HUBUNGAN SYARI’AH & TASAWUF



1.      Aspek Tasawuf
a.      Maqamat
Tasawuf dari satu segi merupakan suatu ilmu. Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang Muslim dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, seorang muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa Arab disebut dengan maqamat, yang merupakan bentuk jamak dari maqam.
Pengertian maqam menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam adalah kedudukan seseorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah (al-‘ibadat), kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat), latihan-latihan kerohanian (al-riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah (al-inqitha’ ila Allah). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 14 dan surat al-Shaffat ayat 164.

b.      Ahwal
Di dalam beberapa literatur tasawuf, konsep maqamat sering dibandingkan penggunaannya dengan konsep ahwal (bentuk jamak dari hal). At-Thusi menjelaskan, ahwal adalah suasana yang menyelimuti kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang shufi karena ketulusannya dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh melalui al-‘ibadat, al-mujahadat, dan al-riyadhat seperti dalam maqamat. Adapun suasana hati yang termasuk dalam kategori ahwal ini misalnya: merasa senantiasa diawasi Allah (al-muraqabat), rasa dekat dengan Allah (al-qurb), rasa cinta dengan Allah (mahabbat), rasa harap-harap cemas (al-khaufwa af-raja’), rasa rindu (al-syauq), rasa berteman (al-uns), rasa tentram (al-thuma’ninat), rasa menyaksikan Allah dengan mata hati (al-musyahadat), dan rasa yakin (al-yaqin).
Senada dengan al-Thusi, al-Qusyairi mengatakan bahwa mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai kewajiban. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ahwal merupakan anugerah Allah, sedangkan maqamat merupakan hasil usaha. Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujud kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang hamba melalui kerja keras.
Dengan demikian, antara maqamat dan ahwal terdapat perbedaan yang tajam. Maqamat, demikian Sayyid Husain Nashr, termasuk kategori tindakan-tindakan yang bertingkat dan memiliki pertalian satu sama lain yang apabila telah tertransedensikan akan tetap menjadi milik yang langgeng bagi seorang shufi yang telah melampauinya. Sedangkan ahwal termasuk kategori anugerah Allah atas hati hamba-Nya dan bersifat sementara.
Kendatipun demikian, jika diamati secara cermat kategori maqamat dan ahwal bukanlah dua kategori yang ketat, karena ada kalanya seorang penulis kitab tasawuf memasukan suatu konsep ke dalam kategori maqamat, sementara penulis yang lain memasukannya ke dalam kategori ahwal. Di kalangan ulama tasawuf tidak ada kesepakatan mengenai hal ini. Oleh karena itu, jumlah dan susunan maqamat berbeda bagi shufi yang satu dengan shufi yang lain. Perbedaan ini nampaknya disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman rohaniah yang ditempuh oleh masing-masing shufi. Sebagai contoh misalnya al-Kalabadzi dalam kitabnya al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Thasawuf memberikan jumlah dan susunan sebagai berikut: al-taubat, al-zuhd, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbat, dan al-ma-rifat.
Al-thusi menyebutkan dalam kitabnya al-Luma’ sebagai berikut: al-taubat, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha.
Al-Ghazali dalam kitab Ikhya ‘Ulum al-Din menyebutkan: al-taubat, al-shabr, al-faqr, al-zuhd, al-tawakkul, al-mahabbat, dan al-ridha.
Meskipun para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat, namun secara umum maqamat itu meliputi: al-taubat, al-zuhd, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha. Mengenai tahapan maqamat ini secara singkat digambarkan sebagai berikut:
1)        Maqam taubat, disini seorang calon shufi harus bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa kecil.
2)        Maqam Zuhd, yakni mengasingkan diri dari dunia ramai.
3)        Maqam wara’, yakni meninggalkan hal-hal yang syuhbhat.
4)        Maqam faqr, yakni hidup sebagai orang fakir.
5)        Maqam shabr, yakni harus sabar menghadapi cobaan yang datang menimpanya.
6)        Makam tawakkul, yakni menyerahkan sebulat-bulatnya kepada keputusan Allah
7)        Maqam ridha, yakni ia merasa telah dekat dengan Allah, sehingga ia tidak meminta sesuatu apapun kecuali ridha-Nya.
Seorang calon shufi yang telah mampu menempuh maqamat tersebut dengan sebaik-baiknya, maka hatinya menjadi suci dan bersih dari perbuatan dosa dan maksiat. Hatinya tidak lagi tergoda dengan kehidupan materi, melainkan ia hanya menuju ke hadirat Allah semata. Dengan kesucian hati inilah dapat mendekatkan diri kepada Allah. Karena Allah Yang Maha Suci tridak dapat di dekati kecuali oleh hamba-Nya yang suci.
Setelah hati seorang shufi menjadi suci, maka hilanglah rasa benci kepada apa dan siapa pun, baik benci kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya. Yang tinggal di dalam hatinya hanyalah rasa cinta kepada Allah (Mahabbat). Sebagaimana terlihat dari ucapan seorang shufi yang termashur dalam mahabbat, Rabi’at al-'’Adawiyyat: “Oh kekasih hatiku, aku tak akan memberikan cintaku kecuali kepada-Mu, oleh karena itu kasihanilah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu hari ini. Oh harapanku, kebahagiaanku, dan kenikmatanku, hatiku tak dapat mencintai apapun kecuali Kau Satu (Allah). Seorang shufi yang telah memiliki cinta kasih sejati kepada Allah, maka semakin dekat denganNya. Sehingga tak mengherankan jika ia menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan dzikr, tafakkur dan banyak beribadah kepadaNya, maka ia pun diberi anugerah oleh Allah, yakni dibukakan tabir pemisah antara dirinya dan Allah, sehingga mata hatinya dapat menyaksikan rahasia-rahasia Allah. Sampai di sini berarti seorang shufi telah mencapai tingkat ma’rifat. Hal ini sejalan dengan ungkapan Imam al-Ghazali bahwa ma’rifat adalah melihat atau mengetahui rahasia-rahasia Allah (Al-Nazharu ila asrari al-umur al-ilahiyat).

2.      Hubungan Syari’ah Dan Tasawuf
Menurut sebagian ulama, syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam. Syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Aspek lahir dan aspek batin keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek lahir tanpa aspek bathin adalah kemunafikan, sebaliknya aspek bathin tanpa aspek lahir adalah bid’ah.
Ungkapan di atas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut:
Ibn ‘'Ujaibat dalam kitabnya Iqazh al-Himam fi Syarh al-Hikam menyebutkan: Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima kecuali disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-benarnya, dan keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
Imam Malik menegaskan: Barangsiapa yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh sungguh ia berlaku zindik, dan barangsiapa yanj berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq, dan barangsiapa yang mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli hakikat. Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin menyebutkan Barangsiapa menghiasi lahiriyahnya dengan syari’at dan mencuci kotoran bathiniahnya dengan air thariqat, maka ia dapat mencapa haqiqat ( Muhammad ibn ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i, 1391 H:33).
Pendapat-pendapat ulama di atas sejalan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali Menurut al-Qusyairi: Setiap pengalaman syari’ah yang tidak didukung dengan pengamalan hakikat, maka tidak dapat diterima dan setiap pengamalan hakikat tidak didukung dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.
Al-Ghazali mengatakan: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu syari’ah).
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
Memperhatikan pendapat-pendapat di atas, terlihat secara jelas bahwa antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak boleh dipidahkan.
Di sini timbul pertanyaan: Mengapa para ulama memadukan antara syari’ah dan tasawuf? Padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan Ahmad Amin yang telah disebutkan dalam pendahuluan, bahwa Fuqaha sebagai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriyah, sedangkan kaum shufi sebagai ahli haqiqat sangat mengutamakan amal-amal bathiniah.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin, demikian menurut al-Thusi, oleh karena itu syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin. Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang mengandung kedua unsur baik ilmu lahir maupun ilmu bathin itu mengandung semacam spesialisasinya, sehingga syari’ah lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu bathin dikembang ilmu tasawuf atau ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syari’ah yang mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan rasio dan logika akal dalam membahas dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut keterangan al-Ghazali sejak abad ketiga Hijriyyah ilmu-ilmu agama Islam: Ilmu kalam (tauhid), ilmu fiqh dan ilmu tasawuf masing-masing berdiri, akibat dari adanya upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalannya masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri yang berakibat satu disiplin ilmu dengan yang lainnya pun menjadi berbeda obyek, metode dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah tersebut ilmu Kalam (ilmu Tauhid), yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah disebut ilmu fiqh, dan yang berkaitan dengan psikis disebut ilmu jiwa (ilmu tasawuf).
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga sering terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindik (zindik menzindikan) di kalangan umat Islam sendiri. Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah amal lahir atau amal bathin, dan mana yang lebih utama, apakah amal lahir atau amal bathin.
Barangkali atas dasar inilah para ulama yang telah disebutkan di atas bermaksud untuk memadukan kembali antara syari’ah dan tasawuf.

0 comments:

Post a Comment

Ley's. Powered by Blogger.