PEMBAHASAN TASAWUF
a.
Asal Usul Kata Tasawuf
1)
Kata tasawwuf adalah bahasa Arab dari kata
suf yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari
bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah
disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang
zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).
2)
Ahl Al-Suffah, yaitu orang-orang yang
ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah yang karena kehilangan harta,
mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di
serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai
bantal. Pelana disebut suffah. Kata sofa salam bahasa Eropa berasal dari
kata Walaupun hidup miskin, Ahl
Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan
keduniaan yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan yang bersifat
rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia. Itulah sifat-sifat
kaum sufi.
3)
Shafi yaitu suci. Orang-orang sufi
adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat
keduniawian dan mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan
demikian mereka adalah orang-orang yang disucikan.
4)
Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya
hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki
kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari
kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan.
5)
Saf pertama. Sebagaimana halnya
orang yang shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala yang utama,
demikian pula orang-orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena
dalam shalat jamaah mereka mengambil saf yang pertama.
Di
antara kelima asal-usul kata tasawwuf, yang disebut pertama lebih banyak
disebut para ahli sebagai asal kata tasawwuf. Dalam kisah orang-orang Sufi
Masehi dan Yahudi, disebutkan bahwa kebiasaan mereka memakai pakaian yang berasal
dari kulit dan bulu domba yang kasar. Dengan pakaian dari bulu domba yang kasar
dan sederhana itu orang-orang sufi akan terhindar dari sifat riya dan
menunjukkan kezuhudan pemakainya.
b.
Pengertian Tasawuf
Untuk
menyatakan hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah
rohani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu ia hanya
dapat diketahui bukan hakekatnya, melainkan gejala-gejalanya yang tampak dalam
ucapan, cara dan sikap hidup para shufi membuat definisi tasawuf tersebut.
Sekalipun demikian para shufi membuat definisi tasawuf berbeda-beda sesuai
dengan pengalaman empiriknya masing-masing dalam mengamalkan tasawuf.
Menurut
Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi
sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Ahmad
al-Jariri ketika ditanya seseorang: Apa itu tasawuf ? Ia menjawab: Masuk ke
dalam setiap akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang
rendah (tercela).
Sementara
Abu Ya’qub al-Susi menjelaskan bahwa shufi ialah orang yang tidak merasa sukar
dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa
nafsu.
Definisi-definisi
di atas menunjukan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf ini dimaksudkan sebagai usaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan
santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Selanjutnya
definisi tasawuf ini mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi
yang dikemukakan Dzu al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan
segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang
shufi dan mengalahkan segala sesuatu. Dari definisi ini, pembahasan tasawuf
mulai memasuki wilayah cinta ilahi yang dikenal dengan mahabbat. Shufi adalah
orang yang mencintai Allah SWT sampai mengalahkan segala-galanya.
Kemudian
definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid
al-Bustami yang mendefinisikan tasawuf dengan shifat al-Haqqi yalbisuha
al-Khalqu (sifat Allah yang dikenakan oleh hambaNya). Hal ini menunjukan
adanya perkembangan definisi dari Abu Yazid yang terkenal dengan syafhahatnya,
yaitu: idzhar al-bathin bi al-‘ibrat badalan min al-isyarat
(mengungkapkan secara lisan akan kondisi bathin atau mengungkapkan
pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan).
Lebih
jauh Imam al-Junaid mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: al-tashawwuf
antakuna ma’a Allah bila ‘alaqat (tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa
hubungan). Maksudnya, seorang shufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluq
dan khaliq, bukan hubungan antara 'abid dan ma’bud.
Menurut al-Junaid, selagi masih ada hubungan berarti masih mempertahankan
eksistensi diri, masih mengakui keberadaan diri makhluq.
Ajaran
tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur
al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia
mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari
ucapannya: ana Allah...ana al-Haqq (aku adalah Allah....aku adalah yang
maha benar).
Di
sini timbul pertanyaan: kenapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan
ucapannya yang melanggar syari’ah sehingga ia menerima hukuman gantung, padahal
al-Junaid sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Halkj: “apa pun
yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah ... ana
al-Haqq, karena saya ingin segera menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani
saya, saya menjadi tidak bisa menyatu dengan Allah”. Nampaknya, hukuman gantung
bukan hanya tidak ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya,
karena jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan
Allah.
Memperhatikan
definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzu al-Nun al-Mishri, Abu Yazid
al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, dapat dipahami bahwa tasawuf ini tidak
lagi menekankan masalah ahlak, melainkan sudah membahas masalah hubungan
langsung antara shufi dan Tuhan bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara
shufi dan Tuhan.
Berdasarkan
seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya
menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
sedekat-dekatnya.
c.
Sumber Ajaran Tasawuf
Dalam sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan hadist
terdapat ajaran yang dapat membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan
dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasar dalam mistisisme ternyata ada
di dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 186 menyatakan:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Artrinya: Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu
tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika
ia panggil Aku.
Kata da’a yang terdapat dalam ayat di atas
oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai, melainkan
dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil, dan Tuhan
memperlihatkan diri-Nya kepada mereka.
Ayat 115 dalam QS. Al- Baqarah juga menyatakan:
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا
تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ
Artinya: Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka
kemana saja kamu berpaling disitu (kamu jumpai) wajah Tuhan.
Bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa di
mana saja Tuhan ada, dan dapat dijumpai.
Selanjutnya dalam hadits dinyatakan:
Artinya : Siapa yang kenal pada dkinya, pasti kenal
pada Tuhan.
Hadits lain yang juga mempunyai pengaruh kepada
timbulnya paham tasawuf adalah hadits qudsi yang berbunyi:
Artinya: Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan merekapun
kenal pada-Ku melalui diri-Ku.
Menurut hadist ini, bahwa Tuhan dapat dikenal
melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan
melalui diri-Nya.
d.
Tujuan Tasawuf
Sebelum
dikemukakan tujuan tasawwuf, terlebih dulu dijelaskan pengertian “fana” dan
“ma’rifat”. Fana dalam arti filosofis adalah meniadakan diri supaya ada Menurut
ilmu tasawwuf, fana adalah leburnya pribadi pada kebaqaan Allah, di mana
perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa Ketuhanan. Dengan fana hilanglah
sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat bathin), dan kekalnya sifat-sifat
terpuji (taat lahir dan taat bathin). Adapun pengertian ma’rifat adalah
pengetahuan hakiki tentang Tuhan, atau melihat Tuhan dengan hati sanubari.
Tujuan
tasawwuf adalah “fana” untuk mencapai “ma’rifat”. Dalam hal ini ahli-ahli
tasawwuf berkata:
Artinya:
Tasawwuf
itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati
mereka bersama Allah.
Tasawwuf
mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri setingkat demi setingkat kepada
Tuhannya, sehingga ia demikian dekat berada di hadirat-Nya.
Dengan
demikian maka tujuan terakhir dari tasawwuf itu adalah berada dekat sedekat-dekatnya
di hadirat Tuhan, dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya.
Untuk
memantapkan pemahaman Anda tentang pengertian tasawwuf, Anda perlu mengerjakan
latihan di bawah ini. Sebaiknya latihan ini Anda kerjakan melalui diskusi
bersama teman-teman.
e.
Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
1)
Zaman Nabi
Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan
agar umat Islam melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan tasawuf telah
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah
berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya
disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang
hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk merenung
dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak
berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Peri hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak
didasarkan pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi,
misalnya mencari kekayaan pribadi, tetapi bertumpu pada nilai-nilai ibadah,
mencari keridhaan Allah Swt Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada
Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian
berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul
karimah) tersebut antara lain:
a)
Hidup zuhud (tidak mementingkan
keduniaan).
b)
Hidup qanaah (menerima apa adanya).
c)
Hidup taat (senantiasa menjalankan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya).
d)
Hidup istiqamah (tetap beribadah).
e)
Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya dan makhluk lainnya).
f)
Hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada
Allah).
Sikap hidup seperti tersebut di atas kemudian
diikuti oleh kaum sufi, kemudian menjadi sikap hidup mereka.
Dari perilaku kehidupan Rasulullah dan para
sahabatnya serta asal pokok ajaran tasawwuf di atas, dapat kita artikan bahwa
hakikat tasawwuf itu adalah mencari jalan untuk memperoleh kesempurnaan hidup
rohani. Untuk memperoleh kesempurnaan hidup rohani ini memang tidak mudah,
biasanya memerlukan suatu proses, bahkan kadang-kadang proses itu cukup
panjang.
Seorang sufi yang ternama pada mulanya juga
mengagumi hal-hal yang bersifat lahir, yang dapat diraba dan dirasakan dengan
panca-indera, tetapi lama kelamaan kepuasan merasakan sesuatu yang lahir itu
berangsur-angsur surut. Maka sirnalah keindahan dunia yang bersifat materi dan
mereka mencari kepuasan lain. Mereka menuju alam rohani, yang tidak dapat
diraba dengan panca-indera, melainkan hanya dapat dirasakan dengan perasaan
halus.
Seseorang tidak dapat memahami dan terjun ke dalam
tasawwuf, kecuali sesudah roh dan jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya
sehingga ia dapat melepaskan dirinya dari kemegahan dan keindahan duniawi.
Peralihan dari ketidakpuasan merasakan nikmatnya keindahan duniawi menuju
kepada dunia ghaib ibarat kekaguman seorang anak kecil tentang benda-benda yang
terdapat pada alam sekelilingnya. Semua yang pertama kali dilihatnya dirasa
indah dan hebat. Ketika perkembangan jiwanya meningkat, sehingga apa-apa yang
tadinya dipandang indah dan hebat menjadi kecil dan remeh. Mereka meninggalkan
benda-benda itu dan mencari benda-benda yang dapat memuaskan dirinya.
Jadi tasawwuf itu pada dasarnya adalah pindah dari
suatu hal keadaan kepada suatu hal keadaan yang lain. Pindah dari alam
kebendaan kepada alam kerohaniaan. Sebagai contoh dikemukakan di sini salah
satu sisi kehidupan (pengalaman) salah seorang sufi yang terkemuka, yaitu Ibn
Arabi. Sebagai manusia, ia merasakan keindahan dunia sebagaimana dirasakan oleh
manusia lainnya. Ketika berumur 38 tahun, masa peralihan dari masa muda ke masa
tua, ia pergi ke Hejaz dan tinggal serta berguru pada seorang alim ulama di
Mekkah. Gurunya itu mempunyai seorang anak perempuan yang cantik jelita,
ditambah pula dengan budi bahasanya yang lembut. Perjumpaan Ibn Arabi dengan
anak perempuan gurunya itu sangat mengganggu pikirannya. Ia ingin selalu dekat
dengan orang yang disenanginya itu. Siang dikenang, malam diimpikan. Banyak
sudah karangan yang telah ditulisnya, hanya untuk menggambarkan kekaguman dan
kecantikan orang yang dicintainya. Demikian indahnya rangkaian kalimat yang
diciptakan Ibn Arabi sehingga dapat menjelaskan kepada kita bahwa besar dan
kuatnya rasa cinta terhadap keindahan alam lahir dapat mempengaruhi sikap
seseorang. Demikianlah perasaan yang pernah dialami Ibn Arabi. Salah satu
kalimat curahan perasaan yang bersifat kesenangan duniawi terungkap dalam
perkataannya, “Demikian rupa hatiku terpikat olehnya, pikiran dan jiwaku
seakan-akan terbelenggu, sehingga yang
kutuju, setiap nama yang kusebut,
namanyalah yang kukehendaki, setiap kampung kampungnyalah juga seakan-akan
yang kumasuki.”
Kata-kata Ibn Arabi tersebut menunjutkan bagaimana
keadaan seseorang yang telah tenggelam dalam merasakan nikmat pendengaran,
penglihatan, dan perasaan hati. Jika pengaruh itu tidak segera dibersihkan,
maka manusia tidak dapat melepaskan diri dari kecintaannya terhadap dunia yang
bersifat materi ini. Ibn Arabi menyadari akan maksud dan tujuannya datang ke
Mekkah ini, ia teringat akan cita-citanya semula. Lalu ia berusaha untuk dapat
melepaskan diri dari belenggu syahwat yang telah mengikat alam pikirannya.
Ikhtiar Ibn Arabi semacam ini dapat kita katakan permulaan menjauhkan diri dari
kesenangan lahir menuju pada kesenangan rohani, yang boleh kita anggap
peralihan kepada tingkat iman yang lebih tinggi.
Perhatian Ibn Arabi beralih dari bumi ke angkasa
raya, meningkat bersama panggilan jiwanya ke langit, kepada keindahan
bintang-bintang yang bertaburan di cakrawala. Pandangannya berpindah dari ruang
yang sempit ke dunia luar yang lebih luas dan kepada keindahan yang lebih
menakjubkan serta mengagumkan. Ia duduk termenung pada malam hari yang sepi,
sambil bertopang dagu, melihat dengan asyiknya keindahan bintang-bintang.
Dari contoh di atas dapat kita ketahui bahwa
orang-orang sufi meletakkan makna hidup itu lebih tinggi daripada hidup biasa.
Kadang-kadang sampai demikian tingginya, sehingga sulit difahami oleh orang
biasa. Jika mereka membicarakan suatu hukum dalam Islam, maka yang dipentingkan
adalah tujuan dari hukum itu, sehingga sering ijtihad mereka kelihatannya
seolah-olah berbeda dengan pengajaran-pengajaran ilmu fiqih biasa.
Tasawwuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan
aliran-alkan mistik di luar Islam ingin memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di
hadirat Tuhan. Intisari dari tasawwuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi
dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi
(semedi). Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan kepada manusia agar merenungi
alam raya ini dan juga diri manusia sendiri. Dengan demikian manusia akan
mengingat zat penciptanya. Kekaguman akan keindahan alam, diri manusia, lambat
laun akan tercurah rasa rindu untuk dekat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Jika
hidup kerohanian (hidup sufi) telah merasuki sendi-sendi kehidupan seseorang,
maka tidaklah ia merasa hina dihadapan manusia lainnya sekalipun dengan pakaian
bulu domba (suf) yang kasar. Ia menjadi zuhud (tidak terpikat
pada kemewahan dunia, ta’abud (berbakti), qana’ah (merasa cukup
dengan apa yang ada), dan ikhlas. Hidup kerohanian semacam ini telah dimulai
oleh Nabi Muhammad saw, bahkan oleh Nabi-nabi terdahulu, termasuk Ulul Azmi,
yaitu: Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, dan Nabi Isa as.
Mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw telah banyak
diceritakan, betapa kesederhanaan rumah tangga beliau sehari-hari. Jangankan
perabot rumah tangga yang serba mewah dan makanan yang lezat-lezat, alat-alat
rumah tangga yang sederhana saja tidak lengkap begitu juga dalam hal makanan,
makanan yang biasa untuk makan sehari-hari saja kadang tidak ada. Ia tidur di
atas sepotong tikar bukan di atas kasur yang empuk, makanan yang dihidangkan
istrinya hanyalah sepotong roti kering yang dengan segelas air minum, dengan
sebutir korma atau dua butir korma.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari diceritakan bahwa Aisyah pernah mengeluh kepada keponakannya, Urwah,
seraya berkata, “Urwah, lihatlah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak
menyala dan aku bingung karenanya”. Urwah bertanya, “Jadi, apakah yang kamu
makan sehari-hari?” Aisyah menjawab, “Paling untuk yang menjadi pokok itu
adalah korma dan air, kecuali jika ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan
sesuatu kepada Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan seteguk susu”.
Rasulullah menegaskan, “Kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau
lapar dan jika kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Dikisahkan pula pada suatu hari Rasulullah pergi ke
masjid. Disana ia berjumpa dengan Abu Bakar dan Umar. Ia bertanya, “Apa yang
menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar masjid?” Abu Bakar dan Umar menjawab,
“Untuk menghibur diri dari lapar”. Rasulullah berkata pula, “Aku pun keluar
untuk menghibur laparku. Marilah kita pergi ke rumah Abul Hasim, barangkali di
sana ada sesuatu yang boleh di makan.
Rasulullah sering berpuasa sunat, maksudnya antara
lain agar saat-saat lapar itu tidak sia-sia, tetap dalam ibadah kepada Allah.
Kerap kali pula ia beribadah di mesjid. Setelah beberapa waktu berada di
mesjid, ia pulang ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah
hari ini sesuatu yang dapat dimakan?” Tatkala Aisyah menjawab bahwa tidak ada
sesuatu pun yang dapat dimakan, ia kembali lagi ke mesjid dan menghabiskan
waktunya untuk sembahyang sunat. Beberapa saat kemudian ia kembali ke rumahnya
dan bertanya kepada Aisyah tentang makanan, Aisyah menjawab seperti jawaban
semula. Hal seperti itu dilakukan Rasulullah sampai beberapa kali dan mendapat jawaban
yang sama, sampai akhirnya ia mendapatkan sepotong roti di rumahnya dari
pemberian Usman bin Affan.
Aisyah menerangkan lebih lanjut bahwa keluarga
Muhammad dalam sehari tidak pernah makan sampai dua kali. Makanan disimpan di
rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk dimakan tiga orang.
Nabi Muhammad-lah yang pertama kali memberikan
contoh tentang hidup sederhana, tentang menerima apa adanya, menjadikan hidup
rohani lebih tinggi daripada hidup kebendaan yang mewah penuh ria, dan mengajak
manusia untuk meninggalkan berburu kekayaan duniawi berlebihan sehingga
melupakan tujuan hidup manusia yang pokok. Ia pula yang mengajarkan bahwa
kekayaan dan kesenangan duniawi itu tidak abadi, oleh sebab itu ia mengajak
kepada manusia untuk meraih kelezatan hidup yang lebih tinggi dan abadi, yakni
dengan mendekatkan diri kepada zat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Allah SWT.
Hidup kerohanian tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya
kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ
مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya :
Tidak Kami ciptakan manusia dan Kami Tahu apa yang
dibisikkan dirinya kepadanya. Kami dekat kepada manusia daripada pembuluh darah
yang ada di lehernya. (QS. Al-Qaf : 16)
juga firmannya lagi:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Artinya:
Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku,
maka sesungguhnya Aku dekat, dan aku akan mengabulkan seruan yang memanggil
jika Aku dipanggil (doa orang yang memanjatkan doa). (QS. Al-Baqarah :186)
Dari Ibnu Mas’ud diceritakan bahwa ia pernah masuk
ke rumah Rasulullah dan didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas sehelai
anyaman daun korma sampai memberikan bekas pada pipinya. Dengan rasa haru Ibnu
Mas’ud bertanya, “Rasulullah, apakah tidak baik kalau aku mencarkan sebuah
bantal untukmu?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak memerlukan itu. Aku di dunia
adalah laksana seorang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di kala hari
sangat terik di bawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat
lagi dari situ ke arah tujuannya”.
Sehubungan dengan harta benda dikisahkan pula bahwa
pada suatu hari pernah diletakkan di hadapan Rasulullah tujuh puluh ribu dirham
emas, pada hari itu juga semua uang emas itu dibagi-bagikan tanpa sekepingpun
yang tertinggal. Dalam kaitan dengan hal ini diceritakan pula dalam sejarah
bahwa ketika Nabi sedang sakit dan menjelang akhir hayatnya, ia teringat bahwa
di rumahnya masih tersimpan tujuh buah dinar emas. Dalam keadaan sakit payah,
ia memanggil ahli rumahnya untuk segera membagi-bagikan mata uang tersebut
kepada fakir miskin. Cerita ini dibenarkan oleh Aisyah yang mengaku bahwa ia
lupa kalau ia menyimpan uang itu, karena kesibukan mengurus Nabi yang sedang
sakit Tatkala orang bertanya kepadanya, apa yang diperbuatnya dengan tujuh
dinar itu, ia menjawab, bahwa ia segera pergi mengambilnya dan menyerahkan
kepada Rasulullah Aisyah bertanya mengenai bagaimana perasaan Rasulullah ketika
menghadap Tuhan dengan mata uang di tangannya. Lalu Rasulullah membagi-bagikan
mata uang itu kepada fakir-miskin, sedangkan ia sendiri pergi menghadap
Tuhannya dengan pakaian yang kasar.
Begitu kesederhanaan Rasulullah, sehingga pada
waktu wafat pun ia tidak meninggalkan untuk keluarganya uang barang sedinar
atau sedirham pun.
Abdurahman bin Auf menceritakan, bahwa pada waktu
Nabi wafat tidak ada sesuatu yang ditinggalkannya, kecuali sepotong roti,
sebilah pedang, dan seekor keledai yang biasa menjadi tunggangannya
sehari-hari, serta sebidang tanah yang sudah diwakafkan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah, Tabrani, dan Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia,
supaya Tuhan mencintaimu. Dan Zuhudlah pada yang ada di tangan manusia supaya
manusia pun cinta akan engkau.
Hidup secara zuhud sudah dilakukan Rasulullah
sebelum ia menjadi Rasul Ketika itu Muhammad suka menyendiri, berkhalwat atau
bertafakur di Goa Hira. Di sana ia memikirkan dan merenungi alam raya ini
dengan segala isinya. Ia renungi semua itu dengan mata hatinya. Dengan demikian
pandangan lahir bathinnya menjadi sangat bersih dan suci, kepribadiannya sangat
sempurna. Ia memang seorang manusia seperti kita, tapi qalbu yang ada di dalam
dirinya bersih dan suci, sehingga ia dapat dengan cepat menerima dan merasa apa
yang bersifat suci. Sungguh layak jika Muhammad menerima wahyu dari Yang Maha
Suci. Fiman Allah:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ
أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ
نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ
Artinya:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu
(Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah
Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami
menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami
kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy Syuura: 52)
Menurut Syekh Abdul Baqy Surur, bahwa tahannus
Rasulullah di Goa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf,
itulah cikal-bakal atau benih-benih pertama bagi kehidupan kerohanian yang
disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan Ruhaniyat.
Cara hidup Nabi di Goa Hira merupakan gambaran yang
lengkap bagi kehidupan sufi. Renungan-renungan Nabi di Goa Hira mengenai alam
raya membawanya untuk merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Di tempat yang
sunyi sepi itu pula Nabi melupakan dan memutuskan hubungan, menjauhkan ingatan
dari semua makhluk, hanya ada satu dalam ingatannya, yakni Allah Swt.
Menurut para ahli tasawuf, cara-cara yang dilakukan
Nabi di Goa Hira merupakan jalan-jalan pertama dan utama untuk sampai kepada
kasyaf, untuk memperoleh limpahan-limpahan ilham dan untuk memperoleh isyraq
atau pancaran Nur dari Allah. Semua itu ibarat jalan adalah jalan yang mendaki,
yakni pendakian bathin ke arah usaha menghubungkan diri dengan Allah yang Maha
Pencipta dan Maha Agung. Sesudah menjadi Rasul, Rasulullah meneruskan taqarub
(mendekatkan diri) kepada Allah dengan berzikir, istighfar, shalat tahajud
sampai jauh malam. Ia memperkuat bathinnya dengan menjalani hidup kerohanian.
Untuk itulah Rasulullah menyediakan ruangan khusus
di samping mesjid Madinah untuk tempat tinggal dan pendidikan dalam ilmu agama
untuk para sahabat Nabi yang ikhlas mengikuti perjuangan Nabi menyebarkan Islam
dan mau menjalani hidup kerohanian. Mereka itu disebut Ahl Suffah. Pada mulanya
jumlah mereka 400 orang, lambat laun bertambah sampai berlipat ganda. Mereka
mempunyai akhlak yang luhur, iman dan keyakinan mereka sangat kuat, ketawakalan
dan keikhlasan mereka sangat luhur. Rasulullah pernah berkata kepada Abu
Hurairah, “Ahl Suffah itu adalah tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai
keluarga, tidak mencintai harta benda, dan tidak terikat kepada seseorang
manusia pun, hatinya hanya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah keteladanan hidup kerohanian dari
Rasulullah kemudian menjadi contoh sikap hidup para sahabatnya. Imam Ghazali
berpendapat, “Bahwa aku yakin benar-benar kaum suffi itulah yang telah menempuh
jalan yang dicontohkan oleh Nabi dan yang dikehendaki oleh Allah Taala.”
2)
Zaman Sesudah Nabi
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, kekhalifahan Islam
diteruskan oleh para sahabatnya, yakni Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun menjadi khalifah atau kepala
negara yang biasanya hidup serba mewah, namun cara-cara hidup mereka tidak
sedikitpun mencerminkan hidup mewah sebagaimana kehidupan raja-raja pada
umumnya. Mereka tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu’, zuhud sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi.
Sebagai contoh berikut ini dikemukakan salah satu
sisi dari kehidupan para khalifah tersebut. Menurut riwayat bahwa Abu Bakar
Siddiq hidup dengan sehelai kain saja. Terhadap lidahnya sendiri ia berkata,
“Lidah inilah yang senantiasa mengancamku”. Dan ia berkata pula, “Apabila
seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri karena sesuatu dari
hiasan dunia ini, Maka Allah akan murka kepadanya, sampai perhiasan itu
diceraikannya.”
Pandangan hidup beliau adalah bahwa sifat dermawan
adalah buah dari taqwa, kekayaan adalah buah dari keyakinan dan martabat
didapat sebagai buah dari tawadhu’.
Umar bin Khatab pun memiliki jiwa yang bersih dan
kesucian rohani yang tinggi. Rasulullah pernah berkata tentang diri Umar, bahwa
Allah telah meletakkan kebenaran di ujung lidah Umar dan hatinya. Pangkat
khalifah yang merupakan kekuasaan tertinggi tidak mengurangi nilai kehidupan
rohaninya, bahkan sejak menjadi khalifah kehidupan kerohaniannya semakin ia
tingkatkan. Pernah pada suatu ketika datang kiriman zakat dari negeri Yaman,
lalu diadakan pertemuan besar, karena Khalifah hendak memberikan nasihatnya.
Dalam nasihat tersebut ia mengharapkan agar semua yang hadir mematuhi
nasihatnya. Tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri seraya berkata, “Kami tidak
akan taat kepada engkau ya, Amirul Mukminin!”. Khalifah bertanya, “Mengapa?”
Lalu orang itu berkata pula, “Bagaimana kami akan taat, Tuan membagi-bagikan
zakat kiriman yang dari Yaman ini kepada orang lain, sementara Tuan hanya
mengambil sebagian kecil saja, padahal pakaian Tuan hanya satu persalinan,
tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim dingin. Sebelum tuan
mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat” Mendengar sanggahan orang
itu khalifah Umar merasa sulit untuk menjawab, lalu ia berpaling kepada
puteranya yang bernama Abdullah, dan berkata, “Hai Abdullah, bagaimana menurut
pendapatmu?” Abdullah pun berdiri dan berkata kepada penyanggah itu, “Jika
masalahnya hanya pakaian yang satu persalinan lagi, biarlah saya yang akan
menanggungnya.” Mendengar jawaban Abdullah, orang yang menyanggah tadi merasa
puas dan menyatakan akan patuh dan taat kepada khalifah.
Usman bin Affan adalah Khalifah yang ketiga. Ia
adalah seorang Khalifah yang berada. Walaupun ia banyak harta, tetapi ia tetap
memperhatikan hidup yang sederhana. Hartanya digunakan untuk menolong yang
lemah, untuk perjuangan mengembangkan agama Islam. Ia terkenal orang yang
senantiasa membaca dan menelaah Al-Qur’an, Tentang Al-Qur’an ia pernah berkata,
“Ini adalah surat yang dikirim oleh Tuhan-Ku. Tidak layak jika ada seorang
hamba melalaikan surat dari tuannya. Hendaklah senantiasa dibaca, agar supaya
segala isi surat itu dapat dijalankannya.” Menurut riwayat, Usman bin Affan
wafat dibunuh oleh pemberontak ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak kurang
ketinggian hidup kerohaniannya. Dalam tugas-tugasnya yang besar dan mulia,
menyebabkan ia tidak perduli bahwa pakaian yang dikenakannya telah robek.
Ketika pakaiannya robek,
ia sendiri yang menambalnya. Pernah orang bertanya,
“Mengapa sampai begini, Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Untuk
mengkhusyu’kan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang yang beriman.
Selain dari sahabat Nabi yang empat sebagaimana
disebutkan di atas, hidup kerohanian juga dilaksanakan oleh sahabat-sahabat
vang lain, di antaranya adalah Huzaifah bin Yaman. Ia terkenal salah seorang
sahabat Nabi yang zahid.
Ia menjadi tempat bertanya pula mengenai ilmu yang
pelik-pelik. Umar sering datang kepada Huzaifah untuk menanyakan apakah pada
dirinya terdapat kesalahan atau tanda-tanda munafik, atau apa sikap-sikap yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam, kadang-kadang Huzaifah mengecam Umar dan Umar
pun dengan ikhlas memperbaiki atas segala kekhilafannya.
Kepopuleran Huzaifah tersebar ke daerah-daerah di
luar negeri Arab. Demikianlah, Hasan Basri, seorang tokoh sufi yang terkenal
datang berguru kepada Huzaifah.
Sahabat lain yang dengan tegas menentang gaya hidup
mewah adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. Ia melihat bahwa ketulusan beragama sudah
mulai lemah, karena pengaruh harta, dan justru hal yang demikian, bahkan pula
dilakukan oleh gubernur Muawiyah, yang semestinya menjadi teladan dengan berani
dan terus terang menentang pengumpulan harta benda untuk kepentingan diri
sendiri. Abu Dzar berpegang kepada ayat Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ
وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka berita bukanlah kepada
mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S At-Taubah:34)
Sikap Abu Dzar yang demikian, oleh Muawiyah
dipandang sebagai pengganggu ketenteraman umum, Abu Dzar dituduh telah
membangkang terhadap pemerintah yang sah dan melemahkan semangat perjuangan.
Fitnah ini disampaikan kepada Khalifah Usman. Akibatnya, Khalifah Usman
mengasingkan Abu Dzar ke luar kotaMadinah, ke sebuah dusun bernama Rizbah.
Dengan peristiwa yang dialami Abu Dzar ini,
mulailah muncul golongan kaum Zahid, yaitu golongan yang mengutamakan hidup
kebathinan dan kerohanian.
Setelah Abu Dzar orang yang terkenal menentang cara
hidup mewah pada masa sahabat, terkenal pula nama Said bin Zubair seorang
tabi’in yang kuat pribadinya. Ia seorang zahid yang betul berani mengusir siapa
saja yang bersalah, walaupun yang bersalah itu seorang Khalifah, ia mengangkat
Gubernur Irak, seorang tokoh yang gagah perkasa, namun terkenal kejam, bernama
Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Hajjaj tidak segan-segan membunuh orang untuk
menegakkan kekuasaan Bani Umayah. Melihat tindakan semena-mena itu, Sa’id
Zubair sangat kecewa. Ia tidak takut sedikitpun kepada keperkasaan Hajjaj dan
tetap berani menegurnya. Tentu saja Hajjaj merasa tersinggung. Maka dituduhnya
seorang pencinta Ali, bermadzhab Syi’ah, yaitu Mashab yang sangat dibenci saat
itu. Sa’id pun ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ketika akan dibunuh, Hajjaj
berkata kepada algojo, “Jangan hadapkan mukanya ke arah kiblat, biar dia mati
membelakangi kiblat. Sa’id menjawab, “Kemana pun engkau hadapkan mukaku,
disanalah wajah Allah.”
f.
Pembahasan Akhlak Tasawuf
Hubungan
antara akhlak dengan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan seperti dua mata
uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang
biasanya dilakukan oleh kalangan mutashawwifin (pengamal tasawuf).
Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang
mulia disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.
Apa yang dilakukan kalangan mutashawwifin akhirnya akan membuahkan
pada akhlak mulia. Namun demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf
masuk ke bidang akhlak. Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses
pencapaian akhlakul karimah melalui metode tasawuf yang diilhami oleh
kehidupan para salafus shalih.
Akhlak tasawuf ini menjadi penting untuk menghindari kajian akhlak yang
hanya berada pada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat
memberikan bekas pada mahasiswa menjadi orang-orang yang memiliki akhlak mulia.
Dilain pihak akhlak tasawuf juga berguna untuk membatasi kajian salah satu
aspek dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan
tasawuf falsafi.
Secara
singkat akhlak tasawuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah al-Nafs
(penyucian jiwa) yang sering diistilahkan juga dengan tathahur, tahaquq
dan takhaluq, membersihkan diri dari sifat madzmumah (tercela)
dan menghiasi dengan akhlak mahmudah (terpuji). Hal yang perlu di perhatikan
adalah faktor dari sekedar fikri (pemikiran) dan nadzari
(teoritis).
Selama
ini terlalu banyak orang berbicara akhlak akan tetapi tidak bisa memberi sibghah
menjadikan mahasiswa berakhlakul karimah. Hal ini terjadi karena pembahasan
akhlak biasanya hanya berbicara pada ranah kognitif tanpa disertai ranah
afektif dan psikomotorik. Yang terjadi banyak mahasiswa mendapatkan nilai tinggi
dalam mata kuliah akhlak akan tetapi rendah akhlaknya. Sehingga dari penyajian
akhlak tasawuf secara komprehensif ini diharapkan pembelajaran akhlak dapat
diperoleh hasil semaksimal.
Sunday, January 06, 2013
|
Labels:
akhlak tasawuf,
pendidikan
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
about me
Ley's. Powered by Blogger.
Blog Archive
-
▼
2013
(39)
-
▼
January
(31)
- Manusia dan Optimisme
- PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF FILSA...
- Agama Dan Lingkungan
- Teori dan Studi Kepemimpinan
- Kepemimpinan Umar bin Khattab Khalifah Ke-Dua (634...
- Peran, Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah
- HUBUNGAN SYARI’AH & TASAWUF
- HAKEKAT PEMBINAAN AKHLAK TASAWUF
- KOMPONEN AKHLAK TASAWUF
- LATAR BELAKANG TIMBULNYA STUDI TENTANG AKHLAK TAS...
- SUMBER-SUMBER AKHLAK TASAWUF
- PEMBAHASAN TASAWUF
- PEMBAHASAN AKHLAK
- Pentingnya Akhlak
- Akhlak Di Kampus Menurut Agama, Etika, dan Budaya
- PEMBENTUKAN AKHLAK TERPUJI KEPADA ANAK
- Pendidikan Karakter
- Makalah Intelegensi
- PENDIDIKAN MORAL DALAM DUNIA PENDIDIKAN
- HADIS DAN PENGERTIANNYA
- Fungsi dan Jenis Lingkungan Pendidikan
- KURIKULUM SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM MADRASAH IBTID...
- Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang STANDAR PRO...
- Pengelolaan Pendidikan Taman Kanak-kanak
- PANDUAN KELOMPOK MATA PELAJARAN AGAMA DAN AKHLAK M...
- MANUSIA PARIPURNA
- ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME
- Makalah Rasa Agama
- Akhlak
- ADMINISTRASI KURIKULUM
- ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
-
▼
January
(31)
0 comments:
Post a Comment