah semata, tidak boleh berserah diri kepada selain Allah, karena dengan berserah diri kepada Allah ia akan mendapat petunjuk jalan yang lurus. Jika manusia berserah diri kepada selain Allah, maka ia akan menjadi sesat dan akan menambah dosa yang lebih berat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 56:
إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Artinya:
Sesungguhnya aku berserah diri kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada seekor binatang melata pun melainkan dia yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.

5)      Al-Mujahadah
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi al-Mujahadat sebagai berikut: Mujahadat menurut bahasa berarti bersungguh-sungguh terhadap suatu perbuatan yang dituju menurut istilah berarti bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah-perintah Allah memenuhi kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan sekuat tenaga, baik secara lahir maupun bathin.
Dengan perkataan lain, mujahadah berarti bekerja keras dan berjuang melawan keinginan hawa nafsu, berjuang melawan bujukan syaitan, berjuang menjauhi godaan-godaan syaitan, dan berjuang menundukkan diri agar tetap di dalam batas-batas syara’ untuk mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangannya. Hal ini senada dengan ungkapan al-Syarqawi: bahwa pangkal setiap kemaksiatan, syahwat, dan kelengahan adalah menuruti hawa nafsu. Sedangkan pangkal setiap ketaatan, kesadaran, kehati-hatian adalah tidak menuruti hawa nafsu.
Lebih lanjut K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa mujahadah tidak terbatas hanya memerangi musuh bathiniah (hawa nafsu), akan tetapi juga mencakup bersungguh-sungguh dalam memerangi musuh lahiriyah, yakni orang kafir yang nyata-nyata hendak menghancurkan Islam. Memerangi orang kafir semacam ini merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam (Rifa’i, Riayat, Juz II:137). Sebagaimana dalam surat al-Ankabut ayat 69:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami Tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

6)      Al-Ridha
Definisi al-Ridha menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah sebagai berikut: Ridha menurut bahasa adalah menerima kenyataan dengan suka hati adapun menurut istilah adalah menerima segala pemberian Allah dan menerima hukum Allah, yakni syari’at wajib dilaksanakan dengan ikhlas dan taat dan menjauhi kejahatan maksiat dan menerima terhadap berbagai macam cobaan yang datang dari Allah dan yang ditentukanNya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ridha berarti menerima dengan tulus segala pemberian Allah, hukumNya (syari’at), berbagai macam cobaan yang ditakdirkanNya, serta melaksanakan semua perintah dan meninggalkan sernua laranganNya dengan penuh ketaatan dan keikhlasan, baik secara lahir maupun bathin.
Seorang mukmin harus ridha terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada hambanya karena segala sesuatu tersebut merupakan pilihan yang paling utama yang diberikan Allah pada hambanya. Sehingga tanda-tanda orang mukmin yang sah imannya diantaranya adalah orang mukmin yang ridha dalam menerima segala hukum Allah, perintah, larangan, dan janjiNya. Hal ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dan Ibnu Hihban dari Anas: “Barang siapa tidak ridha terhadap ketentuan-ketentuan-Ku, tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Ku, dan tidak sabar terhadap cobaan-cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku”.

7)      Al-Syukr
Definisi syukr menurut K.H. Ahmad Rifa’i, secara bahasa adalah senang hatinya sedang menurut istilah adalah mengetahui nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah yakni nikmat iman dan taat yang maha luhur memuji Allah, Tuhan yang sebenarnya yang memberikan sandang dan pangan kemudian nikmat yang diberikan oleh Allah itu digunakan untuk berbakti kepadaNya sekurang-kurangnya memenuhi kewajiban dan meninggalkan maksiat secara lahir dan bathin sebatas kemampuan.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa inti syukr adalah mengetahui dan menghayati kenikmatan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Luhur. Oleh karena itu manusia wajib menghayati dan mensyukuri nikmat Allah, karena orang yang mensyukuri nikmat Allah, maka akan ditambah nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya: Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memberitahukan: sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya siksaKu sangat pedih.
Adapun untuk mensyukuri nikmat Allah ada tiga cara :
a)      Mengucapkan pujian kepada Allah dengan ucapan al-hamdulillah.
b)      Segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya harus dipergunakan untuk berbakti (beribadah) kepada Allah.
c)      Menunaikan perintah-perintah syara’ minimal ibadah wajib dan meninggalkan maksiat dengan ikhlas lahir dan bathin.

8)      Al-Ikhlas
Al-Ikhlas menurut K.H. Ahmad Rifa’i didefinisikan sebagai berikut: Ikhlas menurut bahasa adalah bersih sedangkan menurut istilah adalah membersihkan hati agar ia menuju kepada Allah semata dalam melaksanakan ibadah, hati tidak boleh menuju selain Allah.”
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas menunjukan kesucian hati untuk menuju kepada Allah semata. Dalam beribadah, hati tidak boleh menuju kepada selain Allah, karena Allah tidak akan menerima ibadah seorang hamba kecuali dengan niat ikhlas karena Allah semata dan perbuatan ibadah itu harus sah dan benar menurut syara’.
Ikhlas dalam ibadah ada dua macam, apabila salah satunya atau kedua-duanya tidak dikerjakan, maka amal ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah. Rukun ikhlas dalam beribadah ada dua macam. Pertama, perbuatan hati harus dipusatkan menuju kepada Allah semata dengan penuh ketaatan. Kedua, perbuatan lahiriyah harus benar sesuai dengan pedoman fiqh. Sebagaimana dalam surat al-Bayyinat ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas dalam (menjalankan) agama dengan lurus.
Lebih lanjut K.H. Ahmad Rifa’i menggolongkan sifat ikhlas menjadi tiga tingkatan:
a)          Ikhlas ‘awwam, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena didorong oleh rasa takut menghadapi siksaanNya yang amat pedih, dan didorong pula oleh adanya harapan untuk mendapatkan pahala dariNya.
b)          Ikhlas khawwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena didorong oleh adanya harapan ingin dekat dengan Allah dan karena didorong oleh adanya harapan untuk mendapatkan sesuatu dan kedekatannya kepada Allah.
c)          Ikhlas khawwash al-khauwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah yang semata-mata didorong oleh kesadaran yang mendalam untuk mengEsakan Allah dan meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya, serta bathin mengekalkan puji syukur kepada Allah.
Demikian pemaparan tentang delapan sifat terpuji yang wajib diamalkan oleh setiap hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dan delapan sifat tercela yang wajib ditinggalkannya, yang dalam istilah tashawwuf disebut dengan maqamat. Ajaran tashawwuf yang hanya sampai batas pendidikan akhlaq untuk mencapai kesucian hati ini disebut tashawwuf akhlaqi. Seorang hamba yang mencapai kesucsian hati sesuci-sucinya akan memperoleh anugerah Allah baik berupa mahabbat, qurb, ma’rifat, ataupun lainnya yang dalam istilah tashawwuf disebut ahwal.

  1. Al-Mahabbat, al-Qurb, dan al-Ma’rifat
Al-mahabbat, al-qurb, dan al-ma’rifat terkadang dipandang sebagai maqamat dan terkadang dipandang sebagai ahwal. Sebagai contoh misalnya, bagi al-Junaid, ma’rifat termasuk kategori ahwal, sedangkan menurut al-Qusyairi, ma’rifat termasuk kategori maqamat. Bagi al-Ghazali, ada perbedaan susunan antara ma’rifat dan mahabbat. Menurutnya, mahabbat diperoleh sesudah ma’rifat sedangkan al-Kalabadzi menegaskan bahwa mahabbat diperoleh sebelum ma’rifat.
1)      Al-Mahabbat
Al-Mahabbat, Al-hubb atau al-mababbat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dilihatnya atau apa yang diduganya baik.
K.H. Ahmad Rifa’i mengatakan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah adalah berbakti kepada-Nya dengan jalan mematuhi semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, jika melakukan dosa harus segera bertaubat.
Adapun tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah, menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah sebagai berikut:
a)         Ia senantiasa mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad, karena dengan demikian berarti ia telah mencintai Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran: 31, yang berbunyi: “Katakanlah (hai Muhammad): jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.”
b)         Ia senantiasa ikhlash dalam mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan, karena ikhlash merupakan ruhnya ibadah.
Cinta kepada Allah memerlukan pengorbanan yang betul-betul ikhlash, yakni tidak merasa berat dalam mengabdikan diri (beribadah) kepada-Nya. Cinta kepada Allah, bagi K.H. Ahmad Rifa’i merupakan nyawanya iman dan merupakan syarat sahnya iman.
Inti paham mahabbat K.H. Ahmad Rifa’i adalah mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangannya dengan tulus ikhlash. Paham mahabbatnya hanya sebatas cinta antara seorang ‘abid (yang menyembah) dan ma’bud (Yang Disembah). Masih ada jarak antara seorang hamba dengan Allah, bukan cinta sesama kekasih yang mempunyai persamaan derajad (munasabat). Paham mahabbatnya masih sangat erat kaitannya dengan syari’at.

2)      Al-Qurb
Adapun ajarannya tentang al-qurb menurut K.H. ahmad Rifa’i ialah dekatnya hati seorang hamba dengan Allah, sehingga ia mampu menyaksikan keagungan dan kemuliaan-Nya. Ketika ia melihat segala sesuatu yang ada di alam ini, maka hatinya senantiasa merasakan bahwa segala sesuatu itu adalah ciptaan Allah dan perbuatan-Nya.
Hamba yang telah mencapai derajad kedekatan Allah, maka mata hatinya mampu memandang keagungan-Nya karena Allah benar-benar dekat dengan dirinya. Di samping itu, mata hati mampu melihat Allah semata yang memiliki perbuatan atas segala sesuatu. Adapun cara untuk berada dekat dengan Allah, K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan sebagai berikut:
a)      Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya ia keluar dari dirinya.
b)      Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa ingat kepada-Nya, karena kelalaian seorang hamba kepada Allah menjadikan dirinya jauh dari Allah.
c)      Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa menyandarkan diri pada anugerah dan rahmat Allah.
Jika seorang hamba telah berada dekat dengan Allah, maka ia merasa yakin bahwa Allah itu senantiasa hadir bersamanya di mana pun dan dalam kondisi apapun, serta ia yakin bahwa Allah senantiasa memperhatikan segala sesuatu yang akan menimpa dirinya karena ia melihat bahwa segala sesuatu itu baik berupa kenikmatan maupun malapetaka merupakan perbuatan Allah. Oleh karena itu, ia senantiasa menyandarkan diri kepada anugerah dan rahmat Allah.
Konsep qurb K.H. Ahmad Rifa’i termasuk kategori ahwal, karena konsep qurbnya merupakan anugerah Allah yang diperoleh tanpa wujud usaha, bukan diperoleh melalui proses pembinaan akhlak (maqamat).
Menurutnya, bahwa Allah itu memang sangat dekat dengan hambanya, bahkan Allah mengetahui apa saja yang terdapat dalam lahiriah dan batiniah manusia, sedangkan manusia itu sendiri tidak mengetahui apa yang terdapat dalam dirinya.
Sekalipun Allah sangat dekat dengan makhluq-Nya, namun kedekatan-Nya tidak sama dengan kedekatan makhluq, karena Dia adalah dzat yang wajib adanya dan Maha Sempurna serta bersifat qadim, sedangkan makhluq adalah mungkin adanya dan tidak sempurna serta bersifat hadits. Oleh sebab itu, mustahil Allah yang bersifat qadim menempati makhluqnya yang bersifat hadits.
Ajaran tashawwuf K.H. Ahmad Rifa’i tidak sampai kepada paham tentang kemanunggalan antara hamba dan Allah, seperti paham al-ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 874) dan paham al-Hulul yang diajarkan oleh Husein ibn Manshur al-Hallaj (w. 922 M), bahkan terlihat bahwa ajaran tashawwufnya menolak kedua paham tersebut
3)      Ma’rifat
Ma’rifat, bagi K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan puncak kedekatan seorang hamba dengan Allah sedekat-dekatnya, sehingga mata hatinya dapat melihat keagungan Allah dan keindahan-Nya, yang disertai rasa takut dan cinta di dalam hati. Kemudian ia melihat segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan perbuatan-Nya. Seorang hamba yang telah mencapai tingkat ma’rifat maka mata hatinya melihat semua perbuatan dan kejadian di alam ini adalah baik, sekalipun secara lahiriah perbuatan itu dianggap haram namun mata hatinya memandangnya baik, karena semua itu merupakan perbuatan Allah.
Jalan menuju ma’rifat Allah ada lima macam, yaitu merenung atau tafakkur tentang:
a)      Tanda-tanda kekuasaan-Nya akan mewujudkan tauhid dan iman kepada-Nya.
b)      Nikmat-nikmat-Nya akan mewujudkan rasa cinta kepada-Nya.
c)      Janji-Nya akan mewujudkan ketaatan kepada-Nya.
d)     Kekurangtaatan dirinya kepada-Nya yang disertai dengan merenungi berbagai kebaikan-Nya yang telah diberikan kepada dirinya akan mewujudkan rasa malu untuk berbuat maksiat kepada-Nya.
e)      Ancaman-Nya akan mewujudkan rasa takut terhadap siksaan-Nya.
Puncak ajaran tashawwuf K.H. Ahmad Rifa’i adalah ma’rifat, yakni sebatas melihat atau mengetahui rahasia-rahasia Allah seperti keindahan, keagungan, perbuatan dan sifat-sifat-Nya. Penglihatan itu diperoleh melalui cahaya-Nya yang dianugerahkan kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang diletakkan di dalam lubuk hati yang paling dalam.

0 comments:

Post a Comment

Ley's. Powered by Blogger.